2024 bukan saja tahun politik, tapi juga tahun sepakbola. Banyak turnamen digelar. Ada Piala Asia, Copa America, Piala Eropa, hingga Piala AFF. Di tahun ini kita akan melihat lagi sepak terjang Timnas Indonesia di Piala Asia, yang akan diselenggarakan di Qatar pada 12 Januari – 10 Februari 2024.
Terakhir kali Timnas Indonesia bertanding di Piala Asia adalah pada edisi 2007. Kala itu, tim yang dilatih Ivan Kolev kandas di penyisihan grup. Artinya, sudah 16 tahun kita absen di turnamen level atas sepakbola Asia. Jadi, kesuksesan skuad Garuda asuhan coach Shin Tae Yong melaju ke Piala Asia 2023 yang digelar di Qatar, harus kita apresiasi sekaligus kita rayakan.
Di Piala Asia 2023 yang diadakan di tahun 2024 ini, Timnas Indonesia satu kelompok bareng Jepang, Irak, dan Vietnam di grup D. Tim-tim tangguh semua. Hanya Vietnam di atas kertas yang bisa kita imbangi, bahkan bisa kita tumbangkan. Sedangkan, Irak dan Jepang, tak kalah telak dari mereka saja sudah cukup baik. Timnas Jepang, tahun kemarin, mencatat statistik mengerikan: menang delapan kali beruntun. Sementara, Irak, pernah melibas Indonesia di kualifikasi Piala Dunia 2026 dengan skor 5-1, November 2023.
Timnas Indonesia tak perlu berkecil hati. Meski musuh-musuhnya menakutkan, skuad arahan Shin Tae Yong tetap harus percaya diri. Secara kualitas permainan, pengalaman, dan kedalaman skuad yang dimiliki, kita memang masih di bawah Jepang dan Irak, tapi dalam sepakbola apapun bisa terjadi. Kita perlu melihat ke masa lalu. Ketika Jepang yang tak diunggulkan tampil gagah perkasa di Piala Dunia 2022 dengan tim sekaliber Spanyol dan Jerman dibabat habis. Atau kita bisa bercermin kepada Timnas Yunani, tim kecil yang mampu menggebrak dunia: menjadi kampiun Piala Eropa 2004.
Ada banyak kisah mengejutkan bin ajaib di dunia sepakbola. Kalau saya tulis satu per satu disini, tidaklah cukup. Dua contoh diatas, gemilangnya timnas Jepang di Piala Dunia 2022 dan moncernya timnas Yunani di Piala Eropa 2004, telah mematahkan prediksi banyak pihak. Pengamat-pengamat sepakbola dibuat tak berdaya. Komentator tv dibuat tak bernyali. Timnas Indonesia juga berpotensi bisa bikin kejutan di Piala Asia nanti. Apalagi, di tubuh timnas Indonesia saat banyak pemain diaspora yang menghiasi. Jam terbang mereka main di kompetisi eropa, tentu ini akan sangat menguntungkan bagi timnas Indonesia.
Saya tak ingin berekspektasi lebih, tapi secara realistis, kita bisa lolos dari lubang jarum menuju ke babak 16 besar. Kans itu cukup terbuka lebar. Jepang mungkin akan sangat sulit dikendalikan. Tapi, kita bisa ambill poin dari Irak dan Vietnam. Mencuri tiga poin atas Vietnam saya kira menjadi harga mati kalau ingin lolos fase grup. Lalu lawan Irak, menahan seri negara yang pernah dipimpin Saddam Husein juga bukan hal mustahil. Berbekal perolehan total empat poin, misalnya, Indonesia berpeluang menjadi runner up grup atau minimal lolos sebagai salah satu tim peringkat 3 terbaik. Itu bisa kita upayakan.
Kelolosan timnas Indonesia ke babak gugur Piala Asia tentu akan menjadi sejarah tersendiri, mengingat dalam empat kali tampil di Piala Asia sebelumnya (1996, 2000, 2004, 2007) prestasi kita hanya mentok di fase grup. Tentu, harapan kita semua tahun ini Asnawi Mangkualam dkk bisa menunjukkan atraksi terbaiknya, membikin lawan tak berdaya, lalu mengepakkan sayap garuda setinggi-tingginya di kancah Asia.
Saya yakin, jika timnas Indonesia mampu berbicara banyak di Piala Asia 2023, semua pihak akan menyoroti kiprah mereka. Bagi mereka, sepakbola ini seksi. Apalagi ini di tahun politik, sepakbola akan semakin terlihat seksi. Jika Pratama Arhan dan kolega benar-benar bisa berprestasi, setidaknya mencapai fase 16 besar, banyak pihak khususnya para politisi yang akan berduyun-duyun memberikan ucapan selamat dan sukses melalui pamflet-pamflet digital maupun spanduk besar yang dipampang di pinggir-pinggir jalan.
Momen Piala Asia yang berdekatan dengan perhelatan Pemilu 2024 akan dimanfaatkan oleh banyak politisi dengan tujuan mendulang perolehan suara mereka. Sepakbola, wabil khusus timnas Indonesia yang menuai prestasi, akan dijadikan kendaraan politik oleh mayoritas politisi, hal ini demi mendompleng popularitas semata, dengan harapan mereka akan mendapat suara banyak di pemilu nanti.
Strategi politisi seperti itu berulang kali telah dilakukan. Misalnya, ketika timnas Indonesia merengkuh medali emas sea games 2023. Atau saat pasangan ganda putri Greysia Polii/Apriyani Rahayu menyabet medali emas Olimpiade Tokyo 2020. Banyak politisi yang kala itu pajang wajahnya di poster ucapan selamat kepada atlet Indonesia. Bahkan yang lebih bikin miris, ada yang tampilan politisi atau tokoh tersebut ditampilkan cenderung dominan dan lebih besar proporsinya dibanding dengan foto atletnya. Ketika foto para politisi terpampang lebih superior dalam poster-poster ucapan selamat tersebut, itu artinya mereka sedang pencitraan. Bahasa lainnya, mereka sedang menunggangi atau mengkapitalisasi kemenangan para atlet.
Beberapa pengamat politik menyebut fenomena ini lumrah apalagi menjelang Pemilu. Momentum itu diambil oleh para politisi untuk beriklan, berkampanye, dan melakukan sosialisasi untuk kepentingan politisi. Mengingat para politisi ini tak punya prestasi, sehingga yang bisa mereka lakukan hanyalah menjual prestasinya orang lain, dalam hal ini prestasi atlet di kancah global.
Terkait fenomena tersebut, ternyata masyarakat kita jengah dengan aksi para politisi tersebut. Hiruk pikuk ini bisa kita saksikan di media sosial, utamanya saat momen atlet kita berprestasi dan menjadi perbincangan publik. Perilaku tersebut, meski sah-sah saja dilakukan, tetapi dianggap tidak etis. Memalukan. Bahkan dinilai menjijikan. Para politisi dinilai hanya numpang tenar, padahal tidak ada sumbangsih atau peran politisi tersebut kepada si atlet.
Para politisi, utamanya mereka yang nyaleg-nyaleg itu, kalau bisa jangan sekadar numpang popularitas atas kejayaan atlet. Mereka seharusnya juga harus memikirkan lebih lanjut karir si atlet. Para politisi, ketika terpilih kelak, perlu ikut andil mensejahterakan para atlet, khususnya yang berprestasi baik di tingkat nasional maupun global. Para politisi perlu menyadari bahwa tidak semua atlet, kelak, ketika mereka pensiun, mendapatkan perhatian setinggi langit dari negara.
Faktanya memang begitu, ada banyak atlet yang mengharumkan nama negara tapi hidup sulit di hari tuanya. Bisa cek di google. Ini yang seharusnya dilirik oleh para politisi. Jangan cuma menjadikan atlet sebagai alat pengeruk popularitas, tapi bagaimana kontribusi yang lebih luas dari politisi untuk para atlet ini diharapkan. Saya kira, memberikan hadiah yang manusiawi kepada atlet berprestasi, misalnya, jauh lebih terlihat maslahat, daripada hanya mejeng numpang viral atas kesuksesan si atlet.
Intinya, para politisi pada dasarnya memang tidak lepas dari isu dan momentum. Kalau ada isu yang bagus pasti mereka akan berselancar main di situ. Termasuk juga momentum. Jika ada momentum apapun yang sifatnya nasional dan menjadi perhatian publik, pasti mereka mendompleng ikut serta. Bahkan, bukan saja momentum kejayaan atlet olahraga, para politisi juga gemar menebeng reputasi di saat momen terjadi bencana. Tujuannya tentu saja pansos (panjat sosial). Perbuatan ini kurang etis karena mereka tak memiliki rasa empati disaat banyak orang terkapar akibat bencana, mereka malah mencari sensasi dengan tujuan pribadi. Etikanya di mana ya wahai para politisi?