Sedang Membaca
Etika di Era Digital: Menjaga Integritas di Dunia Maya
Eko Yudi Prasetyo
Penulis Kolom

Penikmat sastra, pemuja keindahan.

Etika di Era Digital: Menjaga Integritas di Dunia Maya

Etika di Era Digital: Menjaga Integritas di Dunia Maya

Di tengah arus informasi yang deras, dunia maya menjelma menjadi cerminan dari peradaban manusia—tempat di mana kebijaksanaan dan kebohongan saling bersilangan, kebaikan dan kejahatan beriringan, serta kejujuran dan manipulasi bertarung dalam ruang yang tak berbatas.

Di antara pusaran ini, integritas menjadi tiang penyangga yang menentukan apakah manusia tetap berdiri teguh dalam nilai-nilainya atau hanyut dalam gelombang kepalsuan. Namun, bagaimana menjaga integritas di era digital yang penuh godaan dan dilema ini? Apakah etika masih memiliki tempat dalam dunia yang serba cepat dan sering kali tanpa konsekuensi nyata?

Perkembangan teknologi telah menciptakan tatanan sosial baru di mana batas-batas antara realitas dan virtualitas semakin kabur. Jejak digital yang kita tinggalkan, opini yang kita bangun, serta interaksi yang kita lakukan, semuanya memiliki konsekuensi moral yang nyata, meskipun sering kali tak kasat mata.

Hoaks menyebar dalam hitungan detik, privasi terkikis dalam algoritma yang tak terlihat, dan ujaran kebencian menemukan panggung yang luas di balik anonimitas. Di hadapan situasi ini, pertanyaan yang mendesak muncul: bagaimana filsafat etika, baik dari tradisi Barat maupun pemikiran Islam, dapat memberikan panduan moral untuk menavigasi era digital yang kompleks ini?

Sejak zaman klasik, etika telah menjadi pusat perdebatan para filsuf mengenai bagaimana manusia seharusnya hidup dan bertindak. Aristoteles, dalam Nicomachean Ethics, menekankan konsep eudaimonia—kebahagiaan yang diperoleh melalui kebajikan dan keseimbangan moral. Dalam konteks digital, ini mengisyaratkan bahwa manusia harus mengembangkan kebijaksanaan dalam menggunakan teknologi, menghindari ekstremitas seperti penyalahgunaan informasi atau eksploitasi anonimitas.

Di sisi lain, Immanuel Kant dengan etika deontologisnya mengajarkan bahwa setiap tindakan harus didasarkan pada kewajiban moral yang universal. Jika prinsip Kant diterapkan di dunia maya, maka seseorang seharusnya bertanya: “Apakah saya akan menerima tindakan ini jika menjadi norma universal?” Menyebarkan hoaks, mencemarkan nama baik, atau menginvasi privasi orang lain jelas melanggar prinsip ini karena jika semua orang melakukannya, dunia maya akan menjadi tempat yang kacau dan tidak dapat dipercaya.

Baca juga:  Naguib Mahfouz dan Orhan Pamuk, Dua Sastrawan yang bergelut dengan Agama dan Bangsanya

Sementara itu, filsuf utilitarian seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill melihat etika dari perspektif konsekuensialisme—menimbang manfaat terbesar bagi jumlah orang terbanyak. Dalam dunia digital, ini berarti bahwa setiap tindakan online harus dipertimbangkan berdasarkan dampaknya terhadap masyarakat secara keseluruhan. Misalnya, apakah algoritma yang digunakan oleh media sosial lebih mengutamakan kepentingan ekonomi daripada kesejahteraan psikologis penggunanya?

Dalam tradisi Islam, etika berakar pada konsep akhlaq, yang menekankan karakter moral yang baik sebagai cerminan dari iman. Al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din menegaskan bahwa kejujuran, amanah, dan menjaga lisan adalah inti dari kehidupan yang bermoral. Jika diterapkan di dunia maya, ini berarti bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab untuk berkata benar, menjaga kehormatan orang lain, dan tidak menyalahgunakan teknologi demi kepentingan pribadi. Ibn Khaldun, dengan pendekatan sosiologinya, juga mengingatkan bahwa perkembangan peradaban bergantung pada solidaritas sosial (asabiyyah). Dunia digital yang individualistis dan sarat kepentingan pribadi justru dapat merusak kohesi sosial jika tidak dikelola dengan prinsip moral yang kuat.

Salah satu paradoks terbesar dalam dunia digital adalah bahwa kebebasan yang ditawarkan justru sering kali mengarah pada dehumanisasi. Media sosial, yang seharusnya menjadi wadah untuk berbagi informasi dan memperkuat hubungan sosial, justru sering menjadi ajang perundungan, manipulasi, dan pembelahan sosial. Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism pernah mengingatkan bahwa kebohongan yang diulang-ulang dapat menjadi kebenaran yang diterima. Dalam konteks digital, ini terlihat dalam fenomena echo chamber, di mana algoritma memperkuat bias pengguna sehingga kebenaran menjadi relatif dan subjektif.

Baca juga:  Shofiyah Binti Abdul Mutthalib: Veteran Perang dari Kaum Perempuan

Selain itu, anonimitas di dunia maya sering kali disalahgunakan untuk melepaskan manusia dari tanggung jawab moralnya. Jean-Paul Sartre dalam eksistensialismenya mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas, tetapi kebebasan itu datang dengan tanggung jawab. Namun, di dunia digital, banyak individu yang bersembunyi di balik avatar dan nama samaran, merasa bebas untuk melakukan tindakan yang tidak akan mereka lakukan dalam interaksi fisik. Ketidakhadiran konsekuensi langsung membuat banyak orang lupa bahwa di balik layar, ada manusia nyata yang terkena dampak dari kata-kata dan tindakan mereka.

Dari perspektif Islam, penyalahgunaan kebebasan digital dapat dikritik melalui konsep hisab (pertanggungjawaban). Al-Qur’an dengan tegas mengingatkan bahwa setiap ucapan dan perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun di akhirat. Jika prinsip ini diterapkan dalam dunia maya, maka seseorang harus bertanya: “Apakah saya akan tetap melakukan ini jika saya tahu akan dimintai pertanggungjawaban?”

Dunia digital bukanlah sekadar ruang teknologi, tetapi juga ruang moral yang membutuhkan kesadaran etis yang lebih dalam. Solusi untuk menjaga integritas di dunia maya bukan hanya soal regulasi atau kebijakan platform, tetapi juga soal membangun kesadaran individu tentang konsekuensi dari setiap tindakan mereka. Dalam hal ini, pendekatan yang holistik diperlukan—menggabungkan pemikiran filosofis, nilai-nilai agama, serta realitas sosial.

Pertama, perlu ada kesadaran bahwa dunia digital tidak boleh menjadi pelarian dari moralitas. Seperti yang dikatakan Al-Farabi dalam konsepsi al-Madina al-Fadhila (kota yang beradab), masyarakat yang baik hanya bisa terbentuk jika warganya memiliki keutamaan moral. Dunia maya adalah bagian dari masyarakat, sehingga standar moral yang berlaku di dunia nyata harus diterapkan pula di dalamnya.

Baca juga:  Kalijaga: Wulung yang Agung

Kedua, perlu ada refleksi kritis tentang bagaimana teknologi membentuk cara kita berpikir dan berinteraksi. Heidegger dalam The Question Concerning Technology mengingatkan bahwa teknologi bukan sekadar alat, tetapi juga kekuatan yang membentuk eksistensi manusia. Jika tidak dikendalikan dengan prinsip etis yang kuat, teknologi dapat menjauhkan manusia dari nilai-nilai kemanusiaannya sendiri.

Ketiga, penting untuk mengedepankan nilai ta’awun (saling membantu) dalam interaksi digital. Alih-alih menggunakan teknologi untuk kepentingan egois, kita dapat menjadikannya sebagai sarana untuk membangun solidaritas dan menyebarkan kebaikan. Dalam Islam, konsep amar ma’ruf nahi munkar dapat diterapkan dengan cara mendorong narasi yang positif dan menolak penyebaran kebencian atau fitnah di media sosial.

Refleksi: Kembali pada Nilai Kejujuran dan Empati

Dunia digital adalah cermin dari siapa kita sebenarnya. Jika kita mengisinya dengan kebohongan, fitnah, dan kebencian, maka yang kita bangun bukanlah peradaban, melainkan kehancuran moral yang tak kasat mata. Namun, jika kita memilih untuk menjadikan teknologi sebagai sarana untuk memperkuat integritas, maka era digital bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk membangun masyarakat yang lebih adil, manusiawi, dan bermartabat.

Sebagaimana dikatakan oleh Rumi, “Jadilah seperti matahari dalam kemurahan hati, seperti malam dalam menutupi kesalahan, dan seperti bumi dalam kerendahan hati.” Dunia maya bukanlah alasan untuk melupakan etika. Justru, di ruang yang tak terlihat ini, kejujuran dan empati menjadi lebih berharga dari sebelumnya.

Di era digital, integritas bukan sekadar tentang apa yang kita lakukan ketika diawasi, tetapi tentang siapa kita saat tidak ada yang melihat.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top