Di tengah situasi pergulatan politik yang keras, perebutan kekuasaan yang sering tak beretika dan kehendak menampilkan diri di depan tatapan banyak mata tanpa basa-basi, dua orang ini justeru saling memberi tempat untuk orang lain dan mengundurkan diri. Siapa mereka?
Mereka adalah maestro sufisme: Shadr al-Din al-Qunawi dan Maulana Jalal al-Din Rumi. Keduanya tinggal di Konya, Anatolia, Turki.
Aku pernah menuliskan cerita ini beberapa waktu lalu di ruang ini.
Syekh Shadr al-Din al-Qunawi (w. 674 H), adalah tokoh besar dalam dunia tasawuf. Ia murid utama sekaligus anak tiri al-Syeikh al-Akbar (guru terbesar): Ibnu Arabi. Dialah salah satu tokoh penting yang menyebarkan ajaran-ajaran Ibnu Arabi dan dia pulalah yang menyebut “Wahdat al-Wujud” (Kesatuan Wujud/Unity of Being) sebagai ajaran inti Ibnu Arabi.
Baca juga:
Syekh al-Qunawi seangkatan dengan Maulana Jalalulddin Rumi, nama yang mungkin lebih kita kenal. Pada mulanya dia tidak cukup akrab dengan Maulana Rumi. Tetapi akhirnya menjadi sahabat yang baik.
Keduanya saling belajar dan menghormati, dan keduanya menjadi sumber rujukan para ulama dalam dunia sufisme. Nama mereka menjulang di langit sufisme sepanjang masa.
Ada cerita menarik tentang persahabatan dua sufi besar ini. Suatu hari, Syekh Shadr ad-Din al-Qunawi memberikan pengajian di hadapan para ulama besar di rumahnya. Tiba-tiba Maulana Rumi datang. Ingin ikut mengaji kepadanya, meski ia adalah syekh sufi besar.
Syeikh al-Qunawi berdiri menyambutnya. Para ulama lain mengikutinya. Maulana kemudian duduk di pojok paling belakang. Ia tidak mau melangkahi dan mengambil tempat kosong di tengah-tengah para ulama itu. Syekh al-Qunawi menggelarkan sajadah untuk Maulana dan meminta dengan sungguh-sungguh agar Maulana mau duduk di atas sajadah itu.
Tapi Maulana Rumi menjawab, “Tidak. Aku tidak patut duduk di atas sajadah itu. Bagaimana aku harus menjawab peristiwa ini di hadapan Allah kelak?”
“Jika begitu, duduklah di atasnya bersamaku, engkau di separuh sajadah ini dan aku separuh yang lain,” Syekh al-Qunawi.
Maulana Rumi sufi agung itu tetap menolak.
Syeikh Qunawai merespon dengan cerdas dan tawaduk, “Jika sajadah ini tidak patut diduduki Maulana, maka ia juga tidak patut aku duduki.” Syeikh Qunawi lalu melipat sajadah itu.