Sedang Membaca
Ketika Kelamin sebagai Medium Ekspresi dalam Berdoa
Alfi Saifullah
Penulis Kolom

Alumnus Ponpes Manbaul Ulum Batu. Penulis Kolom dan Buku Biografi, salah satunya "Raden Panji Iskandar Sulaiman: Jejak-jejak perjalanan santri Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari". Tinggal di Kota Batu, Jawa Timur. Instagram: saif.ullah1090.

Ketika Kelamin sebagai Medium Ekspresi dalam Berdoa

Sakralitas (P)enis; Ketika Kelamin sebagai Medium Ekspresi dalam Berdoa

Berbicara mengenai khazanah Islam Jawa seakan tidak ada habis-habisnya. Selain menyimpan beragam simpul pemikiran, tradisi, dan budaya yang tidak hanya unik, namun sarat dengan nilai-nilai filosofis yang acapkali luput dari arus utama kajian Islam. Satu diantara khazanah tersebut adalah penyebutan alat kelamin dalam narasi doa. Sesuatu yang kini dianggap tabu, vulgar—atau identik dengan pornografi, bahkan melanggar batas-batas kesopanan.

Penyebutan alat kelamin dalam doa tidak pernah lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari perjumpaan panjang antara berbagai tradisi yang pernah eksis di Nusantara, seperti Hindhu, Budha, Tantrayana hingga kearifan lokal yang dianggap lebih tua. Ketika pada akhirnya nilai Islam datang, beberapa unsur ajaran ini tidak serta-merta lenyap begitu saja. Tidak. Unsur tersebut tetap eksis, meresap, berasimilasi, dan menemukan bentuk barunya. Pada titik ini, wajah Islam di Jawa menampakkan keunikannya tersendiri, asimilasi antara unsur sakral dengan yang profan.

Maskulin, Feminim dan Energi Ketuhanan

Sebelum Islam mengakar di Jawa, ajaran Bhairawa Tantra telah lebih dahulu mengisi, bahkan mendominasi relung-relung spiritualitas penduduk Jawa Dwipa. Ajaran tersebut merupakan sinkretisasi doktrin Syiwa-Buddha dengan Yoga-Tantra dari sekte Sakhta dan Bhairawa-Tantra. Dalam catatan Agus Sunyoto, ajaran Bhairawa berkembang semakin massif akibat kemerosotan kehidupan sosial di Majapahit usai terjadinya Perang Paregreg (1401-1405) antara Wikramawarddhana versus Bhre Wirabhumi (Sunyoto, 2012). Perang saudara antara Wangsa Rajasa yang tak kunjung usai itu, selain meruntuhkan sendi-sendi dan struktur politik, juga mendekonstruksi nilai-nilai agama.

Dalam Bhairawa-Tantra, tubuh, khususnya alat kelamin, dipandang sebagai alat spiritual, jalan menuju realitas tertinggi. Ia bukan sekadar organ biologis, lebih dari itu, sebagai representasi hubungan kosmis antara maskulin dan feminim yang disimbolkan melalui Lingga-Yoni. Lingga bukan sekadar simbol penis, ia adalah representasi kehadiran Siwa, energi maskulin yang memberikan kehidupan. Begitupula Yoni, tidak sekadar gambaran vagina, tetapi manifestasi Shakti, energi feminim yang mengandung dan melahirkan kehidupan. Keduanya tidak berdiri sendiri, tapi saling melengkapi sebagai bentuk keharmonisan dan kelangsungan hidup.

Baca juga:  Nabi Muhammad saw Dalam Pandangan Washington Irving

Ketika Islam datang, menjadi agama mayoritas penduduk Jawa, jejak-jejak Tantrayana masih terasa dalam beberapa elemen budaya, tradisi, dan pemikiran. Misalkan, bentuk panggilan anak laki-laki di beberapa daerah di Jawa dengan istilah ‘Kulup’ (ujung penis) atau anak perempuan dengan istilah ‘Bawuk’ (vagina). Begitupula bahasa kelamin kerap terserak dengan blokosuto tanpo tedheng aling-aling (blak-blakan tanpa perlu untuk ditutu-tutupi) di beberapa karya tulis pujangga Jawa pasca Islam, seperti Serat Centhini, Wirid Hidayatjati, Darmagandul, Falsafah Gatolotjo, Serat Nitimani,dan Kawruh Sanggama. Maka, tidak mengherankan jika di dalam doa-doa Islam Jawa, acapkali kita menemukan idiom-idiom yang mengacu pada kelamin manusia――sebuah elemen yang dalam paradigma Islam normatif kerap dianggap tabu.

Ketika Lingga Yoni bertransformasi menjadi narasi

Dalam tradisi Islam Jawa, ada doa yang menyebut kelamin, ada mantra yang melibatkan tubuh dalam ekspresi spiritual. Semisal narasi doa yang dibaca dikala bayi menangis agar segera diam dan tenang. Redaksi doa tersebut berbunyi,

“Bismillahirrahmanirrahim. Tiri-tiri kedadeyan saka banyune peli. Cep meneng, cep meneng, cep meneng. La illaha ilallah Muhammadarasulullah”

Bismillahirrahmanirrahim. Tiri-tiri tercipta dari airnya penis (mani). Diam, segeralah diam. Diam, segeralah diam. Diam, segeralah diam. Laa illaaha illallah Muhammadarasulullah.

Teks doa ini berasal dari KH. Bisri Mustofa Rembang, yang ia peroleh dari mertua sekaligus gurunya, KH. Kholil bin Harun Kasingan. Secara jujur dan vulgar, narasi doa ini mengakui proses awal kejadian manusia. Ia bukan sekadar mantra, namun pengakuan bahwa penciptaan, asal-usul, dan kesucian bukan perkara yang perlu disembunyikan. Alih-alih mengobjektifikasi alat kelamin, penyebutan penis bertujuan menegasikan relasi penciptaan dan keesaan Tuhan.

Baca juga:  Kiai Najib Abdul Qodir Al-Hafidz: Sang Guru Sejati

Terdapat pula narasi doa yang serupa dengan fungsi sama, namun mengalami penekanan pada personifikasi wajah dengan penis sebagai asal-usul kejadian,

“Cu Bali Cu, Rupamu kaya peliku, aja nangis yen ora bisa noleh gitokmu dewe, cep meneng les turu”

Dalam sekepal tangan kembalilah sekepal, wajahmu seperti penisku, janganlah menangis jikalau tidak bisa menoleh terhadap tengkukmu sendiri. Segeralah diam dan lekaslah tidur.

Jika terdapat anak kecil yang kerap terkena sawab sawan (penyakit ringan). Para leluhur dahulu membacakan mantra yang memuat idiom kelamin didalamnya,

“Luwak luwuk, sinembur kedadiyan peli, dudu aku sing nyembur, Umarmaya sing nyembur, tawa tawi tawar katiban iduku putih”

Luwak dari hutan belantara, tersembur oleh kejadian penis, bukan saya yang menyembur, Umarmaya-lah yang menyembur, Terasa hambar, payau, dan tawar karena tertimpa air liurku yang berwarna putih.

Mantra ini dibuka dengan idiom luwak (Paradoxurus hermaphroditus) jenis hewan nokturnal sebagai simbolisasi hama atau penyakit. Namun yang unik, simbol tersebut terkalahkan oleh kejadian Penis, bentuk kekuatan manusia yang sakral. Mantra ini juga mengisyaratkan bahwa yang bertindak bukanlah individu―ada kekuatan yang lebih besar, yakni ‘Umarmaya’. Sang ‘Umarmaya’ dapat dimaknai sebagai entitas spritual atau energi yang menggerakkan kehidupan. Dus, ini adalah konsep yang serupa dengan filsafat Plato, bahwa manusia hanyalah medium dari daya penciptaan yang lebih tinggi.

Baca juga:  Hubungan Agama dan Magi: Mulai dari Sihir hingga Fenomena Viral Spirit Doll

Menakar ulang makna sakral dan profan

Pada akhirnya, kita sampai pada sebuah pertanyaan fundamental, di manakah batas antara yang sakral dan yang profan? Apakah sebuah kesakralan itu di tentukan oleh cara kita memahami sesuatu, atau sebaliknya kesakralan itu memang inheren dengan diri kita?

Ketika budaya pop modern menempatkan kelamin dalam konteks yang lebih profan dan cenderung dalam eksploitasi seksual, fragmantasi antara yang sakral dan profan-pun terjadi. Pornografi dan moralitas berbenturan dalam narasi sosial, menyebut kelamin dalam konteks doa bisa dipandang sebagai sesuatu hal yang tabu, bahkan melanggar norma dan etika sosial.

Warisan doa dan mantra ini bukan sekadar cerita kolosal atau semacam artefak kuno, ia telah menawarkan alternatif cara pandang. Alih-alih memandang kelamin sebagai organ biologis semata, doa tersebut menampilkan kelamin sebagai medium spiritual―realitas kosmis yang menghubungkan manusia dengan hal yang bersifat transenden. Dus, doa-doa tersebut telah memberikan massage, bahwa Tuhan hadir dalam hal yang paling sederhana, dalam rasa yang paling kecil, bahkan dalam sesuatu yang dianggap tabu. Wallahu a’lam.

Sumber Bacaan:

Margono, Aji, (tt), Primbon Japa Mantra, Surabaya: Penerbit Appolo.

Mustofa, KH. Bisri, (tt), Primbon Imamuddin, Kudus: Menara Kudus.

Sunyoto, Agus, (2012), Atlas Walisongo, Pertama Yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah, Depok : Imania.

Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta, (2005), Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa), Yogyakarta: Kanisius.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top