Pada titik ini para aktivis ALUR (Aktivitas Layanan Untuk Rakyat), jaringan Syarikat Indonesia di Batang, “mempertemukan” para tapol dengan pihak NU, dalam hal ini pengurus formal NU setempat. Dalam silaturahim dan dialog kedua belah pihak sama-sama menilai positif acara ini, seperti terwakili ucapan salah satu korban, “Bertemu adalah jalan yang sangat baik. Bagaimana bisa berbaikan bila tidak pernah bertemu?”.
Dari diskusi ada ide agar sama-sama berjuang menolak diskriminasi, berdasarkan anggapan selama ini keduanya, korban dan kalangan NU, kerap mendapat perlakuan diskriminatif. Pertemuan ini menjadi salah satu tonggak dalam proses rekonsiliasi akar rumput di Kabupaten Batang. Bagi kalangan anak muda bisa mengartikan bahwa para sesepuh NU merestui kerja-kerja mereka selama ini, buktinya perwakilan pengurus NU bersedia hadir dalam acara yang melibatkan para korban seperti diskusi dan halal bi halal hari raya Idul Fitri.
Meskipun demikian ada kegelisahan di kalangan ALUR bagaimana masa depan hubungan dengan korban yang telah terjalin selama ini. Apakah cukup mereka dijadikan nara sumber penggalian data dan setelah itu usai? Bagaimana melanggengkan hubungan diantara para korban yang sudah mulai saling mendekat lagi? Bagaimana meningkatkan hubungan korban dengan masyarakat, khususnya warga NU, bisa lebih semakin erat?
Maka awal tahun 2002 diputuskan untuk mengadakan pertemuan di pondok pesantren dan Madrasayah Aliyah Subhanah desa Subah yang dikelola oleh keluarga KH Fahcrurozi, salah satu sesepuh NU. Kebetulan saya yang mengajar di sekolah tersebut, sehingga diserahi mempersiapkan acara ini. Dengan dihadiri hampir sebagian besar korban sekitar 60 orang dari berbagai kecamatan dan KH Fahcrurozi sebagai tuan rumah acara ini diwarnai pembicaraan yang cukup hangat, Pokok diskusi adalah bagaimana supaya para korban bisa rutin saling bertemu? Apa kebutuhan utama yang paling mendesak?
Disepakati untuk bertemu sekali tiap bulan sembari membuat semacam arisan. Ada yang meningatkan bahwa pertemuan semacam ini hanya mungkin terlaksana bagi korban yang sanggup menempuh jarak kayuh sepeda, artinya hanya sebatas yang berdomisili di Batang dan sekitarnya. Alhasil pada bulan Desember 2003 mulai dipakai nama Paguyuban Anak Bangsa (PAB), yang merupakan organisasi atau komunitas antara para korban dan aktivis ALUR.
PAB mungkin bisa dianggap pula sebagai eksperimen proses bertemunya dua kelompok: korban dengan anak-anak muda NU, melalui strategi pertemuan kontinu yang intensif. Wujudnya adalah pertemuan bulanan dan kadang ada pula pertemuan beberapa tokoh-tokohnya jika dirasakan ada keperluan yang mendesak atau jika akan mengadakan suatu event. Dari pertemuan ke pertemuan terjalin hubungan yang sudah tidak ada jarak lagi antara korban dengan anggota ALUR yang bisa dianggap representasi NU.
PAB sendiri sejak dibentuk berangkat dari ide bahwa rekonsiliasi harus berpihak kepada korban. Oleh sebab itu ditanyakan apa sebenarnya kebutuhan utama korban? Di Batang kebutuhan utama yaitu diuwongke (diperlakukan secara manusia) di masyarakat. Selama ini mereka merasa hanya hidup secara fisik, namun jarang sekali diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan publik, dianggap sebagai “liyan,” “musuh,” ditambah lagi sebagian besar para korban relatif miskin dan hidup pada taraf subsisten.
Hal-hal yang membuat mereka yang masih dilekati stigma negatif semakin tersisih dari lingkungan sosial. Secara ideal PAB diangankan sebagai “ruang bersama” antara korban dengan warga lain, khususnya aktivis muda NU (memang para aktivis NU muda yang relatif intens menggunakan ruang bersama ini). Ruang ini menjadi tempat bertemu untuk membicarakan dengan bebas, misalnya mencurahkan memori korban yang sulit diungkap di tempat lain, bahkan di kalangan keluarga sendiri, sampai rencana ke depan yang mungkin dikerjakan dan diwujudkan.
Pertemuan bulan-bulan berikutnya mulai ada diskusi agar ada sesuatu yang mengikat bukan sekedar masalah-masalah sosial politik, tapi membicarakan pula aspek ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan keluarga korban. Lalu muncul ide koperasi simpan pinjam yang langsung ditentang oleh korban yang lebih “ideologis.” Artinya korban yang selalu curiga bahwa kegiatan perkoperasian ini akan mengendorkan rasa perjuangan serta membelokkan niat awal untuk bertemu ke arah urusan ekonmi belaka.
Secara psikologis ada ketakutan akan mengikis rasa bangga diri sebagai korban yang memegang kebenaran prinsip dan keyakinan, bahkan dikuatirkan meruntuhkan kadar ideologis dari gerakan yang tengah dilakukan antara korban dan ALUR. Sementara bagi korban yang agak pragmatis, ide koperasi adalah solusi untuk meminjam uang tanpa melalui prosedur berbelit-belit dan tidak perlu ada jaminan apa pun. Jaminannya adalah saling percaya.
Di tengah perdebatan ini, pihak ALUR menjelaskan bahwa koperasi bisa menjadi pijakan yang diharapkan mampu memperkuat posisi korban, khususnya secara ekonomis, dan serentak juga tetap berjuang dalam gerakan rekonsiliasi. Pihak korban, mengutip salah satu tokohnya, memandang bahwa memperluas fungsi di bidang ekonomi akan dapat menjadi energi bagi keluarga korban untuk melanjutkan perjuangannya dalam menuntut keadilan. Maka pilihan koperasi sebagai fokus aktivitas PAB akhirnya bisa diterima dengan catatan tidak mengendorkan perjuangan menuntut penghapusan segala bentuk diskriminasi dan pengungkapan kebenaran masa lalu.
Dengan nama SETIA KAWAN, koperasi simpan pinjam secara resmi mulai berjalan tanggal 25 November 2005. PAB dan koperasi ini juga melakukan usaha ekonomi produktif antara lain: mendirikan klinik akupuntur Margo Waras, membuat budi daya jamur merang (jerami), dan peternakan kelinci. Koperasi ini aktif sampai tahun 2016, dan berangsur-angsur mulai tidak bergiat karena satu persatu anggotanya, khususnya dari kalangan korban, meninggal dunia, mulai saikit-sakitan karena lanjut usia.
Sementara itu aktivis ALUR mendorong internalisasi gagasan rekonsiliasi di kalangan NU karena menyadari cara pandang anti komunis versi Orde Baru tetap hidup pasca reformasi. Sebagai generasi yang menerima narasi sejarah tunggal versi Orde Baru sebagian anak-anak muda NU awal 2000an memandang orang PKI sebagai pengkhianat bangsa Indonesia, tidak bermoral, dan atheis. Bahkan harus diakui pada awal-awal beberapa anggota ALUR pun masih memegang stigma ini, namun perlahan setelah melalui diskusi dan pergaulan langsung dengan mantan tapol, tumbuh kesadaran untuk menerimanya sebagai korban dari suatu tragedi kemanusiaan. Hampir semua orang yang mengenal tahu kalau salah aktivitas ALUR adalah pendampingan para korban 1965, maka sering terlontar, entah hanya sebatas guyon atau bukan, dikatakan sebagai “koncone wong PKI” di kalangan teman-teman sesama aktivis NU.
Memberikan pemahaman tentang rekonsiliasi kepada generasi muda NU juga merupakan tantangan tersendiri bagi kami. Membongkar ingatan yang sudah terlanjur dijejali dengan sejarah versi penguasa Orde Baru bukanlah perkara mudah. Dalam obrolan-obrolan santai di antara kami, secara tidak sadar, terkadang masih terlontar ucapan-ucapan yang diskriminatif dari teman sesama aktivis NU terhadap korban 65/66.
Namun, secara prinsip sebenarnya hubungan antara generasi muda NU dengan korban 1965/1966 tidak ada masalah dan cukup erat. Terbukti, dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh organisasi NU (PCNU, Ansor, IPNU-IPPNU), PAB selalu diundang dan demikian pula sebaliknya. Setiap Idul Fitri, PAB selalu mengadakan kegiatan halal bi halal dengan mengundang seluruh elemen generasi muda NU.
Jadilah aktivis ALUR sekaligus motor penggerak utama aktivitas Lakpesdam. Secara tidak langsung gagasan rekonsiliasi atas dasar kemanusiaan, dan penghapusan diskriminasi terhadap korban 1965 sangat mewarnai pula kegiatan-kegiatan Lakpesdam NU Batang. Bahkan dalam kerja pengorganisasian masyarakat, istilah “Turba” yang dekat dengan idiom PKI di masa lalu, kemudian jadi sering dipergunakan.
Melalui kegiatan Lakspedam dan ALUR, aktivis NU yang lain bisa berkenalan dan malah terjalin persahabatan dengan bapak atau ibu korban persitiwa 1965. Meskipun barangkali anak-anak muda itu belum sepenuhnya membebaskan diri dari perspektif sejarah warisan Orde Baru, akan tetapi paling tidak bisa mulai bisa menerima bahwa dalam tragedi 1965 terdapat korban yang menanggung kerugian dan penderitaan tanpa pengadilan serta dilekatkan stigma negatif selama bertahun-tahun.
Pada bulan Maret 2011 di Batang, PAB menggelar perhelatan yang didukung oleh Jaringan GUSDURian, dan Solidaritas Indonesia (SI), suatu komunitas para eksil, kelompok pro-demokrasi dan kemanusiaan yang terdiri dari aktivis, mahasiswa, pemuda– baik warga Indonesia maupun non-Indonesia yang bermukim di Prancis. Hadir Alissa Wahid, putri sulung Gus Dur, mantan Ketua Umum PBNU yang pernah menjabat sebagai Presiden RI, bertemu dengan perwakilan Solidaritas Indonesia yakni Ibarurri Aidit, putri DN Aidit, mantan Ketua Umum Comite Central PKI, dan Irina Dayasih, putri Nyoto, mantan Ketua III Comite Central PKI.
Barangkali ini pertemuan yang langka dan pertama kali pada anak-anak tokoh yang merupakan representasi atau simbol dari dari dua kelompok besar yang dianggap berseberangan secara ideologis. Gus Dur jelas sosok yang lekat dengan NU, sedang Aidit dan Nyoto merupakan nahkoda PKI dimana kedua partai tersebut memiliki pendukung yang besar pada Pemilu 1955. Pertemuan tersebut bisa diamaknai sebagai simbol perjumpaan NU-PKI untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan, dan menepis ambisi kekuasaan kelompok masing-masing.
*Esai ini dalam edisi yang lebih luas sudah diterbitkan oleh penulis dengan judul “Menyambung Yang Putus, Memulihkan Yang Retak, Pengalaman Rekonsiliasi Akar Rumput di Batang” dalam buku Rekonsiliasi Kultural Tragedi 1965, Catatan Pengalaman Syarikat Indonesia (Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2016)