Salah satu definisi orang beriman ialah ketika hatinya melekat dengan masjid (rajulun qalbuhu mualliqun bilmasjid). Dalam praktik keseharian, masjid dipersepsi sebagai parameter keimanan seseorang.
Secara sederhana, Muslim yang keluar rumah dan mempraktikkan ritual ibadahnya di masjid mendapatkan ganjaran posisi penting di masyarakat. Dengan catatan tidak menyulut keributan atau berkhutbah politik.
Apabila disigi, hadis itu terkesan sangat maskulin. Berpijak pada segi historis, sejarah berdirinya masjid tidak lepas dari dominasi kaum adam. Hanya tersebut Ummu Mahjan, seorang perempuan hitam yang pernah menjadi marbot Masjid Nabawi di zaman Rasulullah saw. Selain itu, perempuan belum terlihat menonjol sampai berdirinya Xiaotaoyuan Mosque for Women, Tiongkok. Masjid yang ada sejak Dinasti Qing (1644-1912) itu dikenal mengemban misi membangun tradisi tentang imam perempuan.
Setelah masjid itu didirikan, muncul banyak masjid yang senafas membangun tradisi imam perempuan di berbagai belahan dunia, seperti; Sultan Abdul Majid Mosque (Lebanon), Fatima Mosque (Paris), Mariam Mosque (Denmark), Ibn Rushd-Goethe (Jerman), Qal’bu Maryam (Amerika), Womens Mosque of America (Amerika), dan lain-lain.
Sementara itu, catatan mengenai sejarah masjid perempuan di Indonesia terdapat dalam buku Fragmenta Islamica, G. F. Pijper (1987). Ia merangkum masjid perempuan di Jawa. Lewat buku ini, Pijper menceritakan tentang sebuah masjid perempuan di Kauman, Yogyakarta. Kemudian cabang ‘Aisyiah di Garut mendirikan Masjid Istri pada 1 Februari 1926, masjid perempuan ketiga didirikan di Karangkajen, sebuah kampung di Yogyakarta pada 1927, dengan biaya 6000 gulden.
Kemudian, juga didirikan masjid perempuan di Kampung Suronatan, Yogyakarta. Di Jawa Timur, masjid perempuan didirikan di kampung Plampitan, Surabaya. Di Solo sendiri, ada di kampung Keprabon. Juga, ada masjid perempuan di Ajibarang, daerah Kabupaten Purwokerto (Pijper, 1987:3-4).
Sangat disayangkan, penelitian itu tidak menyebut Masjid Kanugrahan sebagai masjid perempuan di Gresik, Jawa Timur. Dalam buku Dinamika Pondok Pesantren Qomaruddin (2014) disebutkan jika berdirinya Masjid Kanugrahan pada tahun 1365 H/1946 M, atas permintaan dari Ibu KH. Ismail, Ibu Nyai Muslihah istri KH Moh. Sholeh Tsani sebab jarak masjid utama di desa terlampau jauh bagi jamaah perempuan yang berada di Sampurnan.
Mbah Mail, demikian panggilan akrabnya bagi santri dan masyarakat sekitar, merupakan pengasuh Pondok Pesantren Qomaruddin pada tahun 1902-1948, menggantikan ayahandanya KH. Moh Sholih Tsani (Saat mondok di Kedung Madura, Kiai Sholeh segenarasi dengan K.H. Moh. Kholil Bangkalan) yang meninggal dunia.
Sedangkan Pondok Pesantren Qomaruddin sendiri berdiri pada tahun 1775 M, termasuk sebagai pondok tertua di Jawa Timur setelah Pondok Sidogiri Pasuruan. Pesantren Qomaruddin terletak sekitar 10 km ke arah utara dari makam Fatimah binti Maimun, Leran. Masjid itu terletak di area Pondok Pesantren Qomaruddin Bungah, persis di samping makam Kiai Qomaruddin dan Langgar Agung. Nama tempat didirikannya pesantren dan masjid itu ialah “Sampurnan”, yang merupakan akronim dari ibarah sampurno temenan; sungguh sempurna.
Istilah itu dicetuskan oleh Kiai Qomaruddin ketika mendapati Desa Bungah sebagai wilayah yang sangat unik dan strategis. Sebelum pertama kali menginjakkan kaki di Desa Bungah, Kiai Qomaruddin—seperti paham ilmu planologi—menginginkan wilayah yang dekat dengan sumber air, dekat dengan hutan, dekat dengan pasar, dekat dengan jalan raya, dan dekat dengan pusat pemerintahan. Adanya konsep hunian seperti itu tidak lain berguna untuk menunjang mobilitas sehari-hari para santri.
Bangunan masjid ini tidak terlalu mencolok dan sederhana. Berukuran sekitar 10 meter persegi, konstruksi dan ornamen dindingnya terlihat sangat sederhana. Meskipun demikian, ia mempunyai nilai sejarah yang erat kaitannya dengan supremasi perempuan Islam pasca kemerdekaan yang melakukan inisiatif gerakan terhadap hak-hak perempuan secara kolektif di ruang publik.
Masjid itu sampai saat ini masih berfungsi sebagaimana mestinya, terutama pada malam sepuluh akhir bulan suci Ramadan. Adapun sehari-harinya pemanfaatan masjid di luar bulan suci Ramadan ialah digunakan para santri untuk salat, mengaji Alquran, dan menghafalkan pelajaran (muthola’ah), dan juga i’tikaf. Selain itu, bagi masyarakat sekitar, masjid ini lebih diidentikkan sebagai tempat beribadah perempuan ‘yang sudah menjanda’ di wilayah Sampurnan.
Ala kulli hal, masjid bukan ruang yang bias gender. Meskipun perempuan kerapkali merasa terisolasi. Tapi secara normatif, tentu masjid memiliki hijab yang berguna sebagai segregasi antara laki-laki dan perempuan.(RM)