Sedang Membaca
Menggugah Kesadaran Pendidikan Agama Milik Semua
Ni'am Khurotul Asna
Penulis Kolom

Mahasiswi asal Sumatera Selatan yang sedang menempuh pendidikan di UIN SATU Tulungagung. Instagram: @niam.asna, Facebook: Ni'am Khurotul Asna.

Menggugah Kesadaran Pendidikan Agama Milik Semua

Keberagaman

Masa dua belas tahun program wajib belajar baik di sekolah negeri maupun swasta mengharapkan anak-anak dapat belajar mengenali berbagai macam keilmuan baik umum maupun agama. Maka dari itu, sekolah di negeri ini sangat menjunjung pendidikan agama masuk kurikulum sekolah dan semua siswa berhak serta wajib mendapatkannya. 

Kita pasti tidak asing dengan sabda Nabi Muhammad Saw: Uthlub al-‘ilm wa lau bi al-shin (Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina). Makna dari hadis ini umumnya bersama-sama dipahami bahwa kita berhak dan bebas mencari ilmu ke mana pun, bahkan sampai jauh ke negeri China. Lebih jauh dan penting, hadis ini menegaskan bahwa aktivitas belajar dan mengajar tidak perlu dibatasi dengan segala perbedaan, baik suku, identitas, bahasa, serta agama. Tentu secara proporsional biarlah sesuai dengan pembidangan ilmu masing-masing.

Kita secara sadar meyakini bahwa lembaga pendidikan tentu menjunjung tinggi nilai keberagaman dan budaya, tapi keyakinan akan kuatnya pengaruh nilai agama ini sangat miris jika melihat realita bahwa yang dinomorsatukan adalah kelompok agama mayoritas. Dalam banyak kasus, yaitu yang beragama Islam.

Bercermin dari Kasus

Pengalaman seperti ini pernah dirasakan oleh beberapa siswa muslim yang mendapatkan pelajaran agama setiap minggu. Tapi berbeda dengan siswa yang beragama non muslim (Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan penghayat kepercayaan). Kebanyakan pelajaran agama non Islam diadakan di luar jam pelajaran umum. Guru yang mengajar juga bukan guru yang mengajar di sekolah, melainkan didatangkan dari instansi/organisasi tertentu.

Baca juga:  Mengapa Alquran Mengizinkan Perang dan Kekerasan?

Bahkan lebih mirisnya lagi ada agama tertentu yang pelajarannya sama sekali tidak diadakan di sekolah. Sehingga siswa harus belajar di sekolah agama yang berada di luar sekolah utama. Dengan itu, nilai yang mereka dapatkan dari nilai yang ditransfer sekolah agama mereka ke sekolah umum. Artinya, untuk mendapatkan nilai pelajaran agama yang tertulis, siswa dari kelompok minoritas harus pergi ke luar sekolahnya sendiri, meluangkan lebih banyak waktu, tenaga, dan uang di luar sekolah.

Kasus lain menimpa Sinta Wati yang merupakan salah satu generasi muda penghayat kepercayaan Palang Putih Nusantara (PPN), terpaksa mengikuti pelajaran pendidikan agama Islam sejak SD hingga SMP. Sinta mengaku tidak nyaman karena bertentangan dengan keinginannya secara bebas mengekspresikan diri sebagai penghayat kepercayaan. Tuntutan dari sekolah membuat Sinta juga terpaksa harus mengenakan jilbab agar sama seperti yang lain.

Sembari merefleksi kasus, coba kita pahami bersama satu cerita dari perang Badar. Ketika tawanan perang Badar diberi kebebasan bersyarat oleh Nabi berupa kewajiban mengajarkan keterampilan kepada penduduk Madinah. Maka, orang-orang yang ikut dalam kelas-kelas keterampilan bukan hanya umat Islam, tapi penduduk Madinah secara umum, baik yang beragama Islam maupun mereka yang beragama lain. Para tawanan perang merasa begitu bebas, baik karena keterampilan yang dimilikinya ataupun paksaan untuk menganut agama Islam.

Dari kisah tersebut dapat dipahami bersama bahwa orang-orang non muslim sama-sama terlibat secara aktif, baik sebagai murid maupun guru. Nabi dan para sahabatnya sangat inklusif dalam keterlibatan saling belajar. Tidak pernah mempersoalkan perbedaan atau batasan belajar bersama antara umat muslim maupun non muslim ataupun agama guru-guru yang mengajarkan keterampilan tersebut.

Baca juga:  Konsep Mahabah Perspektif Al-Ghazali

Pendidikan Agama yang Inklusif Sebagai Solusi

Permendikbud No.27 tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam satuan pendidikan harus menjadi aturan yang implementasinya memperkukuh kesadaran toleransi akan kemajemukan. Pendidikan agama masa orde baru bertujuan agar melindungi setiap warga Negara dari paham komunisme. Sedangkan reformasi hingga kini mengalami modifikasi tujuan pendidikan umum dan agama untuk memperkuat keyakinan beragama dan memposisikan dirinya menjadi solusi.

Pendidikan inklusif dapat dipahami sebagai pendidikan untuk membangun penyadaran terhadap perbedaan, menjadi bagian dari upaya mengelola keragaman dan bina damai. Sangat penting mengembangkan model pendidikan ini, sebab kita tahu masyarakat Indonesia yang plural dikenal sangat religius tetapi penerimaan dan penghargaan satu terhadap lainnya masih menjadi masalah. Untuk memahami pendidikan inklusif baiknya menggunakan kerangka konseptual seperti konsep tentang pendidikan perdamaian dan pendidikan multikultur.

Dalam praktiknya, kita bisa memilih konsep pendidikan multikultur pemikiran James A. Banks yang melihat bahwa pendidikan multikultur bermula dari ide tentang “semua murid, apapun latar belakang jenis kelamin, etnis, ras, budaya, kelas sosial, agama, atau perkecualiannya, harus mengalami kesederajatan pendidikan di sekolah-sekolah.” Sedangkan dalam pendidikan perdamaian, dapat dilakukan dengan aksi, yaitu ikut bekerja atau bertumbuh mengupayakan perdamaian untuk mengubah situasi masa kini yang tidak damai. Kedua konsep ini dapat digunakan bersama, sebab pendidikan multikultural dapat membantu pengembangan pendidikan perdamaian dengan memakai keberagaman identitas, budaya, agama, ekspresi manusia, bahkan konflik atau krisis sebagai titik berangkat pendidikan.

Baca juga:  Doa untuk Masa Depan

Memandang contoh kasus di atas seperti, sikap santai menghadapi perbedaan agama mudah ditemukan, tetapi pembiasaan yang ditempuh melalui pemisahan siswa pada jam pelajaran agama menumbuhkan kesadaran dan membentuk cara berpikir mereka bahwa agama sebagai sesuatu yang memisahkan manusia.

Jika keberagaman dalam lembaga pendidikan termasuk proses belajar yang memberi kebebasan bagi mereka untuk saling belajar dan menyadari bahwa semua yang dipelajari bukan untuk menjadi sesuatu yang dibatasi. Keberagaman yang ada biarlah berdampingan apa adanya. Begitu pula jika pemerintah menilai agama sebagai komponen penting dalam kehidupan warga negara, seharusnya pemerintah dapat memahami bahwa nilai keberagaman sangat penting dengan dibuktikannya diwujudkannya pendidikan agama inklusif bagi seluruh peserta didik supaya siswa dapat dengan layak dan bebas untuk belajar sesuai agama yang mereka anut.

Sudah seharusnya penanaman nilai-nilai moral dan sosial di sekolah diberlakukan secara adil serta toleran tanpa membeda-bedakan latar belakang murid. Selain pemerintah memastikan kebijakan aturan, SDM, serta pemilihan model pendidikan inklusif menjadi perhatian pada upaya membangun model efektif yang mentransformasi pendidikan keagamaan dalam konteks bermasyarakat di Indonesia yang majemuk ini. Pendidikan agama inklusif sekaligus menjadi media pembelajaran agama yang dapat menjadi solusi membentuk sikap moderat dan penerimaan terhadap kelompok lain di luar kelompok sendiri serta pengelolaan keragaman di Indonesia.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top