Perkenalan saya dengan Syekh Siti Jenar di kala muda membawa saya untuk berupaya menyingkapkan struktur dan jejaring Dipanegara pasca Perang Jawa yang berkobar selama 5 tahun (1825-1830). Bahkan saya sendiri, secara historis, berupaya menorehkan penemuan bahwa apa yang kini dikenal sebagai tipologi “Islam Nusantara” juga memiliki tonggak-tonggak historis dimana Perang Jawa adalah yang menjadi salah satu tonggaknya. Sebab, tampilan Islam yang lebih “njawani” juga terjadi sesudah peristiwa bersejarah yang memakan waktu selama lima tahun ini. Saking “njawani”-nya bahkan banyak dari sebagian besar ekspresi spiritualnya dianggap bukanlah bagian dari Islam oleh kalangan yang merasa dirinya lebih “islami.”
Untuk itulah ruang yang selama ini saya salami ini memang tak pernah lempang. Di samping citra Syekh Siti Jenar sendiri yang kontroversial, nuansa “politis” kerap menjadikan penelitian atas salah satu pribadi yang dikenal sebagai wali yang out of the box beserta ajarannya ini tak pernah tuntas (Genealogi Kaum Abritan atau Abangan, Heru Harjo Hutomo, https://www/idenera.com). Padahal, dalam logika saya, seandainya mau memahami konteks historis Perang Jawa, tentu Jenar dan ajarannya yang lestari hingga kini tak menjadi sebuah kontroversi.
Terkait dengan Jenar, saya sendiri telah membahasnya bahwa ia yang dikenal sebagaimana sekarang, di samping sosok historis yang benar-benar ada, adalah juga sebentuk personifikasi sebuah ajaran sufistik yang di Jawa dibabarkan oleh R.P. Natarata, seorang pujangga-sufi asal Pura Pakualaman, Yogyakarta (Kahanan: Melongok dari yang Tak Pokok, Heru Harjo Hutomo, Bintang Pustaka, Madani, Yogyakarta, 2021). Baik disuarakan oleh karekter Syekh Siti Jenar (Serat Seh Sitidjenar dan Serat Musyawaratipun Para Wali), Kancil Amongpraja (Serat Kancil Kridhamartana), ataupun si “ingsun” (Serat Bayanulah), ajaran kematian R.P. Natarata tetaplah sama.
Natarata sendiri, yang lebih kumandang dengan nama pena Sasrawijaya, adalah juga salah satu guru dari Ki Sumocitra, seorang demang pembangkang asal Desa Kemanukan, yang kelak mendirikan aliran Harda Pusara dengan gelar Sang Mahayogi Ki Kusumowicitra. Karena itulah, saya kira, apa yang kini dikenal sebagai ajaran Syekh Siti Jenar merupakan tali-simpul berbagai ajaran kapitayan. Seandainya dalam tarekat-tarekat pendatang dikenal seorang pribadi yang menjadi sanad keilmuan berbagai tarekat yang berbeda, taruhlah Abu Yazid al-Bisthami, maka di Jawa—baik secara historis maupun metaforis—pribadi itu adalah Syekh Siti Jenar dan juga Sunan Bagus atau Pakubuwana IV.
Di Jawa sendiri sebenarnya juga mengenal tradisi uwaisiyah dimana pendiri aliran-aliran kapitayan konon memperoleh inisiasi dan pengajaran langsung. Hal ini tampak lekat dengan kisah Eyang Jimat Suryangalam Tambaksegara, pribadi yang menjadi cikal-bakal aliran PDKK. Namun demikian, seperti halnya Syekh Baha’uddin al-Naqsyabandi yang memperoleh warisan palilah dan keilmuan baik secara uwaisiyah maupun historis, Eyang Jimat Suryangalam pun mendapatkan hal yang sama. Gelarnya sebagai Tambaksegara, konon, merupakan pepenget atas kiprahnya dalam Perang Jawa yang identik dengan kepemimpinan Pangeran Dipanegara. Adapun salah satu muridnya, yang kemudian menjadi cikal-bakal aliran PAMU, Pangeran Papak, terlibat pula dalam Perang Jawa dimana eyangnya, Nyi Ageng Serang, tercatat dalam sejarah mainstream menjadi penasehat perang Pangeran Dipanegara yang kelak menjadikannya sebagai salah satu pahlawan nasional.
Sementara, tradisi uwaisiyah dalam kepercayaan tarekat-tarekat pendatang lebih dipahami dengan istilah “wahyu” sebagaimana yang didapatkan oleh R.Ng. Soekinohartono (pendiri Paguyuban Sumarah), Muhammad Subuh (pendiri SUBUD), dan Ki Kusumowicitra sendiri di samping kontaknya dengan R.P. Natarata. Satu pribadi yang dikenal dalam berbagai tarekat rupanya juga terdapat dalam tradisi kapitayan. Baik Paguyuban PAMU dan Harda Pusara, sama-sama mengenal satu pribadi yang memiliki ciri ketubuhan khusus dimana jari-jemari di salah satu tangannya racak atau papak. Paguyuban PAMU merujuknya sebagai Pangeran Papak dan paguyuban Harda Pusara merujuknya sebagai Gusti Harya Natapraja. Sementara, di dalam kepercayaan paguyuban PAMU, Natapraja lebih dikenal sebagai ayah dari Nyi Ageng Serang, eyang buyut dari Arya Papak.
Catatan historis mengenai keterlibatan Eyang Jimat Suryangalam Tambaksegara dan Pangeran Papak dalam perang Jawa, sekaligus karakteristik dari apa yang kini dikenal sebagai ajaran Syekh Siti Jenar diabadikan dalam salah satu pujian yang kerap dikumandangkan oleh para pengikut paguyuban PDKK dan PAMU. Syair pujian ini kumandang dengan nama “Ilmu Pujian Roso Sampurno.” Setelah saya teliti ternyata syair pujian ini cukup banyak memuat data-data historis seputar Perang Jawa dan Pangeran Dipanegara. Bahkan, dalam hemat saya, apa yang terjadi dalam Perang Jawa yang selama ini tak pernah tercatat dalam sejarah mainstream dapat diketahui dari syair “Ilmu Pujian Roso Sampurno.” Beberapa di antaranya adalah fakta bahwa gerakan perlawanan Pangeran Dipanegara adalah gerakan spiritual-politis yang lekat dengan citra tarekatnya, dimana struktur gerakannya laiknya “kerajaan” spiritual yang akrab di dunia para sufi dan wali dengan konsep wali dan wilayahnya (Yang Menyangga, Yang Tak Terbaca: Mengulik Sejarah Minor Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Dan saya kira pula, bagi kalangan yang sok islami yang gemar “masturbasif” dan sudah berani malu dengan seenaknya mengeluarkan judgment, pujian ini dapat mempermalukannya lebih jauh.
Waliko waliku wali olah Hu’ Allah
Pinayungan para nabi wali sedoyo Hu’ Allah
Heru Cokro Panetep Panoto Gomo Hu’ Allah
Ringik-ringik Yo Allah Yo Sabilollah Hu’ Allah
Allah Allah kawulo nyuwun pitulung Hu’ Allah
Pinulungo dene Pangeran kulo Hu’ Allah
Alohumo saliwo salim olo Hu’ Allah
Sayyidino Maulono Yo Muhammad Hu’ Allah
Sureng rono kawulo labuh bendoro Hu’ Allah
Sureng pati kawulo labuh ing Gusti Hu’ Allah
Laillah illah hailollah Hu’ Allah
Yo Muhammad Yo Allah Yo Rasulollah Hu’ Allah
Nyai Serang iseih lawas onjo ndunyo Hu’ Allah
Iku mbesuk yen mulih rochmadtulohi Hu’ Allah
Alohumo saliwo salim olo Hu’ Allah
Sayyidino Maulono Yo Muhammad Hu’ Allah
Lebur dadi den ulihno wiji suci Hu’ Allah
Lebur ilang den ulihno wujud suci Hu’ Allah
Laillah illah hailollah Hu’ Allah
Yo Muhammad Yo Allah Yo Rasulollah Hu’ Allah
Aku saiki isih lawas ono ndunyo Hu’ Allah
Aku mbesuk yen mulih menyang ing Adam Hu’ Allah
Alohumo saliwo salim olo Hu’ Allah
Sayyidino Maulono Yo Muhammad Hu’ Allah
Lebur dadi den suceni banyu suci Hu’ Allah
Lebur ilang den urugi siti suci Hu’ Allah
Laillah illah hailollah Hu’ Allah
Yo Muhammad Yo Allah Yo Rasulollah Hu’ Allah
Aku duwe sedulur lanang loro Hu’ Allah
Lungo dagang menyang jaman iyo Islam Hu’ Allah
Leh olehe sahadad tetep iman Hu’ Allah
Yo Muhammad Yo Allah Yo Rasulollah Hu’ Allah
Aku duwe sedulur lanang papat Hu’ Allah
Kang sawiji iku wajib amengkoni Hu’ Allah
Lungo dagang menyang fajar pasisiran Hu’ Allah
Munggah gunung mudhun gunung sak turunku Hu’ Allah
Tungganganku jaran napas sak seredan Hu’ Allah
Yo Muhammad Yo Allah Yo Rasulollah Hu’ Allah
Sir elor maujud ono kidul Hu’ Allah
Yo dzat wetan sipat ono kulon Hu’ Allah
Allah ngisor Muhammad ono nduwur Hu’ Allah
Waliollah kang ono yo ing tengah Hu’ Allah
Kumpulane suksmo kang sejati Hu’ Allah
Yo Muhammad Yo Allah Yo Rasulollah Hu’ Allah
Dep-idep iman taukit guyub
Gusti asih maring kawulo
Kawulo made ping Gusti
Tepung-runtung golong pikir
Laillah hailollah hu’ laillah hallollah hu’
Laillah hailollah Muhammad Yo Rasulollah hu’
Sabuwono sawabono selamet
Mesjid mekkah berkah iro
Bumi rubuh yo degeno
Tinekenan poro nabi
Tinambahan poro wali
Tinayungan dene Allah
Laillah hailollah hu’ laillah hailollah hu’
Laillah hailollah Muhammad Yo Rasulollah hu’
Alhamdulillahi
Kawulo masi bodho’o
Kawulo nyuwun pangestu
Kawulo nyuwun wahyu
Kawulo nyuwun rahayu
Enget asih Gusti kito Kanjeng Nabi Yo Muhammad
Tetep iman jejeg Adam ngenggoni sarine Allah
Alohumo salim olo sayyidina Yo Muhammad
Kawulo masi bodho’o oleho rochmade Tuhan
Lailollah hailollah-lailollah haillah
Lailollah hailollah-lailollah haillah
Lailollah Muhammad Yo Rasulollah laillah
Lailollah hailollah-lailollah haillah
Lailollah puji dikir saking Allah haillah
Lailollah hailollah-lailollah haillah
Lailollah pujine sarine Allah haillah
Lailollah hailollah-lailollah haillah
Lailollah Muhammad Yo Rasulollah laillah
Lazimnya, Ilmu Pujian Roso Sampurno tersebut didendangkan oleh para orang yang sudah berusia lanjut. Sebagaimana langgam pujian-pujian klasik di wilayah pedesaan Jawa yang dikumandangkan di antara adzan dan iqamat, Ilmu Pujian Roso Sampurno juga mengandung istilah-istilah Arab dan Jawa. Tapi, yang membedakan, Ilmu Pujian Roso Sampurno hanya didendangkan oleh para pengikut Eyang Jimat Suryangalam Tambaksegara dan Ki Ageng Djoyopoernomo (Kawruh, Matahari dan Rembulan Kemanusiaan, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com).
Bagi saya pribadi, Ilmu Pujian Roso Sampurno tersebut, di samping sebentuk syair pujian yang memuat dzikir-dzikir, merupakan sanepan atas peristiwa historis tertentu. Karena itulah temuan saya atas siapa sesungguhnya Pangeran Dipanegara beserta laskar, jejaring, dan kejelasan nasib mereka sesudah Perang Jawa sebagian besar mendasarkan diri pada data-data yang terdapat dalam Ilmu Pujian Roso Sampurno.
Dari syair Ilmu Pujian Roso Sampurno dapat diketahui bahwa yang diacu di sana adalah motif, struktur gerakan, dan karakteristik para pengikut Pangeran Dipanegara dalam Perang Jawa. Dalam syair pujian tersebut Pangeran Dipanegara adalah Sang Heru Cokro Panetep Panoto Gomo, yang dapat disepadankan dengan seorang raja atau bahkan sang qutub dalam konsep wali dan wilayahnya sebagaimana dalam kepercayan tarekat.
“Sabilollah” yang diacu dalam Ilmu Pujian Roso Sampurno, saya kira, mengacu pada motif yang mendasari Perang Jawa. Perang Suci—sebentuk perang yang lekat dengan nuansa “iman” yang kuat—tak menjadi salah satu faktor yang melatari perang yang dikobarkan oleh Pangeran Dipanegara dan para pengikutnya semata. Bukankah KH. Hasyim Asy’ari pernah pula mendasarkan perlawanannya pada keyakinan tertentu yang terkenal dengan istilah “resolusi jihad” yang kemudian mendasari konsep nasionalisme-religius NU—“Hubbul wathon minal iman”? Hubbul wathon atau cinta tanah air ini pula yang saya rasakan dari semangat Ilmu Pujian Roso Sampurno. Dalam ungkapan Ilmu Pujian Roso Sampurno konsep cinta tanah air ini dibahasakan dengan ungkapan “Sir Elor maujud ono Kidul.” “Sir” merupakan istilah dan konsep dalam tasawuf yang mengacu pada fakultas spiritual manusia di samping al-qalb yang bahkan lebih halus darinya.
Dalam hal ini, ungkapan Jawa keseharian, “Kowe ngesir aku, ta?,” diturunkan dari konsep “sir” tersebut dimana orang yang bersangkutan biasanya akan merasakan desiran jantung ketika bertemu, atau bahkan mendengar namanya saja disebut menjadi belingsatan tak karuan. Dan pada fakultas “sir” inilah konon, sebelum sperma sang Bapak diwadahi oleh rahim sang Ibu, kodrat kita mampir terlebih dahulu. Dengan demikian, istilah “sir” di sini adalah lebih pada perasaan “branta” atau berahi yang kemudian melahirkan konsep “jadzb” dalam tasawuf (Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Santri Brai, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2011).
Namun demikian, “sir” dalam Ilmu Pujian Roso Sampurno tak mengacu pada rasa yang dialami oleh seorang lelaki dan perempuan. Ia lebih mengacu pada kaitannya dengan Allah (sirullah). Karena itulah dalam Ilmu Pujian Roso Sampurno banyak disebutkan berbagai formula dzikir, mulai dari dzikir nafi-isbat, dzikir isbat semata, maupun dzikir taraqqi dan bahkan dzikir ism ghaib. Dari formula-formula dzikir ini menjadi jelas yang menjadi salah satu tarekat para pengikut Pangeran Dipanegara adalah Syatthariyah yang kemudian dikombinasikan dengan tarekat Naqsyabandiyah serta kapitayan yang sudah mengendap terlebih dahulu pada sosok Pangeran Dipanegara sebagai seorang Pangeran Jawa dan beberapa pengikutnya seperti Nyi Ageng Serang dan Eyang Jimat Suryangalam Tambaksegara. Di kalangan ningrat Jawa dan pesantren, tarekat yang terkombinasikan pada era Perang Jawa ini lebih dikenal dengan sesebutan tarekat Akmaliyah (PDKK) ataupun Haqqmaliyah (PAMU).
Karena sifatnya yang resisten akhirnya kombinasi tarekat yang terkombinasikan di era Perang Jawa ini berdiaspora ke kalangan ningrat (keraton), pesantren (yang berbungkus dengan tarekat-tarekat familiar lainnya yang bercorak sunni), dan bertransformasi menjadi aliran-aliran kapitayan sebagaimana Eyang Jimat Suryangalam Tambaksegara dengan PDKK-nya dan Ki Ageng Djoyopoernomo dengan PAMU-nya. Kedua pribadi pewaris aliran PDKK dan PAMU tersebut memang tercatat terlibat dalam Perang Jawa dimana dalam catatan sejarah mainstream bersembunyi di balik nama kondang—karena menjadi pahlawan nasional—Nyi Ageng Serang, salah seorang perempuan penasehat perang Pangeran Dipanegara. Di samping itu, status buruan Belanda juga menjadikan tarekat Perang Jawa ini berdiaspora dan bertransformasi sedemikian rupa. Taruhlah Eyang Jimat Suryangalam Tambaksegara dan Pangeran Papak yang merupakan cucu HB II yang berbesanan dengan Nyi Ageng Serang, yang karena itu merupakan keponakan dari Sang Heru Cokro sendiri, Pangeran Dipanegara.
Adapun yang berdiaspora ke pesantren-pesantren ber-khumul ria, salah satu di antaranya, bersama dengan Kyai Abdurrauf di Gunungpring (Jejaring Dipanegara dan Nasibnya Sesudah Perang Jawa, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Dengan demikian, saya kira, terdapat tiga jalur diaspora tarekat Perang Jawa: jalur keraton, pesantren, dan kapitayan atau Aliran Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ilmu Pujian Roso Sampurno di atas merupakan data-data historis hasil sumbang-sih Paguyuban Purwane Dumadi Kautaman Kasampurnan (PDKK) yang menisbahkan diri pada pribadi Eyang Jimat Suryangalam Tambaksegara dan Pirukunan Ayu Mardi Utomo (PAMU) yang menisbahkan diri pada pribadi Pangeran Papak.