Dalam perjalanan memperbaiki diri, kita sering kali mencari orang-orang yang kehidupannya menginspirasi, baik dalam sikapnya, tutur katanya, karyanya atau bahkan kegigihannya dalam berjuang mengarungi kehidupan.
Duo Fatimah yang hidup sangat dekat dengan Rasulullah ialah di antara perempuan yang hidupnya layak untuk kita jadikan tauladan. Keduanya diceritakan secara singkat dalam buku “Great Woman of Islam” karangan Mahmood Ahmad Ghadanfar.
Fatimah yang pertama tentu tak asing di telinga kita. Dialah Fatimah az-Zahra, putri kandung Rasulullah. Fatimah az-Zahra dilahirkan beberapa tahun sebelum Muhammad diangkat menjadi Nabi. Sebagai anak terakhir, dia lahir dari rahim perempuan yang mulia, Khadijah al-Kubro.
Meskipun banyak bayi yang disusukan kepada perempuan lain sebagaimana adat di sana, namun Khadijah memilih untuk menyusui dan membesarkan Fatimah sendiri.
Khadijah mulai membuka hal baru bagi perempuan untuk mendidik anaknya sendiri sedari lahir. Sebagaimana bayi memiliki sifat seperti sifat orang menyusuinya, maka Fatimah az-Zahra pun mewarisi sifat-sifat mulia yang dimiliki oleh Khadijah.
Sebagai putri Sang Nabi yang merupakan kepala negara, Fatimah az-Zahra tidak lantas hidup bersenang-senang. Sehari-hari, dia harus menggiling gandum, mengangkat air dan memasak untuk kebutuhan keluarganya. Suatu hari, Ali bin Abi Thalib, suaminya, melihat Fatimah sangat kelelahan. Dia berkata kepada Fatimah untuk meminta budak hasil perang kepada ayahnya agar dapat membantunya mengurus dapur. Fatimah pun meminta kepada ayahnya hal tersebut.
Namun, Rasulullah mengatakan kepadanya bahwa beliau akan memberi Fatimah sesuatu yang jauh lebih berharga dari apa yang dipintanya. Kemudian Rasulullah memberikan Fatimah wirid untuk dibaca masing-masing sebanyak 33 kali, yakni SubhanAllah, Alhamdulillah, dan Allahu Akbar.
Hal ini menunjukkan bagaimana Rasul mendidik Fatimah untuk tidak menjadi anak manja. Rasul bahkan menggemblengnya agar menjadi perempuan tangguh dan pekerja keras.
Berkat didikan Rasul tersebut, Fatimah menjadi perempuan yang luar biasa. Dalam setiap peperangan, dia berada di garda depan untuk mengobati para prajurit yang terluka ataupun meninggal. Fatimah tidak gentar meski nyawanya terancam di tengah-tengah medan perang.
Keberanian Fatimah juga dia tunjukkan di momen lain. Saat dia mendengar bahwa Rasulullah yang sedang salat di dekat Kakbah punggungnya ditumpuki kotoran hewan oleh Abu Jahal dan rekan-rekannya, Fatimah langsung terburu-buru mendatangi Rasul dan mengangkat kotoran-kotoran tersebut. Dia lantas dengan berani memarahi Abu Jahal dan rekan-rekannya.
Pada momen lain, Fatimah tiba-tiba ditampar oleh Abu Jahal saat berpapasan di jalan tanpa sebab. Melihat hal tersebut, Fatimah tidak lantas diam, namun dia melaporkan apa yang dilakukan oleh Abu Jahal kepada Abu Sufyan, pemimpin suku Quraisy. Abu Sufyan lalu mengajak Fatimah untuk mendatangi Abu Jahal dan mempersilakan Fatimah untuk menampar Abu Jahal seperti cara Abu Jahal menamparnya.
Setelah kejadian tersebut Fatimah bercerita kepada Rasulullah. Rasul pun salut kepada Abu Sufyan yang telah memberi keputusan yang adil. Rasul mendoakan agar suatu hari Abu Sufyan dapat memeluk Islam. Doa Rasul tersebut pun dikabulkan.
Fatimah Az-Zahra, putri Sang Rasul tersebut telah memberikan contoh kepada kita untuk berani melawan. Jika kita pernah membaca buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, kita akan mengingat kalimat yang diucapkan oleh tokoh bernama Nyai Ontosoroh:
“Melawanlah, dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya”.
Sosok Fatimah kedua yang juga menginspirasi ialah Fatimah binti Asad. Dia adalah istri Abu Thalib, paman Rasulullah. Setelah ibu Rasul meninggal saat Rasul berusia empat tahun, Rasulullah pun diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Saat Rasul berusia enam tahun, kakeknya meninggal dunia. Rasu pun diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Saat itulah Rasul berada dalam pengasuhan Fatimah binti Asad.
Dalam mengasuh Rasul, Fatimah binti Asad telah menganggap Rasul seperti anaknya sendiri. Fatimah binti Asad bahkan memberikan makan dan baju lebih baik dari apa yang dipakainya sendiri. Setiap makan bersama Rasul, makanan yang dihidangkan rasanya tidak cepat habis dan selalu cukup untuk sekeluarga.
Saat Muhammad diangkat menjadi Rasul, ibunda dari Ali bin Abi Thalib ini pun turut serta memeluk Islam. Dia juga turut mengalami masa pemboikotan yang berlangsung selama tiga tahun dengan penuh perjuangan, di mana banyak teriakan anak kelaparan dan orang kesakitan di sana.
Keduanya, baik Fatimah az-Zahrah dan Fatimah binti Asad merupakan perempuan yang sangat Rasulullah cintai. Ketika Rasul mengatakan ajalnya sudah dekat, Fatimah az-Zahra berlinangan air mata. Rasul pun menambahkan, bahwa orang pertama yang akan Rasul temui di hari akhir ialah Fatimah az-Zahra. Seketika itu Fatimah tersenyum bahagia.
Cinta Rasul terhadap Fatimah binti Asad, ibu yang merawatnya pun sangat besar. Saat Fatimah binti Asad meninggal, Rasullah yang meletakkannya hingga ke liang lahat.
Rasul pun berdoa di sebelah jenazahnya, “Wahai ibu yang kusayangi, semoga Allah menjagamu. Engkau sering kali lapar untuk dapat memberiku makan dengan baik.
Engkau memberi ku makan dan baju yang bagus yang engkau menolak untuk memberikannya kepada diri mu sendiri. Allah pasti sangat mencintai apa yang engkau lakukan. Niat mu pasti ditujukan untuk mendapatkan keridhaan Allah dan menyenangkan Allah. Engkau pasti bahagia di hari akhir”.