Salah satu hal yang paling membahagiakan saya saat sowan ke rumah Kiai adalah diperkenankan untuk membuka koleksi kitab-kitab beliau. Kemarin, saat sowan ke salah satu pondok tertua di Bumi Sunda, Ponpes Sukamiskin, kami diizinkan oleh pengasuhnya, Kiai Abdul Aziz, untuk membuka almari berisi koleksi keluarganya.
Saya membuka satu persatu kitab-kitab klasik yang tersimpan di almari tersebut. Saya menemukan banyak sekali kitab koleksi keluarga pondok Sukamiskin yang membuat saya cukup terkejut. Selain karya-karya tulis dari leluhur Kiai Aziz yang juga cukup banyak, mata saya tertuju pada satu kitab klasik berjudul: Maqamat al-Hariri. Untuk ukuran di Indonesia, terlebih di awal abad 20, cukup langka menjadi sebuah koleksi. Kiai Raden Dimyathi yang wafat pada tahun 1946 ini salah satu kolektor kitab tersebut. Bahkan hingga kini, tulisan tentang al-Hariri dan karyanya masih cukup langka.
Maqamat al-Hariri ditulis oleh seorang ahli sastra Arab, al-Hariri (1054-1122). Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad al-Qasim ibn Ali ibn Muhammad ibn Utsman al-Hariri. Ia lahir di Basrah Irak pada tahun 1054. Al-Hariri, menurut Philip K. Hitti, bersama al-Hamdzani merupakan penyempurna sastra Arab. Karya sastra al-Hariri sangat elegan dengan menggunakan anekdot-anekdot retoris. Anekdot digunakan sebagai cara yang samar yang sekaligus bertujuan untuk mengkritik tatanan sosial dan menyampaikan pesan moral.
Mengenai keindahan Maqamat al-Hariri, al-Zamakhsyari penulis kitab Tafsir al-Kasyaf yang kesohor itu sampai memujinya dengan bait syair yang indah:
Aku bersumpah atas Nama Allah dan ayat-ayat-Nya * juga demi waktu dan miqat haji
Bahwa al-Hariri adalah orang yang sangat layak * menuliskan maqamatnya dengan tinta emas
Mama Gedong
Kembali kepada KH. Ahmad Dimyathi. Beliau adalah putra dari pendiri Pondok Pesantren Sukamiskin, KH. Muhammad Alqo. Berdasarkan tuturan dari Kiai Aziz, ayahanda beliau adalah santri dari Syekh Nawawi Banten saat belajar di Makkah. Sedangkan Kiai Dimyathi sendiri merupakan murid dari Syekh Mahfudz al-Tarmasi.
KH. Muhammad Alqo mulai mendirikan pesantren Sukamiskin pada tahun 1881 M hingga beliau wafat pada tahun 1911 M. Estafet kepemimpinan pondok pesantren dilanjutkan oleh salah satu menantu beliau yang bernama KH. Muhammad Kholil. Setelah kepulangan Kiai Ahmad Dimyathi dari belajar di Makkah, beliau mendapatkan amanah meneruskan pondok Sukamiskin.
Keluarga Pesantren Sukamiskin dikenal dengan keluarga yang cukup kaya. Bangunan rumahnya yang cukup kokoh dan megah yang masih terlihat hingga sekarang menjadi salah bukti dari kekayaan yang dimiliki keluarga pesantren yang kini lokasinya tak jauh dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin ini. Oleh karena itu, KH. Ahmad Dimyathi mendapat julukan sebagai Mama Gedong. Sebuah laqab yang dilekatkan dengan rumah keluarganya yang mirip gedung karena kekokohannya.
Dengan ekonomi yang di atas rata-rata ini tidak mengherankan bila kemudian kitab-kitab koleksi yang dimiliki keluarga ini cukup banyak dan tidak sedikit yang langka atau jarang dimiliki oleh kiai lain di masanya. Selain itu, Mama Gedong juga seorang yang ahli di dalam praktik pengobatan. Konon, beliau memiliki apotek sendiri. Cicit beliau, Kang Fiqih, kemarin sempat menunjukkan wadah membuat obat yang terbuat dari besi peninggalan dari Mama Gedong.
Mama Gedong juga dianggap sebagai seorang kiai yang pertama kali memperkenalkan ngalogat. Sebuah pemaknaan atas kitab kuning secara kata per kata dengan menggunakan bahasa Sunda. Model pemaknaan ngalogat di pesantren Sunda pada masa itu mungkin masih terbilang sangat sedikit yang menggunakannya. Menurut Iip, hal yang wajar bila Mama Gedong tidak menggunakan makna Jawa sebagaimana ajengan-ajengan Sunda lain mengingat Mama Gedong relatif tidak memiliki hubungan intelektual dengan guru yang menggunakan aksara Jawa. Sebab, ia berguru langsung ke Makkah yang menggunakan bahasa Arab sebagai pengantarnya.