Secara resmi pernyataan Nahdlatul Ulama kembali ke Khittah 1926 baru terjadi pada Muktamar 27 NU di PP. Salafiyah Syafiiyah, Situbondo, Jawa Timur pada 1984. Namun, jika ditelisik lebih jauh, gagasan telah muncul jauh sebelum itu. Bahkan, jauh sebelum KH. Achmad Siddiq menggaungkannya pada medio 60-an dalam sejumlah artikelnya.
KH. Wahid Hasyim adalah figur yang lebih awal yang menginginkan hal tersebut. Baginya, keterlibatan NU dalam gerakan politik, telah membuatnya melupakan diri pada persoalan-persoalan jamaah secara langsung.
Hal tersebut diungkapkan oleh Kiai Wahid menjelang Muktamar ke-19 NU di Palembang pada 26-30 April 1952 yang bersejarah. Dimana secara resmi NU memutuskan keluar dari Partai Masyumi dan segera mendirikan partai politik tersendiri. Kiai Wahid sebagaimana diberitakan dalam surat kabar Antara, 18 Maret 1952, mengkhawatirkan NU menjadi partai politik tersendiri.
Sebagaimana dikutip ulang oleh Greg Fealy dalam bukunya “Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967”. Berikut penulis kutip secara utuh:
“Tokoh utama NU yang mengingatkan akan bahaya-bahaya dalam politik ini adalah Wahid Hasyim. Ia telah menyampaikan pandangannya dengan jelas sebelum Muktamar, yaitu ketika ia berbicara dengan kata-kata penyesalan mengenai ‘gelombang politik yang telah menyeret orang NU.’ Ia merujuk pada pertikaian antara NU dan Masyumi sebagai ‘bukti dari dampak yang merusak…yang dialami orang-orang yang terlalu asyik dengan politik’. Ia sangat prihatin akan prospek politik yang mengalihkan NU dari tanggung jawab sosial dan keagamaannya sehingga ‘kepentingan umat tidak dilayani sebagaimana mestinya’.”
Pandangan demikian disampaikan oleh Kiai Wahid tidak hanya di media. Tapi, juga diberbagai forum. Ia menjadikan tema pidatonya berisi seputar potensi kegiatan politik untuk melemahkan bidang-bidang kegiatan Islam lainnya.
Hal tersebut besar kemungkinan digaungkan sejak ia berhenti dari posisi sebagai Menteri Agama pada 1951. Kegagalannya melaksanakan pemberangkatan jamaah haji pada tahun tersebut, bisa jadi menjadi musabab akan munculnya kesadaran demikian. Sejak itu, Kiai Wahid menunjukkan gelagat anti-politik praktis. Kepada Sukiman dari DPP Masyumi, ia mengungkapkan keengganannya untuk dicalonkan lagi sebagai menteri.
Bahkan, menurut KH. Hamid Baidlowi dan KH. Achmad Sjahri sebagaimana saat diwawancara oleh Greg Fealy, Kiai Wahid telah menyatakan kepada anggota-anggota keluarga bahwa ia telah lelah dengan berbagai beban dan tanggung jawab jabatan menteri dan ingin melanjutkan usaha bisnisnya dan minat-minatnya yang bersifat kebudayaan (catatan kaki Nomor 18, Bab III, Ijtihad Politik Ulama).
Keengganan Kiai Wahid dalam dunia politik praktis bahkan terimbas pada proses suksesi kepemimpinan NU yang berlangsung pada Muktamar NU di Palembang. Sebagaimana pada umumnya, Muktamar juga menyusun agenda pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum. Saat itu, meskipun didesak sejumlah kalangan, tak mau untuk mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PBNU. Ia tetap memasrahkannya kepada KH. Masykur.
Kekhawatiran Kiai Wahid atas NU menjadi partai politik juga terungkap setelah keputusan resmi itu diberlakukan. Ketika NU sedang merestrukrisasi organisasi menjadi partai politik. Kiai Wahid, sebagai Ketua Muda PBNU, yang berjibaku nyaris seorang diri untuk mengelola transisi NU. Ia yang menyelia administrasi pusat, memimpin negoisasi dengan Masyumi mengenai pemisahan organisasi, menjadi arsitek Liga Muslimin Indonesia (LMI), sekaligus menjadi pendorong awal pelaksanaan rekruitmen dan pembuatan kebijakan. Ia juga yang menjaga lalu lintas komunikasi dengan partai-partai lainnya.
Dalam situasi demikian, Kiai Wahid pernah curhat pada kawannya, A. Achdori, dari Kudus dalam sebuah surat pribadi tertanggal 6 Agustus 1952:
“Jika saya terpaksa meninggalkan Jakarta…. apakah ada orang yang bersedia ‘menyusui’ NU, yang dalam banyak hal, sedang berbalik jadi bayi lagi walaupun usianya sudah dua puluh delapan tahun? Dan untuk menyusui NU, diperlukan susu penuh vitamin, sementara kebanyakan pemimpin kita sangat enggan memberikan vitamin.”
Kekhawatiran Kiai Wahid saat terlibat secara langsung di dunia politik praktis tersebut, memang tak sempat ia buktikan. Ia terburu menghadap ke Sang Khaliq sesuai menghadari acara NU di Sumedang pada 18 April 1953. Kepulangannya berakhir dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di Cipari dan merenggutnya nyawanya pada keesokan harinya.
Benar memang pada Pemilu 1955, NU sebagai partai politik baru berhasil menunjukkan kapasitas dirinya. NU berhasil keluar sebagai pemenang dalam urutan ketiga. NU berhasil memperoleh suara nyaris 7 juta atau 18,4 persen. Hanya terpaut 2,5 persen saja dengan Masyumi yang berada di peringkat kedua dan berjarak 3,9 persen dengan PNI yang di posisi teratas.
Akan tetapi, tak bisa dipungkiri, jika kondisi NU kala menjadi partai politik itu tidak baik-baik saja. Pertikaian antar elite NU terjadi nyaris di berbagai tingkatan. Tidak hanya di level pusat, namun hingga ke level wilayah hingga cabang. Ada beragam latar belakang konflik internal itu terjadi. Termasuk di antaranya adalah proses pembagian jabatan yang tidak tuntas dibahas di dalam tubuh partai.
Hal tersebut terindikasi pada hasil Pemilihan Umum Daerah pada media 1957-1958. Saat itu, suara NU turun signifikan dibanding Pemilu 1955. Bahkan, di beberapa tempat perolehan suaranya disalip cukup signifikan oleh PKI.
Di Jawa Timur, misalnya, yang merupakan kantong suara NU. Pada Pemilu 1955, NU mendapat 3.370.554 suara. Sedangkan pada Pemilu Daerah yang diselenggarakan Juli 1957, suara NU menyusut menjadi 2.999.785. Bandingkan dengan suara PKI yang mendapatkan penambahan 404.921 atau setara 17,6 persen dibanding Pemilu sebelumnya.
Lajnah Pemilihan Umum Nahdlatul Ulama (LAPUNU) Jawa Timur dalam “Laporan Tentang Situasi Pemilihan DPRD di Djatim”, menengarai beberapa faktor yang membuat perolehan suara NU di Jatim menurun pada Pemilu Daerah tersebut. Pada poin ketiga, laporan yang tersimpan di Arsip Nasional RI itu, menulis demikian:
“Pada saat2 mendekatnja Pemilihan D.P.R.D. di Djawa Timur terdjadi di beberapa Tjabang N.U. hebboh antara kawan separtai, bahkan akibat daripada pembagian tugas di dalam D.P.R.D P2 menjebabkan terdjadinja keretakan2 di dalam tubuh partai ke dalam, sehingga akibatnja ada sementara pimpinan jg berpengaruh di Tjabang2 karena tidak mendapatkan pembagian tugas tersebut menjadi passif atau mengadakan reaksi.”
Apa yang dilaporkan oleh Lapunu Jatim di atas, salah satunya terjadi di Banyuwangi. Akibat hal-hal yang tak tuntas dalam penempatan posisi, membuat di internalnya ibarat bara dalam sekam. Tinggal menunggu waktu untuk benar-benar berkobar. Sebagaimana yang akan diungkapkan oleh penulis pada buku berjudul “NU dan Politik Lokal: Dinamika NU pada Pilkada Banyuwangi 1964” yang sedang dalam proses penyuntingan. Semoga bisa terbit setelah Ramadan ini.
Waba’du, benar kiranya kekhawatiran Kiai Wahid Hasyim di atas. Meskipun juga tak sepenuhnya luput keputusan Muktamar NU di Palembang kala itu untuk menjadi partai politik tersendiri. Semua ada masa dan konteksnya masing-masing. Atas pemahaman inilah, maka tak heran jika santri kinasih Kiai Wahid, KH. Achmad Siddiq lantas memperjuangkan gagasan untuk NU kembali ke Khittah 1926. Lantas bertemu dengan KH. Abdurrahman Wahid, putra pertama Kiai Wahid, untuk memperjuangkan gagasan tersebut. Sebagaimana diketahui kita semua, NU benar-benar kembali ke Khittah 1926 di saat Muktamar NU yang mengamanatkan kedua tokoh tersebut memuncaki kepemimpinan NU sebagai Rais Aam dan Ketua Umum PBNU. Wallahua’lam.