Sedang Membaca
Tiga Prinsip Srawung dalam Serat Wulangreh yang Mengambil Nilai-nilai dari Al-Qur’an

Sarjana Sastra Jawa - Universitas Negeri Semarang.

Tiga Prinsip Srawung dalam Serat Wulangreh yang Mengambil Nilai-nilai dari Al-Qur’an

Sampul Serat Wulangreh Terbitan Van Dorp Koleksi Museum Dewantara Kirti Griya (wikipedia.org)

Dalam menjalani kehidupan, manusia diwajibkan untuk mencari bekal pengetahuan sebanyak-banyaknya. Hal tersebut bukan tanpa dasar, saat ini dunia selalu mengalami perubahan sosial yang dinamis. Apa yang kita hadapi saat ini berbeda dengan masa lalu, tentunya pun berbeda pula dengan masa mendatang. Terlebih di zaman serba modern ini, arus informasi sangatlah cepat. Maka, perlu adanya pegangan yang jelas dalam bersosialisasi di masyarakat.

Sosialisasi (srawung) merupakan bagian esensial dalam siklus sosial manusia. Konsep agama apapun menempatkan tatanan sosial sebagai bagian penting dalam mewujudkan keselarasan. Dalam Serat Lokajaya disebutkan, anglaras iline banyu angeli tanpa keli, hidup ini harus menyesuaikan dengan arus kehidupan dunia tetapi tidak hanyut dalam keduniawian. Di sinilah pentingnya manusia empan papan terhadap apa saja yang dilakukannya. Maka, satu hal yang bisa kita ambil pemahaman bahwa bijaksana, bersikap adaptif, dan memiliki keluwesan merupakan modal utama yang tetap dibutuhkan sepanjang masa.

Salah satu pelajaran tata susila mengenai keluwesan bersosialisasi juga dijelaskan dalam Serat Wulangreh. Kata Wulangreh berasal dari gabungan kata wulang yang bermakna pendidikan dan reh yang berarti berperilaku. Teks ini adalah salah satu karya dari Susuhunan Paku Buwana IV (1768-1820) dari Kraton Surakarta Hadiningrat. Secara garis besar, karya ini berisi ajaran moral, etika sosial, maupun sikap spiritual dalam berperilaku.

Serat Wulangreh secara tegas menempatkan al-Qur’an sebagai sumber ajaran. Dalam pupuh awal disebutkan, “…jroning Kur’an goning rasa yekti…” atau al-Qur’an merupakan sumber dari ajaran dalam ‘ilmu rasa’ atau Wulangreh ini. Sebenarnya, apa yang diharapkan dari ‘ilmu rasa’ ini adalah tentang ilmu akhlak atau adab. Hal ini juga bisa dimaknai bahwa ajaran akhlak Rasulullah saw merupakan interpretasi ajaran al-Qur’an (kaana khuluquhul qur’an). Mengenai pelajaran tentang etika bersosialisasi, dijelaskan dalam bait pertama pupuh Pangkur berikut ini.

Sekar pangkur kang winarna, lelabuhan kang kanggo wong ngaurip, ala lan becik puniku, prayoga kawruhana, adat waton puniku dipun kadulu, miwah ingkang tata krama, den kaesthi siyang ratri.

Dalam teks di atas, ada beberapa sikap yang disebut-sebut sebagai patokan tata laku orang dalam bersosialisasi. Pertama, adalah ala lan becik prayoga kawruhana; kedua, adat waton dipun kadulu; dan ketiganya tata krama den kaesthi siyang ratri. Tetapi, perlu kita garis bawahi bahwa sosialisasi tidak hanya sebatas komunikasi. Kita perlu memperluas pendefinisian sebagai ruang sosial yang sangatlah luas.

Baca juga:  Mengenal Imam Al-Ghazali sebagai Mufasir

Konsep yang pertama adalah ala lan becik prayoga kawruhana, antara yang baik dan buruk harus diketahui. Kata kawruh berasal dari kata wruh (melihat) yang mendapatkan awalan ka-. Dalam arti sempit, kawruh dimaknai sebagai sesuatu yang dilihat atau terlihat. Dalam Baoesastra Jawa (1939), kata kawruh memiliki sinonim dengan ngelmu. Akan tetapi, istilah ngelmu ini seringkali dipadukan dengan kata laku (dalam pupuh lain: ngelmu iku kalakone kanthi laku…) sehingga ada makna korelasi bahwa ilmu harus diamalkan dalam laku. Sangat mungkin ini memiliki kesinambungan dengan sebuah ungkapan Arab dijelaskan, al ilmu bilaa ‘amalin kasyajari bila tsamarin, ilmu tanpa amal laksana pohon tanpa buah. Sementara itu, diksi kawruh digunakan untuk suatu hal umum dan penting untuk diketahui. Dengan kata lain, kawruh merupakan sesuatu yang bersifat general, dan ngelmu bersifat spesifik.

Istilah ala lan becik prayoga kawruhana menjelaskan bahwa yang pertama dalam bersosialisasi adalah khalayak umum harus mengetahui sesuatu yang haq dan bathil. Artinya, mampu membedakan mana sikap yang baik-buruk, membawa kemaslahatan-kemudharatan, mana yang membangun-merusak, dan sebagainya. Pemahaman semacam ini dalam bersosialisasi sangatlah penting, terlebih di masa-masa modernisasi seperti saat ini. Bahkan media sosial seringkali menjadi wahana bebas untuk bersuara, karena kita kesulitan mengenali satu dengan yang lain. Kita harus menyadari sekalipun lingkungan yang kita hadapi adalah ruang maya, seyogianya tetap berhati-hati (wara’) dalam bersikap atau bersosialisasi seperti di dunia nyata.

Baca juga:  Kiai Sahal, Mendayung di antara Liberalisme dan Fundamentalisme (1)

Konsep kedua adalah adat waton dipun kadulu, sesuatu hal yang dianggap lumrah (adat) serta dasar-dasar pembicaraan (waton) harus diperhatikan. Selain mengetahui baik-buruknya, seseorang harus memiliki dasar pemahaman apa yang disampaikan. Dasar tersebut tentunya bisa dipertanggungjawabkan dan meminimalisasi hoax (fitnah). Kesalahan yang sering terjadi ialah banyak informasi yang diedarkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, tetapi terkadang penerima pesan lupa untuk mengklarifikasi kebenarannya. Maka, teks ini menjadi titik balik bagi siapapun bahwa dalam berbicara atau bersikap harus memakai waton. Ketika waton atau dasar ini digunakan sebagaimana mestinya, setidaknya bisa menghindari hoax, kesalahan persepsi, maupun sikap-sikap disintegratif yang berujung konflik.

Konsep yang terakhir ialah tata krama den kaesthi siyang ratri, tata krama diamalkan siang dan malam. Sebagai makhluk sosial, tata krama merupakan modal paling dasar dalam bersikap. Dalam menjalani tata krama ini memerlukan kontinuitas yang dikiaskan dengan diksi kaesthi siyang ratri atau diamalkan siang malam. Kita tidak bisa mengelak bahwa di setiap siklus keseharian kita pasti ada sisi tata kramanya, ada sisi adab yang selalu dijaga. Mulai dari bangun tidur sampai beranjak tidur kembali, semuanya memili etikanya sendiri-sendiri.

Tata krama inilah yang kiranya menjadi tolok ukur seseorang. Apa yang pertama kali dilihat, itulah yang terpotret sebagai citra diri. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Gus Dur bahwa seseorang tidak akan menyinggung hal-hal bernuansa privasi, tetapi akan melihat citra diri seserang dari tata kelakuan yang dijalankan. Oleh karena itu, konsep etika atau tata krama sangat penting diperhatikan selain konsep-konsep lainnya.

Baca juga:  Kasman Singodimedjo: Singa di Atas Meja

Tiga konsep yang sudah disebutkan merupakan satu kesatuan yang holistik. Pada prinsipnya, sosialisasi ditopang oleh sebuah kesadaran untuk mendapatkan harmonisasi. Untuk menuju harmonisasi tersebut, seseorang harus mengetahui baik-buruk, mampu menjaga dan menghindarkan dari fitnah maupun isu-isu yang salah, serta senantiasa bertindak baik menurut tata krama. Tujuan sikap tersebut adalah untuk mewujudkan keluwesan dalam bergaul sekaligus mengamalkan nilai-nilai al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang meyakininya.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top