Sedang Membaca
Syarifah Mudaim: Ibunda Sunan Gunung Jati dan 4 Wejangan yang Relevan di Era Sekarang
Abdullah Faiz
Penulis Kolom

Alumni Pondok Pesantren Salaf Apik Kaliwungu dan sekarang Kuliah di UIN Semarang.

Syarifah Mudaim: Ibunda Sunan Gunung Jati dan 4 Wejangan yang Relevan di Era Sekarang

Syarifah Mudaim atau lebih dikenal dengan Nyi Mas Rara Santang adalah ibunda Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Menurut keterangan yang populer, ia masih memiliki jalur nasab yang kuat dengan Kerajaan Pajajaran sebagai putri dari Prabu Siliwangi dan permaisuri Nyi Mas Subang Larang.

Dalam sejarah Cirebon ia sudah beragama Islam sejak kecil bersama kedua saudaranya yaitu Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana dan Raden Kian Santang. Mereka hidup dengan penuh kenyamanan karena putra-putri seorang raja yang sangat dihormati oleh masyarakatnya. Dengan demikian, ketika menginjak usia dewasa, mereka diutus untuk belajar dan memperdalam agama kepada Syaikh Nur Jati di daerah utara Pajajaran yang kemudian menjadi cikal bakal wilayah Caruban atau Cirebon.

Dalam buku Sejarah Cirebon yang disusun oleh KH. Mahmud Rais, Syaikh Nur Jati adalah ulama yang masih satu kurun dengan Raden Rahmat Sunan Ampel di Surabaya, Syaik Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Syaikh Quro di Karawang dan para ulama lainnya yang tergabung dalam misi dakwah Walisongo. Menariknya para ulama tersebut berpencar dan membangun otoritas keagamaan masing-masing, namun masih dalam koridor dakwah yang sama.

Kembali ke Rara Santang dan saudara-saudaranya, setelah mereka belajar kepada Syaikh Nur Jati, kemudian mereka disarankan untuk pergi menunaikan rukun Islam yang terakhir yaitu berhaji ke Baitullah. Dengan demikian, sebagai santri mereka akan menuruti perintah dari sang gurunya. Bergegaslah mereka mempersiapkan keperluan untuk perjalanan yang cukup panjang.

Singkat cerita, Nyi Mas Rara Santang dipertemukan dengan Syarif Abdullah Azmatkhan. Dalam versi lain disebutkan Sultan Mahmud atau Hud keturunan Nabi Muhammad yang menjadi penguasa di daerah Mesir dan sekitarnya. Sementara kedua saudaranya, Pangeran Cakrabuana Kembali ke Syaikh Nur Jati dan Raden Kian Santang kembali ke Pajajaran.

Baca juga:  Ulama Banjar (56): KH. Mahfuz Amin

Pernikahan Rara Santang dengan Sultan Hud dikaruniai dua putra yaitu Syarif Hidayatullah yang kemudian berdakwah di tanah Nusantara dan Syarif Nurullah yang meneruskan perjuangan ayahnya di Mesir.

Keinginan Bertemu Nabi Muhammad saw

Syarif Hidayatullah tumbuh sebagai anak yang cerdas dan terpancar keshalehanya, semasa dalam kandungan ibundanya memiliki cita-cita agar anak dalam kandungan tersebut diberikan kesalehan dan alim dalam ilmu agama, sebab Syarifah Mudaim menginginkan anaknya kelak bisa berdakwah dan menyebarkan Islam di tanah Sunda dan Jawa. Yang mana pada saat itu pulau Jawa masih kuat dengan ajaran Hindu dan Budha karena besarnya Kerajaan Majapahit dan Pajajaran.

Sepeninggal ayahnya, Syarif Hidayatullah kerap mengasingkan diri atau khalwat dengan menarik diri dari keramaian dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Dalam rangkaian khlawat tersebut ia membaca kitab Safinah Al Asrar fii Kaifiyati Shalat Al-Akhyar. Kitab yang memuat tentang akhlak dan tindak lampah perjuangan Nabi Muhammad saw. Sehingga jiwa beliau tertarik dan terpesona hingga ingin bertemu dengan Nabi Muhammad saw.

Makna “ingin bertemu” ini adalah respon atas kekagumannya dengan Nabi Muhammad saw yang sangat menginspirasinya. Bertemu artinya pertemuan dalam dunia ruh, sebab Syarif Hidayatullah jelas sudah mengetahui kalau Nabi Muhammad saw sudah tiada ratusan tahun yang lalu. Namun bisa jadi, makna “ingin bertemu” itu adalah berusaha memahami semua ajaran-ajaran nya dan berdakwah sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.

Tidak lama kemudian ia meminta izin kepada ibundanya yaitu Syarifah Mudaim. Untuk cita-cita yang mulai “ingin bertemu Nabi Muhammad” Ibunda sebelum memberikan izin ia menyarankan untuk pergi ke Madinah, karena secara logika Nabi Muhammad saw dimakamkan di Madinah. Namun Syarif Hidayatullah menolak karena ia juga tahu bahwa makam Nabi Muhammad saw ada di Madinah namun yang ia cari adalah ruh Nabi Muhammad. “Ruh Nabi Muhammad” memiliki penafsiran yang beragam, bisa diartikan sebagai ajaran-ajaran dan teladan dakwahnya atau pertemuan dunia ruh dalam dimensi lain.

Baca juga:  Kifayat al-Mubtadi: Kitab Karya Syaikh Muhammad Ali Kudus yang Selamat dari Musibah Kebakaran

4 Pesan Syarifah Mudaim untuk Putranya

Mendengar penuturan putranya, Syarifah Mudaim memberikan izin karena ia sudah paham bahwa anak ini memiliki semangat yang luar biasa. Akan tetapi sebelum pergi, ia memberikan wejangan terlebih dahulu.

“Anakku bahwa kelak di akhir zaman akan menemukan banyak orang menyimpang dari kebenaran. Dan engkau harus menjadi orang yang jujur dan tetap berada dalam jalur kebenaran. Peganglah hukum Allah dan jangan engkau rubah sekalipun. Dan apabila engkau konsisten dijalan kebenaran, engkau akan dipercaya oleh orang banyak dan menjadi orang tua mereka meskipun usianya masih muda”

Pembukaan pesan tersebut, disadur dalam buku Sejarah Cirebon karangan KH. Mahmud Rais dari Mertapada Cirebon. Sepintas adalah pesan seorang ibu yang sangat sayang terhadap anak laki-lakinya, ia tidak mau anaknya tersesat dalam kebatilan. Dalam kata terakhir ibunda memberikan pesan bijaksana, yaitu apabila konsisten di jalan kebenaran engkau akan diberikan kepercayaan oleh orang banyak. Oleh karena itu apabila ia sudah menjadi orang yang dipercaya oleh orang banyak, Syarifah Mudaim berpesan  empat hal.

  1. Jadilah engkau seperti matahari dimana ia memberi penerangan dan bermanfaat bagi semua manusia tanpa pamrih dan tidak pilah pilih.
  2. Jadilah engkau seperti air laut dimana air tersebut meskipun bercampur dengan macam-macam kotoran tetaplah keadaannya tidak berubah dan sebutannya tetap air laut
  3. Jadilah engkau seperti gunung, ia tampak tegak gagah perkasa tak lapuk karena hujan dan tak lekang karena panas. Berani mempertaruhkan diri dari serangan-serangan angin.
  4. Jadilah engkau seperti dapur pembakaran bata, dimana ia suka menerima segala kayu bakar tidak ada kayu yang ditolaknya dan biarkan kayu-kayu itu terus suruh membakar tetapi akhirnya kayu-kayu itu yang habis sedangkan dapurnya semakin kuat.
Baca juga:  Epos Ajaran Kemanunggalan Islam di Nusantara (3): Syekh Abdul Muhyi, Martabat Tujuh, dan Penegasan Wujudiyah

Pesan yang penuh dengan makna filosofis tersebut sangat indah dan tetap relevan dengan era sekarang. Sangat cocok untuk anak muda generasi saat ini, ditengah gempuran digitalisasi dan gesekan permusuhan yang kerap terjadi pada intinya, jangan runtuh karena serangan musuh jangan tertipu karena pujian dan janganlah putus asa karena ejekan-ejekan dan lain sebagainya. Harus terus menyinari seperti matahari, tetap konsisten seperti ari laut, kuat dan gagah dari terpaan angin bagaikan gunung dan menjadi kokoh bagaikan tempat pembakaran bata.

Pesan Syarifah Mudaim tersebut meskipun ditujukan kepada putranya, Sunan Gunung Jati, namun sejatinya terkandung makna yang luas dan harus tersampaikan kepada semua orang. Makna dari pesan tersebut jangan sampai hilang karena tergerus oleh masa. Wallahu a’lam, Al-Fatihah untuk Syarifah Mudaim, Sunan Gunung Jati dan pejuang lainnya.

Tulisan ini disadur dari Buku Sejarah Cirebon Karya KH. Mahmud Rais Astanajapura (Keturunan ke 19 dari Sunan Gunung Jati Cirebon)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top