Kita mengetahui bahwa Syattariyah dibawa ke dunia Melayu oleh salah satu leluhur spiritualnya Ronggasasmita, yakni seorang sufi besar dan mashur, Abd al-Ra’uf Singkel (w. 1693). Di antara seorang murid Abd al-Ra’uf Singkel salah satunya Syekh Haji Abdul Muhyi (w. 1715) Karang, seorang sarjana muslim Jawa dari kerajaan Mataram Islam. Di mana pada suatu waktu setelah menerima pengajaran dari Abd al-Ra’uf Singkel mengenai tarekat Syattariyah berpindah ke kerajaan Banten dan menetap di bukit Jawa Barat.
Abdul Muhyi yang dikenal dengan sebutan Fakih Ibrahim, konon telah mengabdi sebagai penghulu di istana Surakarta semasa Pakubuwana II (1745-1749) dan Pakubawana III (1749-1788). Pakubuwana II yang berusaha menjadi Raja Sufi di Kartasura di bawah bimbingan neneknya Ratu Pakubawana I. PB II menjadi seorang sufi ketat namun ternyata gagal karena dianggap tidak cakap dan tidak memiliki pendirian yang teguh dalam memimpin Mataram Kartasura kala itu. Di bawah asuhan sang nenek, sang raja bahkan membuat teks piwulang yang menekankan perlunya ketaatan kuat kepada kewajiban ibadah Islam.
Bahkan anaknya Pakubawana III (1749-1788) dalam karangannya Suluk Martabat Wahdat Wakidiyat menggaungkan ajaran metafisik Syattariyah, sebuah tembang yang mengejawantahkan tujuh level tingkat (martabat) wujud. Begitu juga dengan pojangganya waktu itu, Ronggasasmita menulis Suluk Martabat Sanga. Penulisan kitab sufistik ini tidak lain dan tidak bukan karena dorongan dari pihak dinding keraton untuk menguak kembali khazanah ajaran sufi yang dulu pernah ditorehkan oleh leluhurnya, Sultan Agung.
Ronggasasmita salah satu dari anggota keluarga kesusastraan yang sangat dikenal di Jawa, khususnya pedalaman Jawa Selatan. Kakeknya R. Ng Yasadipura I (w. 1803) salah satu sastrawan dan pujangga yang sangat mashur, wabil khusus gubahan karya klasik Jawa kuno-nya Ramayana dan Mahabarata. Bahkan babadnya Amir Hamzah yang sangat fenomenal itu menghentak jaga intelektual Javanolog yang sebelumnya tidak mengira ajaran Islam menghujam begitu mendalam dalam karya sang pujangga.
Ayah Ronggasasmita yakni R. T Sastranegara (Yasadipura II, w. 1844), seorang penulis yang subur dan juga seorang negarawan utama, yang mana sebagai menteri senior Kadipaten Surakarta. Bahkan ayahnya dalam karya-karya sangat terlihat terang sekali sebagai pengikut dan pengamal Syattariyah. Kita bisa lihat dalam Serat Centhini, Serat Anbiya dan karya suluknya yang lain. Ronggasismita mengikuti jejak sang ayah dalam mengusahakan pendidikan spiritualnya, meskipun tidak selamanya berhasil.
Karya monumentalnya Suluk Acih yang dikarang oleh sang pujangga sewaktu di Aceh, menceritakan bagaimana gerakan, ajaran, dan amalan tarekat Sattariyah. Ronggasasmita mulai menulis suluknya tanggal 17 Februari 1815. Akibat ibadah hajinya yang tidak menentu yang disebabkan akibat penyakit yang diderita oleh pamannya, bahkan dikatakan mereka sempat tertinggal kapan dari Aceh ke Aden, sehingga timbulah kekecewaan di dalam dirinya. Kemudian, Ronggasasmita memutuskan untuk menggurat tembang macapat ajaran rahasia Syattariyyah untuk menghilangkan kekecewaanya yang begitu mendalam.
Rahseng khakekat ingkang bus khusus// Sajatining kanang// Nampuraken Ing ngaurip// Iki Lie ngelmu ingkang linarangan// Kang sirenung// Ing nabi wali mukminun// Nguni-nguni datan// Wonten kang urun nembangi// Saking dahat wadining ngelmu punika (Suluk Acih).
Artinya: Rahsanya hakikat yang telah khusus// Kebenaran yang// Memberi kesempurnaan pada hidup// Iya ilmu yang terlarang// Yang dirahasiakan// oleh nabi, wali, dan mumkinum// Masa dulu tidak ada yang// Berani menggubahnya dalam tembang// Dari amat rahasiannya ilmu ini.
Berangkat dari sakit hatinya yang amat mendalam Ronggasasmita kemudian mendapatkan ilham atau pancaran israqiyah dari Tuhan untuk menuliskan Suluk Acih yang sedari dulu belum ada yang berani menggubahnya dalam genre tembang macapat. Kita ketahui suluk ini membentuk perjalanan salik di jalan mistik, dan jalan tersebut adalah jalan Sattariyyah. Ini diperoleh tentu karena perjalanan rukhaniah sang pujangga dalam menepaki tangga-tangga spiritualitas yang tentu nantinya semua orang akan mengalami itu dengan spektrum yang berbeda-beda.
Bahkan sang pujangga dalam pengantar silsilah Sattariyahnya menggambarkan secara ingat melalui perjalanan pendidikan sebagai satu-satunya jalan spiritual sejak muda, suatu perjalanan yang berliku dan amat susah. Bahkan Nancy K. Florida menggidding Iine bahwa sang pujangga mengecam maupun merayakan kegagalan pendidikan yang ia alami pada awal pencariannya maupun pada akhir perjalanan spiritualitasnya.
Ronggasasimita juga menandaskan sewaktu masih belajar ilmu syari’at dan mengalami kegagalan, di samping itu juga masih dalam keadaan bodoh, kemudian sang pujangga berbelok menuju dunia sufi. Ia mengisahkan bagaimana dirinya terjebak dalam term-term syariat yang begitu pelik karena dirinya tidak terpelajar seperti halnya para ulama yang itu bisa menjatuhkan dirinya ketika pengetahuan itu di vis a vis kan dengan ajaran sufi yang bersifat esoterik. Bahkan keterombang ambingan dirinya sewaktu belajar ke-sufi-an ke pada seorang Mursyid tidak mudah karena memang belum matang dirinya dalam tataran syari’at.
Dengan begitu untuk menjadi seorang Insan Kamil manusia harus menapaki tiga tahap perkembangan religiusitas, seperti syari’at, hakikat, dan makrifat. Sebelum mereka selesai dalam tangga pertama sy’ariat atau ibadah eksoteris maka mereka tidak akan bisa menapi tangga berikutnya, seperti hakikat dan makrifat. Betulah sudah, yang menyebabkan sang pujangga sulit memahami ilmu tasawuf yang bersifat esoteris karena memang pada dasarnya dalam tataran lahiriah (syariat) belum selesai. Inilah ajaran sufi Sattariyah, yakni memadukan ajaran eksoteris yang bersifat syari’at dan ajaran esoteris yang bersifat sufisme.
Setelah sang pujangga menerima ilham, ia menyembunyikan di dalam dirinya sendiri tidak memberitahukan kepada khalayak umum dan tetap menjalankan praktik ritual Islam atau ibadah mahdah, sesuatu yang gagal dijalankan oleh para Wali besar semacam Syekh Siti Jenar yang kemudian dieksekusi oleh Dewan Wali Sanga. Namun, sang pujangga juga menandaskan bahwa praktik-praktik sufisme adalah praktik yang tidak disesuaikan dengan garis ajaran Islam, yang itu bisa menyebabkan kemiskinan. Sebab hal itu ajarannya memperkenankan meninggal kehidupan dunia dan terus menerus mengamalkan ajaran asketik seperti tapa brata.
Bagi Ronggasasmita, puncak kebijaksanaan tidak ditemukan dalam latihan akademik, namun diwujudkan dalam bentuk yang lain, dari praktisi perbuatan yang tidak terbatas pada prakatik-praktik ilmu maupun ritual Syattariyyah saja, namun lebih diaplikasikan dalam tindakan sosial yang dijalankan dalam tindakan keseharian oleh setiap manusia yang secara khusus telah tersampaikan. Seluruh praktisi ini puncaknya pada pengalaman yang bermuara ke ma’rifah, yang bersemayam dalam diri insan muslim yang sudah menjadi manusia janma utama.