“Siapa yang mau mengurusi Nahdlatul Ulama, adalah juga santriku. Siapa yang jadi santriku, maka aku doakan khusnul khatimah beserta keluarganya.”
~Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari.
Risalah singkat ini akan kita mulai dari masa ketika Bung Karno baru saja menuntaskan masa pembuangannya di Bengkulu. Manakala Belanda mengetahui tentara Jepang telah mendarat di sepanjang pantai Sumatera dan utara Jawa, mereka terpaksa hengkang ke Australia. Jepang lantas membawa Sukarno menuju Padang—menyusuri Bukit Barisan, dari tanah kelahiran Ibunegara Fatmawati. Di kota inilah kita bisa mencatat beberapa peristiwa penting terkait bagaimana cara Sang Proklamator memosisikan diri selaku santri.
Dalam sebuah kesempatan, Bung Karno melawat ke Perguruan Darul Funun el Abbasiyah (DFA) di Puncakbakuang, Padang Japang, yang diampu Syeikh Abbas dan Syekh Mustafa Abdullah. Sukarno yang baru terbebas jadi orang interniran, merasa perlu sowan pada dua syeikh bersaudara ini—yang pengaruh sosialnya cukup besar di ranah Minang. Syekh Abbas dan Syekh Mustafa adalah murid ulama Minangkabau terkemuka di Makkah, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Ia juga berkawan dekat dengan Syekh Abdul Karim Amrullah atau Inyiak Rasul. Pada kemudian hari, bersama Abdullah Ahmad dan beberapa ulama lain, Syeikh Abbas mendirikan Madrasah Sumatera Thawalib.
Kedatangan Sukarno ke DFA bertujuan untuk membicarakan konsep dasar dan penyelenggaraan negara. Hasilnya, Syekh Abbas menyarankan bahwa negara yang hendak didirikan harus berdasar ketuhanan. Dua ulama besar tersebut, menambah daftar nama yang padanya Bung Karno pernah ngangsu kawruh. Selain mereka, masih ada Sang Alif atau Raden Mas Panji Sosrokartono yang sudah mukim di Bandung; KH Abdul Mu’thi dari Madiun; Hadratussyeikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, Jombang (pendiri Nahdlatul Ulama), dan muridnya, KH. Ahmad Basyari, Sukanegara, Cianjur.
Berkenaan dengan pemilik nama terakhir itu, akhirnya kami berhasil menemukan riwayat beliau dalam sebuah buletin Oposisi edisi 7 yang terbit perdana pada Maret 2005. KH. Ahmad Basyari, adalah pendiri Pondok Pesantren Al-Basyariyah, Sukanagara pada 1911. Ia berasal dari Madura, Jawa Timur. Usai menimba ilmu dari Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, di Pesantren Tebuireng, ia pun mendirikan pesantren sendiri di Kampung Cikiruh, Desa Sukanagara, Kabupaten Cianjur. Dasar pendirian pesantren ini sebenarnya bermula dari status Kiyai Ahmad yang sempat menjadi buronan Belanda.
Bagi masyarakat di seputaran Cianjur dan tatar Sunda secara umum, Kiyai Ahmad Basyari dikenal sebagai ulama yang mustajab doanya. Banyak masyarakat yang datang hanya demi didoakan oleh beliau. Di antara muridnya yang kemudian tampil ke permukaan adalah Haji AA Wiranatakusuma—yang kemudian menjadi Bupati Cianjur (1912-1920 M), dan Bupati Bandung (1920-1931 dan 1935-1942). Presiden Sukarno mengangkatnya sebagai Menteri Dalam Negeri RI pertama. Dari sosok inilah Ir. Sukarno sebenarnya mengenal Kiyai Ahmad pada paruh akhir 1930-an.
Pada masa awal bertandang ke Pesantren Cikiruh, Bung Karno selalu datang pada malam hari, sekira pukul sepuluh. Itu pun melalui kebun pesantren. Langkah ini ditempuh demi menghindari intaian Belanda. Meski akhirnya, kedatangan tokoh pergerakan itu tetap terendus oleh mata-mata kolonial. Menurut sohibul hikayat, KH Ma’sum Basyari bin KH Ahyat Basyari bin KH Ahmad Basyari, Belanda sudah masuk ke kampung Ciguha dan Cibeber. Sebelum mereka merangsek ke Sukanagara, sebuah pesawat pengintai terbang rendah terlebih dahulu. Ajaibnya, pilot pesawat itu tak melihat satu rumah pun di koordinat yang ia pantau.
Pada saat agresi militer Belanda kedua, wilayah Sukanagara pernah dibumihanguskan lantaran di sini banyak gerilyawan yang berjuang di bawah komando Kiyai Ahmad. Menjelang kemerdekaan, Bung Karno memenuhi dawuh Kiyai Ahmad untuk bertirakat di pesantren ini selama tiga bulan penuh—demi merumuskan strategi memerdekaan Indonesia. Selama itulah jasmani-ruhani Bung Karno digembleng. Pesantren bercorak salaf ini tampak asri dan berudara sejuk. Wilayah di sekitarnya ditumbuhi banyak pepohonan rindang, dan juga hamparan sawah membentang sepanjang mata memandang. Cocok bagi Bung Karno yang memang gemar menyepi dari keramaian, dan merenungi nasib rakyatnya.
Ada satu peristiwa penting lain yang juga terjadi pada medio ini, yaitu pembuatan bendera Merah-Putih pertama sebelum Indonesia merdeka. Bahan kain bendera itu dipesan Kiyai Ahmad kepada H. Harun Hasan di Pekalongan pada 1939. Sebelum akhirnya disimpan rapi di dalam peti berbahan kayu jati lantaran termakan usia, bendera pusaka itu masih dikibarkan saban 17 Agustus oleh Paskibra SMAN 1 Sukanagara, Cianjur, Jawa Barat.
“Banyak saksi dari pelbagai daerah sekitar yang mengatakan Sukarno muda memang sering menemui KH. Ahmad Basyari untuk memperdalam ilmu agama Islam. Peninggalannya seperti lemari dan ranjang kecil di sebuah kamar, juga masih ada,” ungkap Rahmat Khadar, pewaris bendera merah putih di Pesantren Cikiruh. Sepeninggal KH. Ahmad Basyari, Bendera Merah Putih yang dibuat di Pekalongan ini diwariskan secara turun menurun hingga sekarang.
Menurut Rahmat, saat Bung Karno sekeluarga datang, KH Ahmad Basyari selalu menyuguhi bubur merah-putih (dwiwarna) untuk disantap. Mungkin sebagai tanda warna bendera Republik Indonesia pada kemudian hari. Dari tokoh kharismatik Cianjur ini pula, Bung Karno diamanahkan agar merayakan peringatan Isra’-Mi’raj setiap tahun di Istana Negara—yang tetap menjadi tradisi sampai kini. Setelah kemerdekaan, Presiden Sukarno masih menyempatkan dua kali sowan ke Kiyai Ahmad secara terbuka, pada 1950 dan 1952. Setahun kemudian, KH. Ahmad Basyari berpulang ke Rahmatullah.
Sanad guru-murid di atas masih bisa kita tambahkan melalui jalur Umar Said Cokroaminoto—guru Sukarno muda semasa nyantrik di Peneleh, Surabaya. Secara silsilah, Cokro masih tersambung pada Kiyai Ageng Muhammad Besari—yang juga bertindak selaku gurunya. Terus ke atas, sanad itu bertalian melalui Kiyai Ageng Donopuro -> Danang Sutawijaya (Panembahan Senopati ing Alaga Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa) -> Sunan Tembayat -> Sunan Kalijaga, hingga sampai ke Rasulullah Muhammad Saw.
Pada sebuah kesempatan emas, Pahlawan Islam yang Utama Cokroaminoto, pernah mengajak Sukarno remaja menemui Syeikhona Cholil Bangkalan. Berdasar penuturan Pengasuh Pondok Pesantren Syaikhona Mohammad Cholil, KH Nasih Aschal, saat itu Bung Karno ditiup ubun-ubunnya oleh Mbah Cholil. Cerita itu juga dibenarkan oleh KH As’ad Syamsul Arifin, pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo—kala ia masih nyantri di bawah asuhan Kiyai Cholil.
“Setelah Bung Karno sungkem, Kiyai Cholil meniup ubun-ubunnya.”
Semasa perang perjuangan kemerdekaan, Kiyai As’ad, Kiyai Wahab Chasbullah, dan terutama KH Hasyim Asy’ari, tercatat sering disowani Bung Karno. Bahkan Resolusi Jihad hasil ijtihad Mbah Hasyim lah yang meyakinkan Bung Karno agar mengumandangkan perang terbuka menghadapi agresi militer Belanda periode dua. Sesudah menjabat presiden pertama Indonesia, bersama para pinisepuh NU tersebut, Ir Sukarno tak sungkan membantu perkembangan organisasi ulama terbesar dalam skala dunia itu.
Merujuk wasiat Mbah Hasyim di bagian atas risalah ini, maka tak berlebihan jika kami meyakini bahwa Bung Karno masih tergolong santri beliau—dan juga para kiyai lain yang pernah berhubungan secara erat dengannya. Baik sebelum dan sesudah era kemerdekaan Indonesia. Seperti Tubagus Mama Falak Pagentongan, Bogor, dan Abuya Armin di Pandeglang. Akhir kalam, sesungguhnya sebelum Gus Dur menduduki tampuk kepresidenan, negara kita tercinta sudah lebih dulu dipimpin oleh seorang santri yang namanya raksi ke seantero dunia, sebagai Pahlawan Islam Asia-Afrika.
Teruntuk Bung Karno, Alfatihah. (RM