“Di mana-mana ramai sekali orang yang sibuk bekerja untuk mengejar status sosial dan pundi-pundi dolar, namun jarang sekali kita temukan orang yang serius bekerja untuk membangun peradaban.” (Hafis Azhari, penulis novel Pikiran Orang Indonesia).
Sebagai penuntut ilmu, kebanyakan perjalanan hidup para ulama tampak seragam, tak beda jauh dengan yang lainnya. Tetapi, sejarah hidup Imam Al-Ghazali rupanya banyak kelokan yang sangat dramatis. Dalam otobiografi yang ditulisnya (Al-Munqidz min al-Dlalal) ia menceritakan perjalanannya yang amat berliku dalam mencari kebenaran sejati, yang kemudian disebutnya sebagai “ilmu al-yaqin”.
Keyakinan itu sebagaimana kita melihat adanya api yang benar-benar keluar dari korek yang kita pantikkan, atau seperti kita meyakini bahwa angka 9 pasti lebih banyak dari angka 5.
Sejak usia remaja, Al-Ghazali dikenal sebagai penuntut ilmu yang tekun dan kritis. Dedikasinya memang tidak setengah-setengah. Keseriusannya mendalami ilmu agama, filsafat hingga metafisika, terus memacu dirinya hingga memasuki alam batiniyah. Di usia senjanya, ia melahirkan buku-buku tasawuf yang kelak menjadi sandaran pemikiran kaum sufi di kemudian hari.
Sebagai pemuda, Al-Ghazali banyak terlibat dalam kehidupan sosial, meskipun ia banyak berbeda pandangan dengan para tokoh agama yang terlampau akrab dengan status quo. Ia pernah menjadi dosen di universitas Nidzamiyah di Baghdad, suatu lembaga perguruan tinggi yang didirikan perdana menteri Nidzam Al-Mulk. Saat mengajar di perguruan tinggi, Al-Ghazali melahirkan beberapa buku karangannya, di antaranya adalah “Tahafutul Falasifah”, suatu pemikiran kritis yang menyoal pendirian klasik para filosof pada zaman itu.
Hengkang dari perguruan tinggi
Al-Ghazali kemudian memutuskan hengkang dari posisinya yang penting di perguruan tinggi. Tiba-tiba ia merantau keluar dari tanah airnya (Baghdad). Beberapa sarjana berpendapat, bahwa Al-Ghazali pernah mengalami kekecewaan dengan praktik keilmuwan dan keagamaan yang berjalan di dunia akademisi. Baginya, kesibukan ulama dan akademisi hanya berlomba pada kemegahan duniawi, takhayul, atau kesibukan mengejar kemegahan dan status sosial. Selama beberapa tahun, orang-orang bertanya-tanya, ke manakah gerangan Al-Ghazali, pemikir jenius yang kontroversial itu? Apakah ia sedang sakit, ataukah sedang mengembara ke luar negeri?
Konon, selama tahun-tahun itu ia mengalami “uzlah” untuk menarik diri ke kampung halaman (Khurasan), kemudian mendirikan saung kecil dengan mengajar beberapa murid di pondoknya. Berarti, Al-Ghazali berputar haluan dari seorang guru besar di ibukota, menjadi ustaz yang hidupnya sederhana di kampung udik. Lalu, apa alasannya?
Dari karya-karya monumentalnya, kita bisa membaca kegelisahan Al-Ghazali, yang saat itu menelisik kecenderungan gejala sosial yang tidak sewajarnya, dan harus dikoreksi. Itulah yang kemudian, dari buah penanya ia meluncurkan “Ihya Ulumiddin”, suatu upaya dari kejeniusan Al-Ghazali yang memosisikan ajaran agama pada pemahaman yang semestinya. Pemikiran agama yang tekstual dan “mati suri”, kini berusaha ia hidupkan kembali. Pemahaman agama eksoterik bercampur animisme dan polytheisme yang semrawut, kini berusaha dibenahi dan direhabilitasi.
Al-Ghazali membaca gejala-gejala yang dilakukan kebanyakan ulama saat itu sebagai “al-mutarassimun”, yakni orang-orang yang ja’im, hanya sibuk memamerkan ilmu-ilmu agamanya. Mereka berceramah, menyebut dalil-dalil naqli, mengaku sebagai pembaca banyak kitab, tetapi pola pikir mereka amat sempit dalam memahami kerangka api Islam yang sebenarnya. Hanya pemahaman agama tekstual yang dangkal, jumud, dan obsolete. Hanya omongan retorika yang sibuk mempolitisasi agama dan firman Tuhan.
Pemahaman yang sempit itu, sarat diselubungi kepercayaan pada takhayul dan khurafat. Al-Gahazali berusaha mengibas semuanya itu, hingga menciptakan terobosan baru, seraya membebaskan banyak orang dari jebakan “kiai omdo” atau ulama mutarassimun tadi.
Rujukan karya Al-Ghazali
Tentulah setiap penulis dan intelektual tidak bisa berdiri sendiri. Ia mesti memiliki rujukan dari kitab-kitab sebelumnya. Tulisan-tulisan Al-Ghazali diakuinya banyak merujuk dari karya-karya besar lainnya. Selain Alquran dan Alhadist, beberapa karangan para ulama dirujuk oleh tulisan Al-Ghazali, misalnya “Al-Ta’aruf li Madzhab at-Tasawuf” (Al-Kalabadzi), “Ri’ayah li Huquqillah” (Imam al-Harits al-Muhasibi), “Qutul-Qulub” (Abu Thalib al-Makki), termasuk juga “Risalah al-Qusyairiyah” (Imam al-Qusyairy).
Jadi, wawasan keilmuwan Al-Ghazali, sebagaimana wawasan kita juga, pada dasarnya merupakan akumulasi dari pemikiran dan ijtihad orang-orang sebelumnya. Ketika kita mengajarkan orang bahwa, perubahan akan terjadi dengan efektif jika kita mau mengubah diri sendiri. Kata-kata itu pernah dinyatakan oleh Aa Gym, Abdul Qadir al-Jailani, Ali bin Abi Thalib, tentu juga Albert Einstein, meskipun dengan pola bahasa yang berbeda.
Satu hal yang menarik pada karya-karya Al-Ghazali adalah penjelasan rasional pada setiap karya-karyanya. Ia seakan mempraktikkan betul sabda Nabi yang menyatakan “addinu hual aqlu, la dinan liman la aqla lahu” (Tidak beragama dengan baik orang yang tidak mengoptimalkan kemampuan berpikirnya).
Bagi Al-Ghazali, keimanan manusia (faith) tidak akan menemukan kedewasaannya, jika manusia beriman, tak mampu mempertanggungjawabkan imannya dalam bahasa rasional. Dengan bahasa yang berbeda sosiolog Auguste Comte menyatakan adanya evolusi pemikiran manusia dari tingkatan faith yang dihayati oleh penganut agama formal, menuju kepada filsafat dan metafisika.
Di sinilah pemikiran Al-Ghazali kembali menunjukkan keabsahannya, bahwa dalam penghayatan iman yang dewasa, terjadi peningkatan dari kepercayaan yang asal membeo (ketaatan buta), agamawan menurut hukum, menuju kepada iman yang mengikutsertakan segala bakat dan potensi manusia yang dianugerahkan Tuhan, yakni akal dan pikiran. (*)