Di Madura, “Gus” lebih dikenal dengan sebutan “Lora”, “Nom” dan “Bindhere”. Karena itu, di Madura, seorang (anak muda) putra kiai besar biasanya pasti akan dipanggil Lora bukan Gus. Tetapi, maksud dan tujuannya sama, adalah gelar yang tersemat kepada putra keturunan kiai-kiai, terlebih kiai yang punyak (mengasuh) pesantren. Karena sebagian dari kiai-kiai, ada yang tak punyak pesantren, namun panggilan Gus tetap disematkan.
Selain kepada anak kandung, Gus juga bisa disematkan kepada anak laki-laki menantu kiai. Menantu kiai akan dipanggil Gus meskipun tidak memiliki garis keturunan kiai (darah biru). Ketika anak kandung kiai naik menjadi pengurus pesantren menggantikan ayahnya, jelas akan bergelar kiai. Panggilan Gus yang semula tersemat dalam dirinya seketika hilang. Demikian halnya juga dengan panggilan “Neng” (putri kiai) akan menjadi “Nyai”.
Namun demikian, sebutan gus juga bisa dijadikan lambang keilmuan dan akhlak sosial seseorang, terutama santri. Artinya, Gus tidak hanya sebagai lambang keturunan kiai, melainkan juga penguasaan seseorang terhadap ilmu pengetahuan. Kerap kali kita menjumpai penyematan Gus kepada seseorang yang bukan keturunan kiai.
Ini terjadi karena, seseorang (yang buka putra kiai) memiliki kecakapan ilmu pengetahuan agama yang luas dan mendalam disamping juga ilmu umum. Sehingga secara keilmuan dan perilaku sosialnya pantas diberi gelar Gus.
Panggilan Gus dibanggakan?
Kiai Abdurrahman al-Kautsar atau lebih dikenal Gus Kausar dalam suatu kesempatan pernah menyampaikan:
وشر العالمين ذوو خمول إذا فاخرتهم ذكروا الجدودا
فخير الناس ذو حسب قديم اقام لنفسه حسبا جديدًا
“Generasi paling tidak menarik adalah generasi dimana ia tidak memiliki kompetensi, tidak memiliki kemampuan. Tapi ketika ada orang lain sukses dia bilang itu masih belum apa-apa, sukses semacam itu belum apa-apa. Dulu kakek, nenek dan bapak saya jauh diatas itu. Iya itu kakek kamu. Kamu sendiri dimana?”
Tak hanya itu, sambung Gus Kausar, “Makanya orang terbaik adalah orang yang dilahirkan dari keluarga istimewa (dari turunan raja misalnya), tapi dia mampu mengangkat hasabnya (presentasinya) tanpa melibatkan orang tuanya. Ini adalah yang idealis dan terbaik.” Artinya, jangan menjadi orang yang hanya bisa membanggakan para pendahulu saja. Namun, buatlah keunggulan dan prestasi diri sendiri dan tidak mengekor dan membawa-bawa kemulian pendahulunya.
Memang gelar dan panggilan Gus adalah sebuah penghormatan yang sangat luar biasa bagi masyarakat, khususnya Jawa Timur, untuk orang yang kebetulan dilahirkan dari darah biru (kiai) yang memiliki karya-karya, memiliki atsar dalam hidupnya. Gelar Gus sama sekali bukan suatu penghormatan kepada diri sang anak kiai (keturunan kiai). Jelas tidak. Melainkan untuk menghargai jasa-jasa orang tuanya (kiai). Alih-alih menghargai, (mohon maaf) malah yang terjadi kadang kala ada seseorang (putra kiai) yang bangga sekali dengan panggil Gus.
Bisa dikatakan, andaikan ada seorang santri misalnya yang memanggilnya, maka harus panggil Gus. Bahkan, ia akan marah jika menjumpai seorang santri yang tak memanggil dirinya dengan Gus. Padahal sebetulnya, kalau ia mau memahami, ia sang anak dipanggil Gus bukan karena kehebatan diri sendiri, tapi hanya untuk mengingatkan bahwa ia hanya orang anak hebat. Dalam hal ini bukan dirinya yang hebat. Ia hanya numpang nama saja.
Bagi saya pribadi, seseorang dipanggil Gus harus memenuhi kreteria dan syarat-syarat tertentu. Jelasnya tak sembarang orang bisa dipanggil Gus. Ada gelar yang pada hakikatnya tidak bisa disandangkan begitu saja. Mereka yang diberi (mendapat) gelar, apalagi Gus, semestinya harus melalui proses-proses pembuktian yang wajar sehingga bisa dipanggil Gus.
Ini senada dengan apa yang di tulis Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin: “Jika engkau membangga-banggakan kakek moyang yang memiliki kemuliaan, engkau benar, namun (engkau) adalah seburuk-buruk anak yang pernah dilahirkan. Orang yang menyombongkan nasab, jika ia memiliki sifat-sifat rendahan, maka dari mana ia dapat menambal kehinaannya dengan kesempurnaan orang lain?”
“Jika seandainya kakek moyangnya yang ia bangga-banggakan masih hidup, tentu ia akan berkata, keutamaan itu milikku, siapa dirimu? kamu tidak lebih dari sekedar ulat yang tercipta dari air kencingku. Adakah kamu anggap bahwa ulat yang tercipta dari air kencing manusia itu lebih mulia dari ulat yang tercipta dari air kencing kuda? jauh sekali, bahkan keduanya sama. Kemuliaan itu untuk manusia, bukan untuk ulat.” Wallahu a’lam bisshawab.