Sedang Membaca
Ihya Berjalan, Berjalan dengan Ihya
Iip D Yahya
Penulis Kolom

Peminat budaya Sunda dan penulis sejarah. Bukunya yang telah terbit di antaranya "Biografi Oto Iskandar Di Nata: The Untold Story" dan "Ajengan Cipasung: Biografi KH. Moh. Ilyas Ruhiat".

Ihya Berjalan, Berjalan dengan Ihya

Tulisan berikut ini terinspirasi status Mbak Admin Ngaji Ihya Online, pada 19 Mei pukul 16.54 WIB. “Sejak seminggu sebelum Ramadan, rasanya hampir setiap hari ada seruan “Pakeeet” dari arah pagar rumah. Eits, jangan suudzon dulu. Bukan kami keranjingan belanja online, tapi banyak banget yang mengirim tanda cinta ke rumah. Berupa buku, makanan, baju dan perlengkapan syuting, dll.”

Begitu membaca status itu, saya, meminjam istilah Kiai kita, mak jenggirat dan spontan kontak founder alif.id. Saya sampaikan bahwa Ngaji Ihya Online sudah mencapai level istimewa. Milieu pesantren virtual ala Nahdliyin telah terbentuk dengan munculnya feedback dari publik yang berupa tanda cinta itu. Salah satu ciri kuat pesantren NU adalah tidak pernah ada kalimat “siapkan infak terbaik” dalam majelis pengajiannya.

Kiriman tanda cinta itu digerakkan oleh suatu interaksi yang tidak mudah dijelaskan, dan lebih nyaman untuk disyukuri saja. Interaksi kiai-santri-umat semacam inilah yang telah menjaga keberadaan pesantren sepanjang hidupnya.

Suatu model pesantren online telah terbentuk dan diterima umat. Model ini bisa diduplikasi oleh siapa pun. Tentu saja, syarat dan ketentuan berlaku. Kiai kita dan Mbak Admin dapat menjadi role model-nya. Dunia pesantren online ini akan menjadi rujukan penting, ketika nanti muncul para pengampu kitab-kitab mu’tabar, membuka pesantren daring, dalam berbagai disiplin ilmu.

Ngaji Ihya Online dan milieunya, terbentuk setelah melalui proses yang panjang. Aktivitas ini mengiringi langkah visioner Savic Ali dan timnya pada awal 2016. Mereka melakukan terobosan dengan membuat aplikasi Nutizen yang menyediakan lapak bagi para kiai dan nyai dari berbagai pesantren untuk menyiarkan pengajian mereka secara live streaming. Kiai kita menyebut upaya tersebut sebagai terobosan-digital-ukhrawiyah.

Pengajian Ihya Online ini dimulai pada Sabtu, 1 Ramadan 1438 H atau 27 Mei 2017. Pengajian virtual ini diadakan atas dorongan banyak pihak, termasuk dari Mbak Admin, agar ada langkah konkret dalam mengimbangi pengajian-pengajian yang cenderung ngegas. Dalam kaitan ini, Kiai kita sudah memenuhi laku para ulama terdahulu, bahwa ia memulai pengajiannya, atau sebut saja membuka pesantren, karena sa-alani ba’dlul ashdiqa, atas permintaan sejumlah kawan. Ia merasa terpanggil dan menyiapkan diri memenuhi harapan tersebut.

Aspek teknis tentu saja menyertai pesantren model baru ini. Beruntung Mbak Admin yang tangguh, tidak pernah lelah untuk belajar hal-hal teknis ini. Sinyal yang tidak stabil, suara yang kurang jelas, gambar yang sering goyang, dan lain-lain. Selazimnya Ibu Nyai, ia melayani umatnya dengan sabar. Berbagai pendapat dan saran santri di kolom komentar, dilayaninya dengan telaten. Sebagai relaksasi, ia pun “curhat” dengan menulis catatan perjalanan Ngaji Ihya yang sangat digemari publik.

Baca juga:  Mengenal Islam Lewat Jalur Sastra

Begitu pula aspek penyajiannya. Kiai kita yang piawai dalam tata bahasa Arab, pada awalnya kerap membahas lafaz atau konteks kalimat secara panjang lebar. Hal ini membuat roaming bagi yang tak terbiasa ngaji kitab. Secara khusus Gus Mus mengingatkan hal ini, agar Kiai kita lebih fokus ke materi yang dikaji.

Setelah berbagai trial and error itu, Ngaji Ihya Online menjadi tren dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Pergaulan Kiai kita yang luas, membuat pengajiannya diikuti berbagai kalangan, tidak hanya yang NU dan yang muslim. Menembus sekat-sekat ormas dan agama. Secara santun, ia menyebut dirinya sebagai Lurah Pondok, bukan khadimul ma’had. Lurah di pesantren adalah santri senior yang dipilih kiai untuk mengkoordinasikan berbagai kegiatan, dan ikut mengajar santri yunior. Yang tersirat dari sebutan Lurah Pondok ini adalah ketawaduan. Ia tidak menyebut dirinya kiai atau gus.

Seusai Ramadan, publik merasa kehilangan interaksi yang hangat saat mengaji dengan Kiai kita. Muncul usulan agar pengajian tetap diadakan di luar bulan puasa sekalipun tidak tiap hari. Ia memenuhi harapan umat itu dan menjadwalkan pengajian seminggu sekali. Ini saya sebut sebagai tahap kedua.

Pada 10 Juli 2017, Kiai kita menjajagi ide Kopdar Ngaji Ihya. Sejak saat itu, dimulailah tahapan ketiga, Kopdar hampir seminggu sekali sepanjang tahun. Di satu tempat, di kerap ngaji lebih dari sekali atau mengisi acara diskusi yang lain. Undangan kopdar penuh untuk jadwal setahun, terkadang dalam sebulan bisa 5-7 permohonan. Semuanya tersaji secara online, dengan sedikit perbedaan format dalam ngaji kopdar ini, yaitu tampilnya penanggap dari kota setempat.

Praktis hidup Kiai kita selanjutnya adalah melayani umat dengan Ngaji Ihya Online. Jika ada halangan pada waktu yang sudah dijadwalkan, ia akan menggantinya di lain hari. Ia sudah ikrar, mewakafkan dirinya agar Ngaji Ihya online ini dapat dilaksanakan sampai khatam.

Tahap keempat menurut saya adalah ketika Kopdar Ngaji Ihya mulai memasuki acara resmi pesantren, seperti perayaan akhir tahun ajaran. Lazimnya, haflah akhirus sanah diisi dengan ceramah mubalig kondang. Kini mulai diselingi, untuk tidak menyebutnya digeser, dengan ngaji kitab. Publik pesantren ternyata menyambut baik tradisi baru ini. Seolah ada kesadaran, ceramah mubalig kondang itu menarik, tetapi ngaji kitab seperti Kiai kita juga tak kalah memikat.

Baca juga:  Agama dan Pelintiran Kebencian (2): Senjata Bagi Wirausawahan Politik

Tahap selanjutnya adalah saat Ngaji Ihya Online dilaksanakan sekali dalam sebulan di Mesjid PBNU, setiap malam Jumat pertama. Kopdar di Masjid An-Nahdlah ini, selalu ditunggu-tunggu dan digemari para milennial Nahdliyin. Mengaji di Masjid PBNU, tentu menambah bobot pada Kiai kita.

Tahap keenam adalah seperti dituturkan di awal tulisan, ketika muncul tanda cinta dari santri dan jamaah pengajian. Dari alur ini, Ngaji Ihya Online sudah on the right track, tinggal menyesuaikan sajian sesuai perkembangan teknologi. Ibarat sebuah pesantren, ia perlu untuk selalu menyempurnakan kurikulum, memperbaiki ruang kelas, dan seterusnya yang akan membuat santri dan jamaah lebih terlayani dengan baik. Apakah tradisi salam tempel akan berganti menjadi salam transfer, biarlah tetap menjadi rahasia-Nya.

Ihya Berjalan

Lalu muncul pertanyaan, jika masyarakat pesantren sudah bisa menjalani kehidupan new normal melalui dunia maya, apakah akan melahirkan calon kiai dan nyai? Masih perlu waktu untuk membuktikan hal ini. Namun setidaknya, para jamaah online yang pernah mesantren, dengan metode Kiai kita, tergugah kembali memorinya. Sebagian ada yang terdorong untuk menyentuh kembali kitab-kitab kuning yang lama ditinggalkannya. Sebagian lagi terinspirasi untuk mengikuti jejaknya, membuka kajian kitab online. Sebagian kembali ingin jadi santri dengan menyimak secara tekun, membuat catatan, sambil tak lupa melempar tanda jempol dan love, atau berkomentar, saling sapa antar sesama pemirsa.

Pandemi covid-19 pada awal 2020, ikut mempercepat proses kristalisasi pesantren online ini. Ramadan 1441 H boleh dibilang istimewa, seolah lailatul qodar sepanjang 30 malam. Kemeriahan puasa yang dibatasi oleh pandemi, berpindah lokasi ke kanal-kanal media sosial. Survei terbaru Alvara Institute membuktikan hal ini. Begitu banyak pilihan tersaji, ragam kitab dan model pengampunya. Terjadi suatu “uji pasar” yang sangat terbuka dan fair. Nah, jika hal ini kemudian direspons oleh pesantren-pesantren dengan membuka kelas online secara permanen, kelahiran calon-calon kiai dan nyai itu, menjadi harapan yang dekat.

Lalu, apakah dari sana juga akan lahir para wali? Mereka yang akan bertegur sapa dengan “Sang Khidir” secara online pula. Bagi saya yang awam, salah satu ciri kewalian adalah ulama yang terkenal luas karena suatu amalannya yang luar biasa yang tidak bisa dilakoni sembarangan orang. Kiai kita sudah melampaui hal itu, ia terkenal dan istiqomah pula ngaji online yang tidak bisa dilakoni setiap kiai.

Saya termasuk orang yang ingin menyebut Kiai kita sebagai “Ihya Berjalan”, baik secara harfiyah maupun maknawi. Sejumlah kiai di lingkungan NU, ada yang mendapatkan gelar itu. Di Jawa Barat misalnya, yang  mendapat julukan tersebut antara lain, Ajengan Ilyas Ruhiat Cipasung. Kesantunannya dikenal secara luas dan kisah bahwa beliau tidak pernah marah selama hidupnya, menambah bobot julukan tersebut.

Baca juga:  Gus Dur, Tentara Tuhan, dan Rentenir Agama

Secara harfiyah, Kiai kita memang Ihya Berjalan, atau lebih tepatnya berjalan-jalan membawa Ihya dari kota ke kota, dari pesantren ke pesantren, dari pengajian ke pengajian, hingga ke luar negeri. Secara maknawi, nah, di sini problemnya. Publik medsos yang serba menuntut itu, khususnya dari kalangan santri, mengharapkan Kiai kita itumenjadi personifikasi al-Ghazali. Persis di titik inilah yang menjadi  bagian “ketemu beberapa perkara” di antara netizen. Pro dan kontra.

Secara personal, Kiai kita dikenal sebagai sosok yang santun. Dan ini masyhur. Bahwa ia dikritik, dikecam, sampai diancam halal darahnya, tak mendorongnya untuk melakukan hal yang sama. Publik dengan mudah mendengar kritikan atasnya, tetapi akan sulit mendengar atau membaca ia mengecam atau menjelek-jelekkan pribadi seseorang. Yang digunjingkan publik medsos adalah status dan cuitannya di luar soal Ihya, tapi secara spontan lalu dirujuk ke Ihya atau materi-materi yang dikupasnya. Kok komennya begitu, ya? Kok statusnya agak norak, ya?Netizen memang selalu ingin tokoh idolanya ideal dan tanpa cacat.

Saya termasuk yang berharap agar Kiai kita uzlah dari medsos, agar  yang tersaji di hadapan umat hanya ngaji onlinenya saja. Publik cukup dihidangkan cerita-cerita renyah Mbak Admin behind the scenes, seperti Siti Aisyah yang banyak meriwayatkan keseharian Nabi Muhammad. Ini penting saya utarakan, agar Kiai kita menyimpan dimensi kemisteriusan yang lazim pada sosok seorang wali. Misalnya, cukup menulis status atau mencuit seminggu sekali, yang isinya refleksi atau fatwa ruhani. Daya viralnya akan luar biasa, karena publik akan dibuat menunggu dan menanti-nanti.

Soalnya, kemisteriusan itu seolah melekat dalam cerita-cerita kewalian. Kiai kita bisa “memainkan” ini, misalnya tidak terburu-buru dalam membalas chat.  Biarkan publik menduga-duga dan berkembang cerita, bahwa Kiai kita itu hanya akan segera menjawab jika yang berkirim pesan adalah RI 1 atau Ketua Umum PBNU. Jadi, kalau ada santri biasa-biasa saja mendapatkan balasan chat, itu akan terasa sebagai sebuah anugerah.

Walhasil, suatu ketika, pasti akan ada santri kepo yang bertanya kepada Kiai kita. “Kiai, panjengan itu tarekatnya apa?” Pada saat itulah saya percaya ia akan menjawab, “Tarekatku adalah ngaji online.” Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top