Purnawan Andra
Penulis Kolom

Pegawai negeri sipil pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Lulusan Seni Tari Institut Seni Indonesia Surakarta

Etika dan Tata Krama: Rasa yang Perlahan Sirna

Debat Presiden

Banyaknya peristiwa yang terjadi belakangan ini mengingatkan bahwa kita sepertinya telah kehilangan rasa. Kekerasan dan kejahatan yang merajalela, kesenjangan sosial yang makin tegas hingga kejahatan krah putih yang makin vulgar, membuktikan bahwa rasa sudah tak ada dalam logika berpikir dan sikap keseharian.

Kenyataan politik, ekonomi, hukum, sosial, pendidikan, dan kultural menunjukkan bagaimana rasa tak menjadi bagian hidup manusia kini. Kita seperti tak memiliki memori kultural dan spiritual yang diasuh oleh kualitas nilai dan hikmah abadi kehidupan. Kualitas nilai konsep rasa itu sirna, tergantikan ekspresi hidup manusia kiwari yang melulu mengacu modernitas.

Yang terjadi di hidup kita saat ini adalah budaya pamer. Kekuasaan dan kekuatan modal dan sosial ditunjukkan dalam berbagai kesempatan, di ruang sidang kebijakan, di pengadilan, di jalanan hingga di ruang maya.

Melalui media sosial, kuasa, harta dan gaya hidup bergelimang harta dipertontonkan secara vulgar dan banal. Tampilan hedonis menjadi pencitraan diri yang menimbulkan pertanyaan, dugaan dan prasangka karena terasa tidak wajar.

Terlebih diantara kenyataan sosial yang makin mencekik di masyarakat, hal ini tentu saja menciderai perasaan. Hilangnya rasa menjadi indikasi terjadinya kerapuhan manusia modern.

Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960) menyebut rasa sebagai konsep keutamaan kehidupan. Salah satunya tentang etiket, sikap positif yang mengatur hubungan antara kelompok manusia yang beradab dalam pergaulan. Rasa seperti sopan santun, tenggang rasa dan kebersamaan adalah sifat dan sikap inti kemanusiaan.

Baca juga:  Sistem Terbaik Bukanlah Sound System

Filsuf Jawa Ki Ageng Suryomentaram juga menjelaskan rasa adalah dasar dari kawruh jiwa (ilmu dan pengalaman hidup) sebagai modal seseorang menjadi manusia yang tak egois, bebal dan mau menang sendiri.

Rasa bukan sekadar perasaan, sensasi batin atau indrawi, tapi adalah makna puncak, nilai tertinggi. Makna rasa pun terejawantahkan dalam keseharian tanpa harus membedakan diri dalam berbagai definisi sosial. Rasa adalah hidup itu sendiri. Maka orang perlu memahami rasa untuk memaknai pengalaman utuh lahir dan batin bersama kehidupan di sekelilingnya.

Namun kenyataannya, konsep kualitas rasa dalam kehidupan ini mulai tergerus. Sikap hidup prasaja, tenggang rasa dan gotong royong, berganti menjadi wajah-wajah jemawa, serakah, garang dan beringas.

Wajah-wajah garang kerap kita temukan di sekitar kita, tidak hanya pada manusia dewasa, tapi juga siswa sekolahan. Ungkapan kemarahan, kata umpatan, juga makian, dengan tangan terkepal dan otot mengeras, disertai aksi dengan pentungan, senjata tajam, hingga senjata api untuk merusak, menghancurkan serta menghakimi orang lain. Bukan sendirian, tapi bersama sebagai sebuah gerombolan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan konsep sikap hidup yang berdasar pada etika dan penerimaan orang lain sebagai sesama.

Kita seperti sudah tak punya urat malu. Hanya ada aku yang ingin ditunjukkan, bahkan hak orang lain juga didaku. Hal ini terbukti dari semakin suburnya praktek korupsi, jual-beli kekuasaan, dan pengabaian hukum. Orang-orang yang punya kekuasaan, yang seharusnya bertugas melayani kepentingan masyarakat, justru tanpa rasa sopan, tak punya malu, menunggangi kekuasaan demi kepentingan diri sendiri dan orang-orang terdekatnya.

Baca juga:  Empat Alasan Mengapa Politik Uang (harus di)Haram(kan)

Keluarga

Munawir Aziz (2012) menyebut konsep “malu“ berpusat pada konteks tradisi keluarga, yang berisi pengajaran moral, tata krama dan harga diri. Pengajaran moral pada lingkup keluarga berfungsi sebagai fundamen dasar mencipta manusia berpikiran cemerlang, namun tetap memegang sikap hidup dan sopan santun.

Tata krama hadir sebagai tradisi yang mengakar sekaligus merasuk dalam pola hidup. Handayani & Novianto (2004) menyebut belajar untuk ngerti isin (tahu malu) kemudian duwe isin (punya malu) adalah langkah pertama ke arah kepribadian yang matang. Isin dan sikap hormat merupakan suatu kesatuan. Orang merasa malu apabila ia tidak dapat menunjukkan sikap hormat yang tepat terhadap orang yang pantas dihormati.

Tapi kini, proses pendidikan keluarga tidak banyak diperhatikan, seiring dengan kemenguatan lembaga pendidikan formal serta sikap hidup praktis orang tua, yang menyerahkan pengajaran anak di play group, dididik dan dibesarkan oleh media sosial. Ini menjadi efek dari logika manusia yang didasarkan pada rasionalitas modern dan tatanan sosial global.

Kualitas konsep falsafah rasa kini berhadapan dengan kehidupan serba pragmatis dan bersumbu pendek. Artinya, sekarang ini sedikit sekali dari kita yang berpandangan dan berpikiran mendalam, sebelum bertindak. Pengambilan keputusan dilakukan serba cepat, namun canggung ala manusia modern dan kerap kaprah. Karena yang diutamakan hanya ke-aku-an dan ke-kami-an, dan bukan kamu atau mereka.

Baca juga:  Menjelajahi Kasepuhan Islam Ciptagelar

Mekanisme hidup dengan mempertimbangkan rasa menjadi nostalgia dan asing dari kehidupan modern. Hal ini terjadi secara sistematis karena perubahan dalam ikatan relasional dalam keluarga, kebijakan politik dan pembangunanisme berorientasi pasar, sistem pendidikan yang amburadul, dan sensasi atas hidup yang kian mekanis-teknologis. Kita kehilangan rasa karena dikehendaki, semata karena dianggap harus diganti oleh modernitas. Rasa lekas tergantikan dengan konsep-konsep yang dicerabut dari akar kultural. Sains dan teknologi modern turut mempromosikan pemujaan nalar dalam lupa rasa (Mawardi, 2010).

Lebih lanjut dikatakan, ambisi kekuasaan, keserakahan atas modal, arogansi sosial, hegemoni teknologi bisa ditanggapi dengan rasa. Penolakan atau penerimaan tak pernah mutlak, tapi diacukan kembali pada rasa sebagai manusia dengan pengalaman kultural. Paul Stange dalam Kejawen Modern (2009) melihat fondasi rasa atau rasa pangrasa, intuisi hidup, ikut menentukan pemuliaan spiritualitas dalam pelbagai aktivitas hidup.

Untuk itu, seturut Mawardi, kita memerlukan model pendidikan humaniora dan pembelajaran kultural yang memuliakan hidup. Rasa tak bisa diajarkan melalui kurikulum pendidikan, instruksi politik, atau indoktrinasi hidup kemodernan. Pendidikan humaniora sejak lama dipraktikkan dalam masyarakat. Rasa ada untuk menyemai kehidupan dan membuat manusia pantas dikatakan sebagai manusia.

Karena jika kita kehilangan rasa dan tak punya malu, maka kita seolah hidup tanpa wajah, dan itu bukan manusia!

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top