Ketika ada anggapan bahwa orang kepercayaan, atau yang dulu pernah pula disebut sebagai kaum kebatinan, berbeda atau bahkan bertentangan dengan agama, maka tengoklah Paguyuban Sumarah yang merupakan salah satu aliran di dalamnya. Sebenarnya, dalam tradisi dan sejarah agama sendiri, ketika orang paham akan agamanya, terdapat pula kecenderungan kalangan yang juga mengutamakan sisi kebatinan dari suatu agama.
Sebagaimana dalam tradisi agama Islam, kalangan semacam ini dikenal sebagai kalangan sufi atau para pelaku ilmu tasawuf. Jadi, ketika ada sebagian orang beragama yang asing, atau bahkan anti terhadap tradisi kebatinan, maka dapat dipastikan bahwa ia adalah seorang yang baru secuil dalam mempelajari suatu agama. Atau kalau tidak, hanyalah para bocah yang masih butuh waktu untuk mengenalnya.
Dalam perspektif saya, polemik dan perdebatan tentang kecenderungan beragama, baik secara batiniah (kebatinan) maupun lahiriah, yang jelas pernah menghiasi sejarah atau perjalanan suatu agama, akan dapat terpilah dan lebih berjalan secara produktif ketika orang memilah tentang pengertian antara spiritualitas dan religiusitas.
Taruhlah kecenderungan orang untuk membandingkan suatu agama, katakanlah Islam (religiusitas), dengan aliran kepercayaan (spiritualitas). Ibarat membandingkan perilaku hati yang tak terbatas dengan perilaku jasmani yang terbatas, terang pendekatan semacam ini tak akan pernah terbandingkan. Kalau pun ingin membandingkan, semestinya perbandingannya, katakanlah, adalah antara Islam dengan Kristen, Buddha, dst. Sebab, misalnya, ketika orang membandingkan Islam dengan aliran kebatinan, bisa-bisa segala resiko perbandingan itu akan kembali pada agama Islam sendiri, yakni tradisi spiritualitas Islam atau tasawuf yang konon juga menjadi bagian dari agama Islam sendiri.
Dengan demikian, ketika polemik atau perdebatan memang tak bisa dihindari, maka perbandingan yang semestinya dilakukan adalah perbandingan antara sesama tradisi spiritualitas. Ketika seorang muslim ingin berhadapan dengan seorang penganut kebatinan misalnya, maka sudah semestinya ia berangkat dari dan dengan kerangka spiritualitas Islam, yakni tasawuf atau tarekat.
Tradisi lebaran yang konon hanya ada di Nusantara adalah sepotong waktu yang dapat menaikkan atau mendewasakan pemahaman orang akan sisi spiritualitas atau batiniah dari suatu agama.
Seusai tilik leluhur atau ziarah kubur pada bulan Ruwah, berjihad dengan diri sendiri di bulan Ramadan dengan mengkhususkan pada sepuluh hari terakhirnya, sampai kemudian digaungkan kembali menjadi suci di hari Idulfitri, pada dasarnya orang tengah dikenalkan pada tradisi bertarekat, bertasawuf praktis, atau berkebatinan. Dan ketika laku-laku itu semua dipandang berhasil, maka dimungkinkan bertemulah kecenderungan-kecenderungan dalam beragama yang sebelumnya seolah-olah berbeda dan bahkan bertentangan.
Dalam tradisi Sumarah, lebaran yang identik dengan nilai-nilai silaturahmi itu adalah termasuk “Sesanggeman” atau kesanggupan para pengikutnya untuk “Manunggilaken tekad dhateng pasadherekan, adedhasar tumaneming raos tresna-sih.” Setelah orang-orang Sumarah menyanggupkan diri bahwa Allah itu adalah esa dan para rasul serta kitab sucinya itu ada, maka kerukunan dan keutuhan sosial, lewat penyinggungan tekad, adalah satu hal yang mesti diikhtiarkan. Dan bukankah hal itu pula yang menjadi pesan dari agama yang mengejawantah lewat tradisi penyelarasan diri di bulan Ramadan dan kemudian lebaran?