Kalimantan Barat sangat kaya akan khazanah kebudayaan dan sejarahnya. Di daerah ini banyak situs peninggalan sejarah yang pantas dilestarikan, terutama situs yang berkaitan dengan kerajaan atau kesultanan. Salah satu situs kerajaan di Kalimantan Barat adalah Kerajaan Kubu. Dalam sejarah, berbeda dengan kerajaan-kerajaan di Jawa, Kerajaan Kubu sangat jarang diketahui. Padahal Kerajaan Kubu merupakan kerajaan yang memiliki banyak khazanah keilmuan, khususnya dalam bidang keagamaan.
Di samping itu, Kerajaan Kubu juga didirikan oleh salah seorang sayyid asal Tarim, Hadramaut. Sebagaimana yang tercatat dalam buku berjudul, “Sejarah Kerajaan Kubu”, buku ini diterbitkan oleh STAIN Pontianak Press pada tahun 2013. Buku setebal 207 halaman ini banyak bercerita mengenai awal perkembangan Kerajaan Kubu hingga para ulama dan karya-karyanya.
Kerajaan Kubu dalam Sejarah
Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terdapat di Pulau Kalimantan. Bagian barat provinsi ini berbatasan dengan Laut Cina Selatan, bagian timur berbatasan dengan Kalimantan Timur, bagian tenggara dengan Kalimantan Tengah, bagian utara berbatasan dengan Sarawak (Malaysia Timur), dan bagian Selatan berbatasan dengan laut Jawa.
Pada masa lampau di Kalimantan Barat terdapat sejumlah kerajaan baik besar maupun kecil. Di antara kerajaan tersebut, antara lain Kerajaan Sambas, Kerajaan Pontianak, Kerajaan Matan, Kerajaan Sintang, dan Kerajaan Kubu. Kerajaan Kubu merupakan salah satu pusat pemerintahan tradisional terletak di pinggir Muara Sungai Kapuas Besar, Kalimantan Barat. Berdasarkan naskah Salinan karya raja Kubu ke-8, Syarif Shaleh bin Syarif Idrus Alaydrus, yang disalin oleh Abang Haji Zawawi bin Abang Haji Abdul Latif atas perintah Tuan yang terutama Gubernur Sarawak Malaysia, disebutkan bahwa Kerajaan Kubu dikenal dengan sebutuan negeri Kuala Kubu.
Diperkirakan kira-kira berumur 40 tahun seorang Sayyid bernama Idrus bin Abdurrahman Alaydrus, lahir di Yaman, Hadramaut pada 17 Ramadhan 1144 H atau 1732 M. Meninggalkan Hadramaut dengan tujuan menyampaikan Islam kepada mereka yang belum mengenal Islam. Dalam perjalanan beliau pun tiba di rantau yang sekarang bernama desa Dabung, yang terletak di tepi Pantai kanan Kuala Kubu, dengan niat sambil memperbaiki perahu, beliau pun lalu bermukim sejenak.
Namun, setelah melihat potensi daerah tersebut, beliau lalu memutuskan untuk membuka perkampungan baru disana. Dengan sebelumnya memohon persetujuan dari Sultan Ratu Kerajaan Simpang Matan, pada 1768 M, Sayyid Idrus Alaydrus kemudian mulai membuka perkampungan dengan beberapa anak buahnya dan dibantu oleh orang-orang Bugis dan Melayu. Kemudian secara resmi pada tahun 1780 M, Sayyid Idrus mendirikan kerajaan dengan gelar Tuan Besar Raja Kubu.
Sejak Sayyid Idrus Alaydrus resmi menjadi raja, posisi Islam semakin mapan dan jumlah penganutnya meningkat. Untuk menunjang kegiatan pengislaman, dirikan sebuah surau yang sekarang letaknya di samping kompleks pemakaman Sayyid Idrus. Dilihat dari fungsinya, selain sebagai tempat ibadah, surau ini juga menjadi pusat belajar agama Islam. Tahap pelembagaan Islam di Kerajaan Kubu mulai mengalami puncaknya ketika Sayyid Abbas Alaydrus berkuasa (1900-1911) ditandai dengan dibentuknya lembaga mufti di kerajaan ini dengan mengangkat Guru Haji Ismail Mundu pada tahun 1907.
Tradisi Keilmuan di Kerajaan Kubu
Sejak diangkatnya Guru Haji Ismail Mundu menjadi mufti Kerajaan Kubu, beliau banyak melahirkan berbagai karya. Guru Haji Ismail Mundu merupakan ulama yang berasal dari Sulawesi Selatan, yang lahir pada 1870 M. Sebagai Mufti, Guru Haji Ismail bertanggung jawab terhadap berbagai persoalan keagamaan di wilayah Kerajaan Kubu. Selain menyampaikan pengajaran agama kepada murid-muridnya, Guru Ismail juga menyempatkan diri untuk menulis buku.
Sejauh yang dapat di data, setidaknya Guru Ismail memiliki lebih dari 29 karya. Diantara kitab itu adalah kitab “Mi’raj juzu”, terdiri 16 juz yang menjelaskan perjalanan Isra Mi’raj. Di salah satu bagian juz-nya Guru Ismail menjelaskan tentang orang yang mau menggunakan akal yang dapat mengambil pelajaran dari fenomena yang terjadi;
“Dan mencukupilah bagi segala orang yang ada akal pikiran yang sempurna menerima pengajaran dan mengambil buah teladan dan contoh dengan melalui masa sepanjang-panjanganya dan orang yang ada nur Cahaya hati yang bersih tiada keluh dia peduli dan tiada menaruh hina di hatinya denga napa rupa kejadian yang terjadi dan di dalam hidup pada dunia ini”
Selain kitab mengenai Isra’ Mi’raj, sebagaimana dijelaskan pada buku ini “Sejarah Kerajaan Kubu”. Guru Ismail juga menulis kitab tentang khutbah-khutbah, mulai dari khutbah bulan Sya’ban hingga mendirikan atau merenovasi masjid. Selain itu, Guru Ismail juga menulis tentang Zikir Tauhidiyah dan Mukhtasar al-Mannan ‘al al-‘Aqidat al-Rahman, kitab dengan 20 halaman yang berisi ajaran tentang sifat 20.
Selain Guru Ismail, ternyata ada juga kitab-kitab yang ditulis oleh Raja Kubu sendiri, yakni Sayyid Saleh Alaydrus, yang berjudul “Nashihat al-Zaman” dan “Nashihat al-Awlad”. Sebagai kerajaan yang berbasis Islam, Kerajaan Kubu juga memiliki lembaga keagamaan dan juga masjid. Diantara masjid itu adalah Masjid Nashrullah. Namun lebih dikenal dengan masjid batu. Dinamakan demikian karena bahan material utama masjid ini adalah batu (beton). Sementara di masa itu bangunan paling banyak hanya menggunakan bahan dari kayu. Masjid ini sejatinya telah menjadi tempat pembelajaran agama oleh Guru Ismail kepada murid-muridnya.
Judul : Sejarah Kerajaan Kubu
Penulis : Luqman Abdul Jabbar, Erwin Mahrus, Hamzein Bunsu, dan Yapandi
Penerbit : STAIN Pontianak Press
Tahun : 2013
Tebal : 207 Hlm
ISBN : 976-602-7942-46-2