Nusa Tenggara atau yang dikenal dengan Nusa Tenggara Barat yang terdiri dari dua pulau dan tiga suku besar, yaitu pulai Lombok dan Sumbawa, serta suku Sasak, suku Samawa dan suku Mbojo. Sebagai daerah dengan mayoritas muslim, sudah sejak lama jejaring Islam Nusantara terbentuk antara daerah satu dengan yang lain memiliki jejaring yang sama.
Melalui ulama besar dari berbagai daerah, tidak saja Lombok yang memiliki ulama ternama, dan bukan saja Sumbawa yang memiliki ulama ternama dalam jejaring Islam Nusantara. Di ujung timur pulau sumbawa terdapat daerah yang kemudian di sebut Bima, daerah kelahiran ulama besar yaitu Syekh Abdul Ghani al-Bimawi al-Jawi.
Syekh Abdul Ghani lahir di akhir abad 18, sekira 1780 M. Kelak ia akan menjadi ulama besar yang tercatat menjadi guru dari beberapa ulama besar dari bumi Nusantara. Syekh Abdul Ghani memiliki keturunan yang juga tak kalah sebagai mubaliqh.
Ayahnya, Syekh Subuh diangkat oleh sultan Bima yaitu sultan Auluddin Muhammad Syah (1731-1743) sebagai imam kesultanan atau penasehat keagamaan, kedalaman ilmu agama yang mumpunilah yang membuat ayah Seikh Abdul Ghani diangkat sebagai imam oleh Sultan Auluddin dan menulis Mushaf Bima yang dikenal dengan sebutan ‘La Lino’. Darah Syekh Subuh mengalir memacu Syekh Abdul Ghani juga ikut turut belajar ilmu agama ke berbagai daerah sampai ke Makkah.
Di Makkah Syekh Abdul Ghani al-Bimawi al-Jawi berguru keberbagai ulama seperti al-’Allamah Muhammad al-Marzuqi, seorang ulama penulis ‘Aqidah Al-Awwam’ dalam ‘Aqidah Sy’riyyah’ atau dikenal dengan ‘Aqidah Kullabiyyah’. Kemudian Abdul Ghani berguru pula dengan Syekh Muhammad Sa’id al-Qudsi dan Al-‘Allamah ‘Utsman ad-Dimyathi.
Setelah belajar dari guru dan ulama ternama, kedalaman ilmunya juga diakui oleh banyak ulama dan menjadi guru bagi ulama Nusantara. Berjejer ulama besar yang kita kenal sebagai murid Syekh Abdul Ghani terutama bagi mereka yang belajar di Makkah pada abad ke-19 yaitu salah satu muridnya yang di catat oleh Khairuddin az-Zirikli dalam Al-‘Alam ialah Syekh Nawawi al-Bantani.
Selain itu, terdapat nama Syekh Kholil Bangkalan juga tercatat sebagai murid Syekh Abdul Ghani. Sehingga konon dalam satu cerita Syekh Kholil Bangkalan menasihati santrinya untuk tidak menyembelih atau melukai kuda dari tanah Bima, karena menghormati sang guru yang lahir di Bima.
Selain itu, Syekh Abdul Faidh Muhammad Yasin bin Muhammad ‘Isa al-Fadani dalam tasihnya terhadap “Kifayatul Mustafid Lima ‘ala Lada at Tarmisi minal Asanid ” menyebut nama Syekh Abdul Ghani sebagai ulama asal Nusantara yang meriwayatkan hadis, ia masuk dari 103 ulama melayu yang meriwayatkan hadis, antara lain meriwayatkan hadis dari ‘Umar bin Abdul Karim al-Aththar al-Makki, Said bin Ali As-Suwaidi al-Baghdadi dan lain-lain.
Tentu jejaring ulama Nusantara di Makkah pada abad 19, terdapat nama ulama dari timur Nusantara sebagai salah satu pendidik dan ulama terkenal, hal ini juga tercatat dalam salah satu buku karya Zainul Milal Bizawie yaitu Masterpiece Islam Nusantara yang mencatat nama Syekh Abdul Ghani al-Bimawi sebagai salah satu tokoh yang membentuk jeraring ulama Nusantara di abad 19.
Menjadi penting mengangkat tokoh yang masih belum banyak mendapat perhatian kalangan, terutama masyarakat Bima tentang Syekh Abdul Ghani al-Bimawi, terutama minimnya soal literatur yang menulis sosok sampai pemikiran serta karya-karyanya.
Tulisan ini menjadi penting untuk menambah wawasan mengenai sosok ulama dari timur yaitu Bima. Sebagai pemuda Bima sebuah kebanggaan dapat mengenal banyak ulama dari tanah kelahiran yang masih banyak mendapat perhatian lebih jauh seperti meneliti sosok ulama-ulama dari Bima.
Sebagaimana salah satu tokoh ulama yang penulis temukan makamnya di salah satu daerah di Bima yaitu desa Tolobali terdapat makam Syekh Umar al-Bantani atau dikenal dengan nama Syekh Banta yang masih menjadi misterius siapa sosok Syekh Umar al-Bantani yang asumsi penulis ialah bapak dari Syekh Nawawi al-Bantani. Wallahu a’lam