Sedang Membaca
Rumah Tahfidz dan Kelangsungan Sakralitas Alquran
Muhammad Aswar
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mukim di Yogyakarta.

Rumah Tahfidz dan Kelangsungan Sakralitas Alquran

Belum kita temui studi mendalam sejak kapan rumah-rumah tahfidz mulai berdiri di Indonesia. Selain bahwa pondok-pondok kecil yang disulap dari berbagai bangunan sederhana—kos-kosan, rumah kontrakan, rumah pribadi—kini tumbuh dengan berbagai macam model hampir di seluruh kota-kota besar, seiring dengan tumbuhnya kaum muslim urban.

Pondok-pondok itu menamatkan bermacam penghapal dari latar keluarga dan pendidikan. Tidak seperti pesantren klasik pada umumnya yang mengharuskan santrinya untuk terlebih dahulu mempelajari ilmu alat, bahasa Arab atau ilmu-ilmu terkait pendalaman pemahaman Alquran, pondok-pondok model baru ini menerima santri dari berlatar keluarga dan pendidikan yang hampir kesemuanya tidak mengenal bahasa Arab.

Tua-muda bisa menghapal Alquran, bahkan dalam rentang waktu yang tidak pernah kita duga bisa tercapai. Salah satu rumah tahfidz di Bogor misalnya, mampu menamatkan seseorang yang sebelumnya tidak mengerti hukum tajwid dalam jangka waktu tiga bulan beserta tajwid dan kelancarannya. Rumah-rumah tahfidz lain pada umumnya menargetkan satu tahun masa tempuh tiga puluh juz beserta tajwid dan lancar.

Para santri diberikan waktu lebih banyak untuk menghapal, umumnya tiga belas jam per hari, dalam satu kelompok yang didampingi oleh satu guru setiap kelompoknya. Dengan waktu yang relatif banyak itu, mereka bisa menyelesaikan hafalan sampai setengah juz per hari.

Baca juga:  Perempuan dan Tajalli Tuhan

Kita tak mungkin menanyakan pemahaman Alquran, sebab bagi mereka membaca terjemahan sudah cukup memadai. Dan tentu mereka lebih menekankan pada janji-janji agama kepada para penghapal, bukan bagaimana Alquran hendak ditempatkan dalam keseharian.

Akan banyak sekali kekurangan yang bisa diperdebatkan dengan hadirnya rumah-rumah tahfidz. Namun yang jelas pondok-pondok model baru ini akan terus berkembang dengan pendanaan yang bermacam-macam. Justru di berbagai pondok klasik mulai membuka diri untuk menggunakan sistem rumah tahfidz agar mampu mengambil kalangan Muslim urban yang sebelumnya tidak pernah belajar ilmu alat dan Bahasa Arab.

Permasalahan utamanya, bagi saya, adalah tentang apa yang bisa kita sebut sebagai sakralitas Alquran, sesuatu yang sejatinya harus dijaga oleh para penghapal. Nasr Hamid Abu Zayd suatu kali menyinggung hal ini, bahwa peradaban Islam didasarkan pada taqdis al-nas sebagai representasi dari agama yang diajarkan lewat teks. 

Dalam peradaban Islam, bahkan fisik teks Alquran begitu diagungkan, entah sebagai rajah, pengobatan atau kegunaan lainnya. Begitu pula dengan penekanan bahwa seorang penghapal adalah seorang yang ‘membawa’ Alquran di dalam tubuhnya, sehingga ia patut dihormati layaknya mushaf Alquran.

Bagi santri rumah tahfidz, fungsi taqdis tersebut semakin mengalami kemunduran (bisa jadi pendangkalan). Jangankan bagaimana fisik Alquran dipergunakan, bahkan bagaimana suatu mushaf dipergauli juga tengah mengalami pendangkalan. Tak ada lagi sekat-sekat fiqih misalnya yang tidak memperbolehkan seseorang yang berhadas untuk tidak menyentuh mushaf, ataukah tentang adab membaca mushaf tidak sambil berbaring.

Baca juga:  Kota Islam yang Terlupakan (5): Sebelum Dijajah Prancis, Timbuktu-Mali adalah Pusat Perbukuan

Di satu sisi kita bergembira dengan semakin dimudahkannya orang-orang awam untuk menghapal Alquran. Namun di sisi lain, sakralitas yang semakin melemah itu patut untuk dikhawatirkan.

Definisi penghapal Alquran semakin mengerucut hanya pada proses memasukkan teks ke dalam otak, bukan lagi memaknai dan menjiwainya. Alquran dihapal tidak lagi sebagai kitab suci, tetapi tidak ada bedanya dengan menghapal diktat-diktat pelajaran sekolah.

Dalam hal ini, tentu kita tidak bisa menghentikan laju zaman yang memang menghendaki kaum urban untuk lebih dekat pada Alquran, menghilangkat batas-batas yang sebelumnya hanya bisa dipergunakan oleh kalangan pesantren dengan keketatatan ilmu alat dan pendalaman.

Namun kita tidak bisa menutup mata untuk ikut serta dalam mengembalikan Alquran pada sakralitasnya, mengembalikan penghapal pada posisinya semula. (aa)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Ada yg hafidz artinya otentisitas tulisan alquran terjaga sampai akhir zaman….. memang kalau kembali ke jaman kejayaan Islam maka alquran dibumikan….shg lahirlah ilmu2 pengetahuan dari Islam. Btw …
    Biarkanlah yg ambil posisi sbg penghafal..
    Dia punya porsi tersendiri dlm Islam….

Komentari

Scroll To Top