Kota itu hampir hancur lebur ketika kelompok jihadis menyerangnya. Namun kini kelompok itu sudah pergi. Kota itu mulai membangun dirinya lagi setelah ribuan tahun kota itu berdiri.
Maaloula. Dalam bahasa Suryani berarti “gerbang masuk”. Bersama Jabba’din dan Bakh’ah, kini Maaloula menjadi satu-satunya kota yang masih menuturkan Bahasa Suryani. Para ahli mengidentifikasi dialek kota itu sebagai West Neo-Aramaic. Kian tahun bahasa itu kian punah. “Bahasa Arab semakin mendominasi,” ujar Pendeta Abu Mukh kepada New York Times dalam wawancara di tahun 1983.
Pada natal tahun kemarin, penduduk Maaloula pergi ke gereja Saint Techla untuk pertama kalinya sejak kota itu takluk di tangan ekstrimis tahun 2013. Pasukan Rusia dan Lebanon mencoba merebut kembali kota itu pada musim semi setahun berselang.
Ketika Pasukan Rusia dan Lebanon memasuki kota itu, mereka terkejut ketika mendapati bahwa pribumi di sana memakai Bahasa Yesus; bahasa Suryani. Sejak itu Maaloula mendapat julukan tak resmi: Kota Lidah Yesus.
Menurut sensus pada tahun 2004, kota itu sendiri berpenduduk tak lebih dari tiga ribu orang. Muslim dan Kristen Ortodoks Yunani berbagi peran dalam kota yang terletak di lereng Gunung Qalamun itu. Meskipun hanya berjarak satu jam lebih dari Damaskus, kota ini sedikit terpencil karena letaknya memang di lereng gunung. Cuaca kota ini dingin dan mencapai lima derajat celsius di musim dingin.
Kota ini hidup dalam damai sejak ratusan tahun. Bahkan sufi masyhur bernama Abdul Ghani an-Nabulsi (w 1731), pernah bercerita dalam catatan harian perjalanannya pada sekitar abad 17, Al-Haqiqat wal Majaz fi Rihlati Syam wal Hijaz. An-Nabulsi mengenang bahwa ia mampir di kota itu dan berziarah ke Gereja St. Techla yang terletak di sekitar gua di lereng gunung.
Ia mengatakan bahwa gua itu mengeluarkan air yang diyakini memberikan manfaat. Catatan ini memberi sedikit bukti bahwa toleransi di kota ini cukup tinggi.
Syihab Al-‘Umari (w 1349 M) mencatat dalam buku sejarahnya yang tebal Masalikul Abshar (27 jilid) bahwa gereja ini merupakan peninggalan Romawi dan dibangun dengan batu putih. Habib Zayat (w 1954), seorang filolog tekun dan sejarawan ternama, menambahkan dalam Khazanat Dimsyiq bahwa pada tahun 1751 Raja Muhammad Hurfusy pernah kabur dari amukan Mustafa Basya dan mengungsi di St. Techla.
Tak lama berselang Mustafa berhasil menemukan sang raja. Penduduk Maaloula melawan dan terjadi peperangan antara keduanya. Maaloula takluk dan selama beberapa hari dijarah oleh tentara Mustafa. Cukup banyak warga sipil dan pendeta yang terbunuh. Untuk mengingat peristiwa ini, dibangun sebuah tempat khusus yang didedikasikan untuk Raja Muhammad Hurfusy di salah satu bagian St. Techla.
Selain St. Techla, Maaloula memiliki satu gereja lagi yang bernama Gereja St. Sarkis. Habib Zayyat mencatat kunjungannya ke gereja ini:
“Gerjea Sarkis sedikit kurang terawat. Tempat itu lebih seperti padepokan. Namun gereja ini memiliki pemandangan yang lebih bagus ketimbang St. Techla karena gereja ini terletak di puncak bukit yang terkenal dengan nama Balut Olya dalam Bahasa Suryani. Sehingga seluruh kota Maaloula bisa dilihat dari situ.”
Habib Zayyat sempat berdialog dengan uskup St. Sarkis, Steven Saqr. Sang Uskup menjelaskan bahwa Gereja Sarkis memang diperuntukkan untuk menempa biarawan.
Mengenai bangunannya, Uskup berkata bahwa dibutuhkan dana yang cukup besar untuk mereparasinya. Lagi pula aktivitias ibadah umum kurang begitu intens di sana, sehingga perbaikan tampaknya kurang diperlukan. Demikian dicatat oleh Habib Zayyat.
Sejarah kedua gereja ini sendiri cukup kuno. Oleh karena itu tidak banyak yang bisa diketahui tentang pembangunannya. Meski demikian, Gereja St. Sarkis diidentifikasi terinspirasi dari nama salah seorang tentara Romawi yang hidup pada sekitar abad 5/6 Masehi.. Maka berdasarkan fakta ini, gereja ini bisa dipastikan dibangun pada tahun-tahun itu.
Sedangkan St. Techla diambil dari nama murid dari St. Paul yang hidup sekitar abad 2 Masehi. Namun sedikit terlalu dini jika hendak menyimpulkan gereja ini berdiri di abad itu mengingat St. Techla adalah tokoh yang cukup populer serta banyak gereja dengan nama serupa.
Gereja ini sendiri memiliki tiga perayaan utama yang menarik para turis mancanegara. Ketiganya perayaan itu jatuh di bulan September hingga Oktober. Namun setelah perang, kunjungan wisata ke sana berkurang.
Kini ketika perang usai, Maaloula mencoba berbenah. Dan—meskipun sedikit—mereka masih mengajarkan anak-anak mereka bercakap dalam Bahasa Suryani, utamanya dalam liturgi keagamaan.
Hai