Bahasa adalah cerminan dari budaya suatu bangsa, dan setiap bahasa memiliki keistimewaan dan karakter sendiri. Bahasa yang digunakan dalam suatu bangsa, dianggap mewakili karakter dari bangsa tersebut.
Misalnya, dalam mengungkapkan kata “kematian”, antara suatu bangsa dan bangsa lainnya berbeda, baik dari ungkapannya atau perlakuannya.
Dalam bahasa Indonesia, kata “mati” memiliki banyak sinonim (al-mutaradifat), di antaranya; berkalang tanah, berkubur, binasa, bobrok, buang nyawa, gugur, hilang hayat, hilang jiwa, hilang nyawa, jangkang, kaku, kembali ke pangkuan Allah Swt, koh, mampus, mangkat, maut, melayang jiwanya, membaham tanah, meninggal, menutup mata, modar, musnah, padam hayat, padam nyawa, punah, putih tulang, putus jiwa, putus napas, putus nyawa, putus umur, tenang, terjengkang, tersekat, tersumbat, tertutup, tetap, tewas, tumpar, tumpas, wafat, dan masih ada kosakata lainnya, dengan penggunaannya yang berbeda.
Dalam tradisi Nusantara, kematian adalah sesuatu yang sangat sakral, bukan hal yang sederhana, sehingga muncul dengan istilah-istilahnya yang bervarian. Karena kematian merupakan hal yang penting, sebagaimana kelahiran, maka banyak memunculkan ungkapan-ungkapan atau kosakata yang tidak sedikit.
Dampak dari kesakralan tersebut, orang yang meninggal tidak cukup dikebumikan, tetapi ada tahapan-tahapannya, dan setelah dikebumikan dibuatkan kijing, diberi nama, tanggal lahir dan tanggal kematiannya, ada pula yang dibangunkan rumah di atasnya. Sedangkan beberapa negara di Arab, bahkan mayoritas, kijing juga jarang didapatkan, dan tidak terdapat nama dan tanggal kematiannya. Seperti pekuburan Baqi’ dan Ma’la.
Semakin banyak kosakata (sinonim) dari sesuatu hal atau barang, maka semakin penting sesuatu hal tersebut dalam sebuah komunitas atau bangsa, semisal kata “unta” yang memiliki banyak kosakata, ada sekitar 1000 kosakata terkait dengan kata “ibil, unta” dalam bahasa Arab. Demikian juga dengan kata “pedang” atau saif yang memiliki banyak sinonim. Mengapa? Karena orang Arab sangat memperhatikan dua hal tersebut di atas.
Kata “wafat” dan “mati”, adalah serapan dari bahasa Arab “wafatun” dan “mautun” yang bermakna mati. Kedua kata tersebut, dalam bahasa Arab memiliki perbedaan fungsi, walau memiliki kesamaan makna.
Kata “wafat” dan “maut” tersebar dalam Ayat Alquran, bila ditilik lebih dalam, keduanya memiliki fungsi yang berbeda, kata “maut” adalah keluarnya ruh dari makhluk hidup, apakah itu manusia, hewan atau tumbuhan. Setiap organisme yang hidup di muka bumi ini memiliki kehidupan, apabila ruh tersebut keluar pada waktunya (ajal) dan berhenti aliran darah tubuh, maka dikatakan “mati”.
Demikian menurut al-Adnan, “Tercerabutnya ruh dari tubuh dan berhentinya aliran darah yang mengalir dari anggota tubuh, dan tidak terdapat tanda-tanda kehidupan.”
نْتِزَاعُ رُوْحُ الْكَائِنِ الْحَيِّ مِنْ جَسَدِهْ فَيَتَوَقَّفُ الدَّمُ عَنِ الجَرَيانِ فِيْ أعْضَائِهِ وتَنْتَفِيْ عَنْهُ الْحَيَاة وَعَلاَمَاتِهَا، ويَقَعُ المَوْتُ حَتْماً عَلَى كُلِّ حَيِّ بَشَراً كَانَ أوْ سِوَاهْ
Sedangkan “Wafat” adalah berhentinya catatan amal seorang hamba yang sudah mukallaf dan dinyatakan selesai, serta mendapatkan semua balasannya dari Allah atas apa yang telah dilakukan, dan dikeluarnya ruh dari jasadnya.
وَقُّفُ جَرَيَانِ الْقَلَمِ وَ انْقِطَاعُ عَمَلِ العَبْد العَاقِلِ الْمُكَلَّفِ وَوَفاءَهُ وَتَمَاَمه، وَجَزَاءُ أجْرِهِ مِنَ الله واسْتِيْفَاءهِ بِخُرُوْجِ نفَسِهِ مِنْ جَسَدِهِ
Secara umum keduanya bermakna meninggal dunia, namun berbeda dalam penggunaannya, kata “maut” digunakan untuk semua makhluk yang memiliki ruh atau nafas, baik hewan atau manusia, atau mungkin makhluk lainnya. sedangkan “Wafat” hanyalah untuk mereka yang dikenai perintah atau larangan (mukallaf) oleh Allah dan dari perintah dan larangan itu mengalirlah catatan-catatan itu, dan makhluk yang dikenahi perintah itu, adalah manusia.
Menurut Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arab, “al-Wafat” adalah “Maut”, dan wafat itu ada dua; wafat shugra (kecil) dan wafat kubra (besar), wafat Sughra adalah tidur, sedangkan wafat kubra adalah mati (maut) sebagai dalam ayat 42, surat Azzumar
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى (الزمر، 42).
Ibnu Katsir tentang ayat di atas juga menafsirkan sebagaimana dalam Lisan al-Arab, bahwa wafat ada dua; Wafat kubra (kematian besar) dan wafat shugra (kematian kecil), “An-naum” bermakna “al-maut”.
Suatu saat Nabi ditanya, “Ya Rasul, apakah penduduk surga juga tidur (yanam)” Rasulullah menjawab, “Tidur itu adalah saudaranya kematian (Akhu al-maut), sedangkan penduduk surga tidak tidur” (riwayat Thabrani).
Dalam bahasa Indonesia, kata “mati” bersifat umum, dan bisa digunakan untuk semua makhluk hidup, sedangkan “wafat” hanya untuk manusia, itupun digunakan untuk orang-orang yang terhormat.