Imam Besar Masjid Istiqlal Prof H Nasaruddin Umar mengingatkan ada dua macam hukum Allah, yaitu hukum takwini dan hukum tasyri’i. Hukum takwini adalah hukum yang dijadikan aturan untuk seluruh alam semesta. Adanya hukum takwini, semua yang dikenai hukum itu harus tunduk.
Hukum takwini misalnya bahwa api itu panas, maka api hukumnya panas. Lalu prinsip gravitasi yang membuat sebuah benda jatuh, es itu dingin, matahari muncul di timur dan tenggelam di barat, atau aturan di Indonesia ada siang dan malam. Hukum takwini disebut juga natural law atau natural science.
“Tumbuh-tumbuhan, binatang, malaikat tunduk kepada hukum-hukum kealaman,” kata Prof Nasaruddin Umar saat mengisi Pesantren Digital Majelis Taqwa Telkomsel bertema Hikmah di Balik Pembatalan Keberangkatan Haji Indonesia, Rabu (9/6).
Prof Nasaruddin meneruskan, karena manusia adalah makhluk superior yang bisa menjadi diri sendiri dan karena keutamaannya, maka selain mematuhi hukum takwini, manusia juga harus tunduk pada hukum tasyri’i. Adanya hukum tasyri’i ini kemudian timbul hukum syariah. Hukum syariah tidak diberikan kepada selain manusia, misalnya malaikat, jin, pepohonan.
“Tidak disebut Muslim kalau tidak tunduk kepada semua hukum tersebut. Maka besi dan batu adalah Muslim karena tunduk kepada hukum gravitasi. Matahari juga Muslim karena tunduk menjalankan kealamannya, siap menjalankan perintah Tuhan, dan selalu konsisten dari dulu,” papar Prof Nasaruddin.
Pengasuh Pesantren Al-Ikhlas Bone, Sulawesi Selatan ini menegaskan semua yang mensifati sifatnya disebut Muslim. Manusia tidak disebut Muslim kalau hanya tunduk kepada hukum alam.
Berbeda dengan hukum takwini yang bersifat mutlak dan niscya, hukum tasyri’i dan syariat seperti rukun Islam, bersifat ikhtiari, choice, dan tidak mutlak. Walaupun shalat wajib misalnya, wajibnya adalah ikhtiari.
“Ikhtiari ada yang berdasar alasan yang diterima dan tidak diterima. Tidak shalat tanpa alasan yang dapat diterima, maka (balasannya) neraka,” katanya.
Seorang yang tengah berkendaraan, misalnya, tidak bisa shalat karena mungkin macet maka ada faktor eksternal yang membuatnya tertolerir. Rukun Islam semuanya ikhtiari, wajib hukumnya. JIka ada alasan kewajiban itu tak terlaksanakan, maka termaafkan. Termasuk dalam hal ini adalah ibadah haji.
“Wajib menjalankan ibadah haji bagi yang memenuhi syarat. Menjadi faktor tidak menjalankan ibadah haji, bukan berarti dosa, misalnya karena lebih utama menyelamatkan jiwa daripada melaksanakan kewajiban karena adanya bahaya,” ungkap Prof Nasaruddin.
Penjelasan tersebut untuk memahamkan masyarakat adanya hikmah di balik pembatalan keberangkatan haji Indonesia tahun 2021. Ibadah haji, kata Prof Nasaruddin Umar, tentu membuat pelakunya bahagia dan mendapatkan pahala. Namun, untuk apa mengejar manfaat kalau nanti tebusannya adalah nyawa, karena adanya wabah Covid-19.
“Meskipun tidak pasti, tapi dalam kondisi wabah, kalau bukan kita yang kena mungkin orang di sekitar kena. Ada faktor yang membuat kita tidak melakukan syari, maka itu pembenaran, harus dipahami dalam arti hukum tasyri’i,” kata
Mustasyar PBNU ini. Seandainya tidak ada wabah Covid-19, dan pembatalan ibadah haji karena arogansi pemerintah, misalnya, maka hal tersebut tidak bisa dibenarkan. Sebab, pemerintah tidak boleh menghalangi umat Islam untuk beribadah.Adanya pembatalan keberangkatan haji 2021, kata Prof Nasaruddin, karena Pemerintah wajib melindungi warganya.
“Kita lihat Pemerintah beralasan ril ada bahaya di situ, menunda ibadah haji ke tahun depan. Kalau enggak sempat, kita bukan golongan untuk berhaji,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan, ibadah haji harus memenuhi tiga syarat atau kemampuan, yakni kemampuan fisik, finansial, dan keamanan. Keamanan yang dimaksud mencakup di Indonesia sebagai negara asal jamaah, maupun Arab Saudi negara tujuan ibadah haji.
“Kalau ada yang bermasalah di ketiga ini, kita boleh menunda ibadah haji,” imbuh Prof Nasaruddin.