Sedang Membaca
Pesan Toleran dalam Nadzom Alkhoridatul Bahiyyah
Amin Nurhakim
Penulis Kolom

Mahasantri di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences, Tangerang Selatan. Peserta program Micro Credential (2024) Chicago, Amerika Serikat, Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren Kementrian Agama (Kemenag) berkolaborasi dengan LPDP dan Lembaga Pendidikan di Chicago selama dua bulan.

Pesan Toleran dalam Nadzom Alkhoridatul Bahiyyah

Hijrah sebagai Proses Transformasi

Nadzom atau syair yang dilantunkan, kerap memuat pesan kemanusiaan. Ada satu nadzom yang mengisyaratkan pesan untuk toleran dan menahan diri di dalam kehidupan, yakni nadzom Alkhoridatul Bahiyyah.

Nadzom Alkhoridatul Bahiyyah dikarang oleh Imam ‘Allamah Ahmad bin Muhammad ‘Adwil Maliki Azhari atau lebih dikenal dengan Syeikh Ahmad Dardir.  Imam ‘Allamah  lahir pada tahun 1127 H dan wafat pada 1201 H.

Pokok pembahasan nadzom ini adalah tentang tauhid, yang bermanhajkan ahlus sunnah wal jama’ah.

Beberapa pesantren di Indonesia menggunakan kitab ini sebagai kurikulum dasar ilmu tauhid. Di samping pembahasan yang tidak terlalu meluas, bahasanya pun mudah dipahami oleh pelajar.

Banyak ulama yang memberi syarah atas nadzom ini, diantaranya ada dalam kitab  Alhaqoiqul Jaliyyah fii Syarh Nadzm Kharidah Al-Bahiyyah. Kitab ini ditulis oleh Syaikhoh Syifa binti Khitou, anak perempuan dari ulama terkemuka di zaman ini, Syeikh Hasan Hitou.

Jika mencermati lebih dalam penjelasan di dalam kitab Alhaqoiqul Jaliyyah, kita dapat melihat adanya pesan untuk bersikap toleran di dalam kehidupan sosial masyarakat yang beragan ras, etnis, maupun  agama seperti di Indonesia.

Mari kita mencoba meninjau dan mengambil hikmah dari sifat irodah (kehendak) Allah SWT yang disarikan dalam kitab ini. Syaikhoh Syifa menjelaskan sifat irodah yang terdapat dalam bait ini:

Baca juga:  Sabilus Salikin (42): Golongan Wali yang Tidak Terhitung Jumlahnya

وإن يــكـن بضده قـد أمرا # فالقصد غير الأمر فاطرح المرا 

Seandainya ada seorang ayah menempatkan anaknya di kamar dengan mainan dan kitab, kemudian sang ayah memerintahkannya untuk membaca dan melarangnya untuk bermain. Jika si anak bermain, maka akan mendapat hukuman dari sang ayah.

Dalam syarah dijelaskan (dalam sebuah pengandaian), si anak malah bermain, dan sang ayah sebenarnya bisa saja melarangnya. Namun, ayah sejatinya hanya ingin menguji anaknya dengan pilihan (antara bermain atau belajar). Maka bermainnya si anak itu sesuai dengan kehendak si ayah, namun menyalahi perintahnya. Lantas, si anak pun mendapatkan hukuman.

Contoh kecil itu bisa diterapkan pada manusia. Ketika mereka bermaksiat kepada Allah SWT, sesungguhnya mereka menyalahi perintahNya, tapi bukah kehendakNya. Allah sebenarnya bisa saja mencegahnya untuk bermaksiat, namun manusia begitu lemah untuk membenarkan pilihan. Allah memang tidak menciptakan kemampuan bagi mereka untuk menahannya.

Tamsil di atas menyadarkan kita, bahwa segala sesuatu di muka bumi ini terjadi atas kehendak Allah SWT serta kodratnya, baik itu ketaatan maupun kemaksiatan. Meski satu perkara itu menyalahi perintahnya, tapi hal itu tidak akan pernah  menyalahi kehendaknya.

Jika Allah sudah berkehendak, ya sudah. Sekuat apa pun usahamu, tak akan mampu menghalau takdirNya. Meski demikian, bukan berarti kita tidak berusaha untuk berbuat sesuatu.

Baca juga:  Karna (3): Siapakah Pemanah Terbaik?

Lanjutan bait diatas adalah, فـقـد عــلمت أربـعا أقـســاما # فـي الكائـنات فاحـفـظ المـقـامـا.

Bait ini menjelaskan bahwa ada empat macam perkara yang harus kita jaga dan ketahui mengenai korelasi antara perintah dan kehendak Allah SWT.

Pertama, Allah memerintahkan dan berkehendak. Contohnya adalah keimanan Abu Bakr RA, yang memang diperintahkan oleh Allah SWT dan menjadi kehendakNya pula.

Kedua, Allah memerintahkan namun tidak berkehendak. Contohnya, Allah memerintahkan Abu Lahab untuk beriman, namun Allah tidak berkehendak.

Ketiga, Allah tidak memerintahkan namun berkehendak. Contohnya, tidak adanya perintah Allah kepada Abu Lahab untuk kufur, namun Allah memang berkehendak.

Keempat, Allah tidak memerintahkan dan tidak juga berkehendak. Contohnya, tidak adanya perintah kepada orang mukmin untuk meninggal dalam kekafiran, dan tidak ada pula kehendak Ia mengenai itu.

Hikmah yang dapat direalisasikan dalam kehidupan sosial, mestinya kita sebagai orang Islam harus memahami, ketika melihat saudara sesama manusia  yang berbeda keyakinan. Jangan sampai timbul kebencian dalam hati. Apalagi menggunakan doktrin-doktrin agama yang disalah-pahami untuk menebar kebencian.

Bukankah semuanya terjadi atas kehendaknya, meskipun menyalahi perintahnya. Gunakan cara sehat dalam berdakwah, yaitu dengan berdialog, menasehati serta mendoakannya. Wallahu a’lam

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
7
Senang
2
Terhibur
3
Terinspirasi
3
Terkejut
3
Scroll To Top