Sejujurnya saya mudah tersulut perasaan marah sekaligus sedih ketika ada seseorang yang melontarkan perkataan yang cukup seksis di depan banyak orang. Apalagi seksisme ini lebih banyak mengarah kepada perempuan yang semata-mata hanya dijadikan sebagai objektifikasi seksual. Mirisnya seksisme ini masih dianggap becandaan yang membudaya, sehingga perempuan yang menjadi korban dituntut harus menerima perlakuan seksis tersebut. Tidak hanya perempuan, laki- laki juga terkadang menjadi korban perlakuan seksis ini.
Seksisme sendiri identik dengan perilaku yang mendiskriminasi salah satu gender. Diskiriminasi ini pun akan terdengar merendahkan, menghina, memberikan stereotip, memperdaya, dan menjadikan individu sebagai objek berdasarkan gender mereka. Masih ingatkah dengan kejadian dua komentator sepak bola pada awal Maret 2020 yang melontarkan perkataan seksis? Saat itu kamera menyorot bagian tribun yang ditempati supporter perempuan, lalu salah satu komentator berkata “Sementara kita lihat ada sesuatu yang menonjol, tapi bukan bakat. Ada yang besar, tapi bukan harapan, apa itu mas?” Kemudian komentator lainnya merespons seperti ini “Perempuan-perempuan ini yang menghiasi tribun”. Kedua komentator ini diserbu amarah, karena hari itu bertepatan juga dengan Hari Perempuan Internasional.
Akhirnya kedua komentator ini melakukan klarifikasi dan permintaan maaf kepada publik dan dengan mudahnya berkata kalau perkataan itu hanya bercanda dan mohon maaf jika berlebihan. Mungkin kejadian ini akan menjadi pembelajaran ke depan untuk mereka, tapi kenapa harus membercandakan konstruksi fisik perempuan yang memang given?! Lagi-lagi konstruksi fisik perempuan ini harus menjadi korban para pelaku seksisme.
Saya juga pernah mendapati perilaku seksis yang mengarah pada pelecehan seksual saat naik ojek online. Drivernya bertanya-tanya kepada saya apakah saya sudah punya pacar atau belum hingga dia berkata jangan grogi kalau ditanyai pernyataan demikian karena cuma bercanda. Saya sendiri mengernyitkan dahi saat mendengar pertanyaan tersebut. Saya pikir untuk apa driver itu bertanya hal demikian. Kemudian, driver itu mengelus lutut saya untuk meminta maaf karena mengerem mendadak. Saya sangat marah dan berkata kalau driver itu seksis.
Tindakan yang saya lakukan pun mengirim email pengaduan kepada pusat ojek online tersebut agar kejadian ini ditindak-lanjuti. Beruntungnya, mereka cukup aware dengan peristiwa ini dan memberikan sanksi pada driver ojek online tersebut. Mungkin saja kejadian ini dianggap berlebihan oleh sebagian orang, tapi tidak bagi saya. Karena perilaku seksis itu dilihat dari perspektif korban. Saya merasa perilaku driver itu mengarah pada perilaku seksis dan membuat saya sangat tidak nyaman.
Perilaku seksis lain yang sangat sering saya dengar adalah dalam dunia entertainment. Kalau saya sendiri sering mendengar host laki-laki yang membandingkan partner host perempuannya dengan bintang tamu perempuan yang lebih muda. Misalnya host perempuan itu usianya sudah menginjak 30 tahun, lalu bintang tamu perempuannya usianya di bawah 30 tahun. Host laki-laki itu bilang kalau kalau bintang tamunya itu kelihatan lebih cantik dan kulitnya mulus dan fresh karena masih muda, dibandingkan partnernya yang sudah tua dan dikatakan sudah memiliki kerutan di wajahnya.
Sangat disayangkan penonton merasa terhibur dengan perkataan host laki-laki itu dan tidak menyadari kalau perkataannya mengarah pada perilaku seksis. Menurut saya perilaku seksis ini jika dibiarkan meskipun tujuannya menghibur, ke depannya hal-hal yang berkaitan dengan fisik perempuan akan tetap menjadi objek bercandaan. Perilaku seksis yang dianggap bercandaan ini bahkan tidak hanya dialami remaja, perempuan muda yang belum menikah atau sudah menikah. Perempuan yang berusia lanjut pun yang telah memasuki masa menopause masih mendapat perlakuan seksis.
Perempuan yang sudah menopause ini sering menerima perkataan bahwa mereka sudah tidak subur lagi atau sudah tidak bisa menyenangkan laki-laki dalam hubungan seksual. Padahal hal-hal yang berkaitan dengan kewanitaan secara alamiah memang seharusnya terjadi seperti itu dan tidak bias dicegah, karena Sang Pencipta telah mendesainnya demikian. Berkaca dari kejadian ini, saya pernah mendengar pernyataan sekelompok laki-laki yang menganggap emansipasi itu artinya laki-laki dan perempuan setara dalam segala hal, termasuk tenaga.
Saat itu saya sedang menjadi panitia sebuah acara dan ada barang-barang yang sangat berat yang tidak bisa saya angkat, karena memang terlalu berat bagi saya. Kemudian saya meminta tolong salah satu panitia laki-laki untuk membantu mengangkat barang tersebut. Namun responsnya justru berkata, “katanya emansipasi, tapi ngangkat barang kaya gini aja tetap minta bantuan laki-laki. Giliran bercanda hal-hal yang berkaitan dengan fisik marah.”
Saya cukup terkejut dengan pernyataan teman saya itu, karena saya kira teman saya itu cukup memahami kesetaraan gender. Lalu saya meresponsnya dengan berkata, “ Saya mengakui untuk hal tenaga, laki-laki (teman saya) lebih kuat daripada perempuan (panitia perempuan). Disamping itu saya berkata kalau saya punya rahim yang harus saya jaga, karena kemungkinan mengangkat beban berat itu berpengaruh terhadap rahim saya.”
Dari kejadian itu pun saya berefleksi, bahwa ternyata laki-laki yang memang mempelajari kesetaraan gender belum tentu sepenuhnya memahami arti sebenarnya dari emansipasi. Bagi saya emansipasi itu mengarah pada hak perempuan yang selama ini sulit dijangkau karena didominasi laki-laki. Misalnya kesulitan mendapat hak ketika ingin menjadi pejabat perempuan, hak untuk mendapat pekerjaan, dan hak lainnya.
Namun, sayangnya teman laki-laki saya ini belum sampai memikirkan kalau perempuan itu memiliki konstruksi tubuh yang berbeda dari laki-laki. Dia belum menyadari sepenuhnya bahwa hal-hal yang berkaitan dengan kewanitaan, seperti memiliki rahim yang merupakan anugerah dari Tuhan, sebaiknya dijaga agar bisa melahirkan manusia generasi selanjutnya.
Saya teringat dengan apa yang disampaikan Ibu Nur Rofiah saat saya mengikuti Kajian Gender Islam. Bu Nur Rofiah mengatakan, terkadang hal-hal yang berkaitan dengan kewanitaan masih dianggap bukan sebagai isu kemanusiaan. Saat itu Bu Nur mencontohkannya ketika terjadi bencana dan pasokan air tidak terpenuhi dengan baik.
Bagi perempuan, air yang tidak baik ini sangat berbahaya, karena ketika digunakan untuk membasuh vagina, kandungan air yang tidak baik ini berpotensi masuk ke dalam rahim. Bu Nur juga menyayangkan karena masih banyak yang belum aware terhadap organ reproduksi wanita ini atau yang saya sebut sejak awal hal-hal yang berkaitan dengan kewanitaan secara alamiah. Kembali lagi dengan seksisme yang sering dianggap sebagai bahan bercandaan, laki-laki pun tentu mengalaminya. Apalagi ketika konstruksi social masyarakat kita masih terkungkung dengan budaya patriarki yang menganggap laki-laki harus kuat, maco, dan gentleman.
Masih ada juga perempuan yang bilang, “malu-maluin banget disetirin cewek atau masa laki-laki pakai baju warna pink? Apakah ada yang salah ketika laki-laki disetirin perempuan atau pakai baju warna pink? Sejak kapan juga laki-laki gentle salah satu parameternya harus pakai baju selain pink? Pertanyaan dan pernyataan yang mengarah pada diskirimasi gender ini terkadang sangat tidak disadari karena telah membudaya dan selalu dianggap sebagai bercandaan semata. Klarifikasi dari para pelaku diskriminasi gender ini selalu diakhiri dengan kalimat itu hanya bercanda. Sampai kapan seksisme ini akan selalu menjadi bahan bercandaan?! Para korban seksisme ini sangat bisa menjadi insecure dan down serta berusaha mengejar standar yang diinginkan orang lain ketika mendengar pernyataan yang seksis.
Pada akhirnya akan kembali lagi pada isu kesehatan mental yang berpotensi meningkatkan angka kematian yang disebabkan perilaku seksisme ini. Kenapa demikian? Karena bisa jadi korban merasa tertekan dan merasa takut hingga depresi. Sebagaimana survey yang dilakukan oleh Young Women’s Trust yang bekerja sama dengan Universitas College London, menemukan bahwa perempuan rentang usia 18-30 tahun yang mengalami seksisme lima kali lebih mungkin menderita depresi klinis. Tentang ini bisa dibaca kembali pada tulisan saya yang lain yang berjudul Perempuan dan Kesehatan Mental di mubadalah.id.
Lalu, bagaimana cara kita menanggapi seksisme yang masih dianggap bercandaan ini? Saya sendiri sangat mengharapkan jika teman-teman atau orang lain di lingkungan teman-teman mengalaminya, teman-teman dapat melawan dan menjadi support system yang baik. Dukungan dari sesama memang lebih menguatkan, dibandingkan seksisme yang masih dianggap bercanda ini yang menurut saya sangat mematikan, baik secara social maupun mental. Harapannya juga kita semua menjadi lebih aware, bahwa mendiskriminasi salah satu gender itu bukanlah sebuah bercandaan yang bisa dikonsumsi publik.