Pembukaan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama – selanjutnya disebut Munas saja untuk mempersingkat – di PP Miftahul Huda Al-Azhar, Citalongko, Kota Banjar, berlangsung meriah. Seluruh Pengurus Wilayah NU memadati forum permusyawaratan tertinggi NU setelah Muktamar tersebut.
Ada ribuan orang yang hadir. Bahkan, menurut perhitungan panitia sebagaimana dikutip di NU Online, bisa sampai 15 ribu.
Secara aturan, sebenarnya peserta resmi Munas dikhususkan delegasi PWNU. Setiap delegasi tak lebih dari 10 orang. Jika ada 34 PWNU se Indonesia, praktis hanya 340 orang. Ditambah, PBNU, Lembaga, Badan Otonom dan undangan lainnya, paling-paling hanya tercatat seribu orang. Akan tetapi, pada kenyataannya, yang datang bisa ribuan. Siapakah dia?
Istilah yang muncul adalah romli alias rombongan liar, yaitu, warga nahdliyin yang ingin datang meski bukan peserta resmi. Inilah yang memeriahkan arena Munas, dan lebih-lebih event muktamar. Seperti halnya rombongan dari PWNU Jawa Timur yang datang di Munas Banjar kali ini. Tak kurang dari 70 orang yang datang. Lebih dari satu gerbong kereta dipenuhinya.
Kecuali cinta dengan NU, kehadiran mereka didorong oleh banyak faktor. Mulai dari ingin menyaksikan kemeriahan, ingin ngalap berkah kiai, bertemu kawan hingga menjadi oase intelektualitas generasi muda NU. Alasan terakhir inilah yang coba disajikan dalam tulisan ini.
Ada banyak model gairah intelektualitas yang khas muncul dalam event-event nasional yang mendatangkan banyak orang seperti Munas dan Muktamar NU. Mulai dari bazar buku dan kitab, seminar hingga diskusi informal di warung kopi dan sudut-sudut arena.
Bazar buku, misalnya. Tak sedikit buku yang dijual di forum-forum demikian adalah buku-buku yang tak banyak beredar di pasaran. Apalagi di toko buku berjejaring semacam Gramedia dan Toga Mas. Yaitu, buku-buku yang mengupas tentang Islam, Pesantren, NU dan sejenisnya.
Seperti halnya stand buku yang dikelola oleh AsbitNU (Asosiasi Penerbit NU) yang digawangi oleh LTN NU Jawa Timur yang membuka stand di komplek Kampus STAIMA. Buku yang disajikan hampir semuanya beredar terbatas. Untuk bisa membelinya, selain bisa lewat online sebagaimana dewasa ini, hanya bisa lewat lapak yang dibuka pada acara-acara demikian. Baik di level nasional hingga daerah.
Saya sendiri, paling suka mengunjungi lapak-lapak buku demikian. Biasanya, buku favorit saya, adalah buku-buku biografi kiai-kiai lokal. Buku seperti itulah yang cukup sulit dicari. Baik di jual beli online maupun di toko buku. Pada acara kali ini, sudah ada beberapa buku yang menarik perhatian saya untuk dimiliki.
Selain itu, tentu saja acara seminar. Bentuknya bisa bermacam-macam. Ada halaqah, bedah buku, kajian, kopdar, kongkow atau lain sebagainya. Ini memancing animo yang cukup besar. Pada acara kali ini, ada beberapa buku penulis berlatar belakang NU yang dibedah. Seperti buku “Manusia Rohani”-nya Kiai Ulil Absar Abdallah, “Shalawat Badar dan Politik NU” yang ditulis RM Imam Abdillah, “Islamisasi Nusantara” karya Angurutta Ahmad Baso hingga buku “Tokoh Muda NU Inspiratif” terbitan Pustaka Compass.
Yang tak kalah serunya adalah diskusi-diskusi informal. Bahasannya memang tak fokus. Tapi, dari omong klobot – demikian biasanya orang pesantren mengistilahkan karena kerap disertai dengan hembusan asap rokok – tercetus obrolan-obrolan serius dan penting di kemudian hari. Tentu saja tak ketinggalan gojekan, rerasan dan kelakar.
Beberapa sumber lisan menyebutkan, gagasan NU untuk kembali ke Khittah 1926, bermula dari diskusi-diskusi di luar forum resmi NU sejak 1970-an. Satu dasawarsa kemudian, gagasan tersebut terkonsep dengan baik dan terformulasi dalam keputusan Muktamar ke-27 NU di Situbondo pada 1984.
Forum seperti ini, bermunculan di berbagai tempat. Yang saya rasakan sendiri, di halaman STAIMA. Sore, seusai pembukaan, beberapa anak muda NU tampak ngobrol asyik berbagai macam topik. Ada Savic Ali, Hamzah Sahal, Syaiful Amin dan beberapa yang lain. Hadir di sana Amin Mudzakir. Peneliti LIPI itu lantas bercerita banyak hal tentang Sunda hingga survey radikalisme. Disusul kemudian Ahmad Baso. Obrolan berlanjut ke soal Islam Nusantara, naskah hingga soal perbukuan.
Bincang-bincang semakin seru dengan hadirnya Faishol. Penyair asal Cilacap tersebut, menanggapi hampir semua topik. Tak lama kemudian, hadir Pak Mohammad Bakir. Redaktur Pelaksana Koran Kompas asal Madura itu, berdiskusi tentang isu-isu seputar kekuasaan, intrik jelang pilpres dan seputar dapur media. Sontak saja obrolan makin gayeng. Lingkaran semakin banyak orang.
Gairah-gairah intelektual yang demikianlah yang banyak dirindukan para anak muda NU untuk hadir di acara-acara seperti munas, muktamar dan acara sejenisnya. Acara tersebut tak sekadar rapat, tapi lebih hidup.