“Dia memiliki kesaktian sebagai seorang jagau. Bisa terbang dari satu daun ke daun lain, kebal ditembak peluru, tidak mati di atas air, dan mempan ditebas mandau, selain itu dia juga bisa menghilang dan menyamar sewaktu-waktu”.
Pembaca yang budiman, begitulah contoh cerita yang saya dengar langsung dari tradisi lisan (memori kolektif) masyarakat di Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, saat melakukan penelitian ihwal sosok Ibnu Hadjar, seorang pejuang ALRI Divisi IV Kalimantan, pada 2013.
Ibnu Hadjar dan pengikutnya pada 1950 melakukan pembelotan (deserse) karena menganggap Pemerintah Republik melakukan pengkhianatan dan penindasan terhadap para gerilyawan lokal. Hingga kini, sesaktian Ibnu Hadjar menjadi semacam legenda di sebagian kalangan masyarakat Kalsel, karena sejak dia ditangkap pada September 1963 dan diadili dalam sebuah pengadilan militer khusus dan dijatuhi hukuman mati, jasad Ibnu Hadjar tidak diketahui secara pasti keberadaannya.
Anda bisa membayangkan betapa pusingnya saya sebagai seorang peneliti, menerima fakta sosial bahwa sampai sekarang masih ada orang yang percaya, Ibnu Hadjar masih hidup!
Mereka meyakini Ibnu Hadjar tidak mati, hanya sekadar wapat saja. Ada yang pernah melihat sosoknya di masjid kampung untuk sembahyang berjamaah, ada yang bertutur pernah melihat Ibnu Hadjar menaiki kuda, atau berjalan kaki sambil melewati sebuah warung (kedai) kopi di desa, ada yang pernah mengaku bertemunya di Tanah Suci saat naik haji, dan sebagainya.
Tentu saja saya meragukan cerita-cerita itu, karena tak menyaksikan sendiri pengalaman-pengalaman mereka. Menggelikan sekaligus membingungkan bukan? Percaya ataupun tidak, namun itulah sebagian hasil temuan saya di lapangan. Hatta, untuk menjawab fenomena sosial ini, ada baiknya kita meneroka bagaimana masyarakat Banjar melukiskan dirinya dan keyakinan yang mereka anut, terutama perkara dunia gaib.
Alam Gaib
Syahdan, pada zaman dahulu, orang Banjar hidup sebagai bagian dari bubuhan, suatu kelompok kekerabatan ambilinial, yang merupakan unit pemerintahan yang terendah padan zaman sebelum pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Kekuasaan kepala bubuhan bersifat kharismatik, dalam arti sebenarnya ia ditopang oleh kekuatan gaib, yang diperoleh atau diwarisi dari leluhurnya. Pelbagai keterampilan (seniman, bidan, tabib, dan ulama) atau jabatan dalam masyarakat dianggap juga demikian.
Hingga saat ini, seseorang yang menduduki jabatan tertentu (pembekal, kadi) atau berbakat seni (wayang, menari topeng, madihin) atau alim tampak seperti dianggap telah mewarisinya dari keturunannya yang menduduki jabatan itu, menjadi bidan atau tabib, menjadi dalang atau seniman lain, atau alim dalam generasi terdahulu, dan dengan demikian ia dapat dianggap tutus tokoh bubuhan-nya tersebut. Seseorang yang tutus dianggap telah menerima “warisan” (ilmu rahasia, kepandaian mendukun, keterampilan mendalang atau menari) langsung dari tokoh nenek moyangnya.
Berbagai tokoh cikal bakal raja-raja Banjar pada zaman Hindu, juga beberapa sultan zaman Islam, dianggap tidak mati melainkan hanya wapat, yakni menjelma menjadi orang gaib dan sampai sekarang masih hidup di dalam dunia gaib.
Beberapa kelompok bubuhan percaya bahwa pasangan nenek moyangnya dahulu telah menjelma menjadi naga dan sampai sekarang masih hidup sebagai makhluk bawah air. Baik nenek moyang yang gaib maupun naga jelmaan mereka dianggap tetap memerhatikan anak cucu keturunannya dan dapat menghukum anak cucunya itu bila lalai memerhatikan adat bubuhan.
Dalam konteks inilah, kita dapat menyigi mengapa sampai era kiwari Ibnu Hadjar dianggap oleh sebagian pengikutnya belum mati. Dia dilukiskan sebagai seorang pemimpin tradisional (“raja kerajaan Islam”) yang berpindah saja ke dunia lain (gaib).
Menurut Alfani Daud, dalam karya klasiknya Islam & Masyarakat Banjar, masyarakat Banjar pada umumnya percaya ihwal adanya alam gaib, dalam arti alam yang tidak dapat dilihat kasat mata. Tampaknya bagi mereka alam ini relatif atau, mungkin lebih baik, tumpang tindih, yaitu apa yang tampak mungkin dalam alam gaib wujudnya berbeda.
Pokok kariwaya, pohon panggang atau rambung tertentu di dalam dunia gaib mungkin adalah gedung megah tempat tokoh orang gaib tertentu bertempat tinggal, atau sungai kecil di samping rumah dalam rumah dunia gaib sebenarnya ialah jalan orang gaib.
Gunung Candi, yaitu mungkin gundukan tanah reruntuhan Candi Agung dekat Amuntai, dan Gunung Pamaton, sebuah bukit gundul tidak jauh dari kota Martapura, di dalam dunia gaib konon sebenarnya adalah keraton masyarakat gaib asal tokoh-tokoh cikal bakal raja-raja Banjar yang telah gaib dahulu kala (Daud, 1997: 554).
Berada di daerah rawa-rawa sepanjang kali Martapura sampai sekitar kota Banjarmasin konon harus berhati-hati, karena daerah tertentu kemungkinan dalam dunia gaib sebenarnya ialah perkampungan masyarakat gaib, yang asal Biaju (Bajo).
Demikianlah tiap-tiap daerah atau kampung tertentu mempunyai tempat-tempat yang dikenal sebagai wilayah perkampungan, tempat tinggal atau jalan orang gaib atau sebagai tempat yang ada hantunya (bahantu). Namun belakangan daerah sekitar pemukiman yang dahulu dikenal dikuasai oleh orang gaib atau ada hantunya sekarang dianggap tidak berbahaya lagi, mungkin karena dianggap telah ditinggalkan karena terdesak oleh manusia (diistilahkan sebagai “sudah kamanusiaan”).
Istilah untuk alam gaib yang tumpang tindih dengan alam yang tampak ini adalah bumi lamah. Istilah lain lagi ialah bumi rata, yaitu biasanya gua batu, yang dipercayai dihuni oleh macan gaib; juga ada kepercayaan tentang adanya alam bawah air, yaitu dunia bagi para buaya, dan alam di atas gunung tertentu (antara lain Gunung Pamaton dan Gunung Candi), lokasi keraton gaib. Kepercayaan terhadap keempat jenis alam gaib ini tampak merata di kalangan masyarakat Banjar, tetapi istilah bumi lamah dan bumi rata hanya dikenal di kalangan tertentu (Daud, 1997: 554).
Friksi
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa di zaman modern sekarang ini, kepercayaan dan kebudayaan seperti ini masih bertahan di masyarakat Banjar?
Mereka kerap kali melakukan ritual-ritual tersebut guna mendukung segala aktivitas kehidupannya. Urang Banjar meyakini bantuan spritual dan mistik itu dapat membukakan jalan keluar bagi segala problematika yang mereka hadapi sehari-hari. Diakui atau tidak, fakta sosial ini merupakan cerminan bagi kita kini, bagaimana identitas budaya masyarakat Banjar bisa didefenisikan (kembali).
Jadi, bagaimana identitas budaya kita di zaman globalisasi saat ini? Kita paham bahwa karena koneksinya dengan globalisasi, komunitas-komunitas tempatan nyaris di seluruh dunia tidak lagi dapat dipahami dalam isolasi yang eksotis. Relasi mereka dengan (pasar) dunia telah menjadi keniscayaan.
Ted C. Lewellen (2002: 7-8) secara garis besar mendefinisikan, ”Globalisasi masa kini sebagai peningkatan arus perdagangan, keuangan, kebudayaan, gagasan dan manusia sebagai akibat dari teknologi canggih di bidang komunikasi dan perjalanan dan dari persebaran kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia, dan juga adaptasi lokal dan regional serta perlawanan terhadap arus-arus itu.”
Pada titik pertemuan antara garis depan globalisasi dengan komunitas-komunitas tempatan di Indonesia, baik kita belajar mengenai apa yang oleh Anna Lauwenhaupt Tsing (2005: 3-4) disebut sebagai friksi. Katanya, friksi adalah fragmen-fragmen ketika orang-orang Indonesia memanfaatkan peluang (bersiasat) di garis depan (”ruang hampa makna”) perjumpaan globalisasi dengan sumbersumber alam dan sumberdaya manusia.
Di sana dapat ditemukan kualitas-kualitas interkoneksi yang aneh, tidak sepadan, tidak stabil dan kreatif. Dalam friksi itulah, secara terus menerus identitas dan kebudayaan lokal dan kebudayaan apa saja direproduksi menjadi sesuatu yang sulit sekali diduga ujung pangkalnya.
Dalam proses itu apa saja jadi komoditi, yaitu barang (dagangan) produk kapitalis dan obyek hasrat konsumen. Komoditi biasanya kita anggap sedemikian rupa siap saji di sepanjang mata rantai sejak dari tahap produksi hingga tahap distribusi. Tiap mata rantai itu, kata Tsing, dapat dipahami sebagai arena produksi budaya atau friksi.
Tsing menunjukkan, pada setiap tahap pemrosesan komoditi, lahir ”kisah aneh-aneh”, kekurangan kualitas diatasi secara teknis dan juga secara verbal. Semuanya memiliki kisah dalam ekonomi (penampilan). Kapitalisme global dibuat dalam friksi pada mata rantai ini ketika bentuk-bentuk ekonomi yang berbeda tersambung seringkali secara aneh. Di situ perusahaan-perusahaan perintis harus mendramatisir mimpinya.
Contoh yang diangkat Tsing misalnya adalah kasus penjualan saham tambang emas Busang di Kalimantan Timur, yang diceritakan sebagai tambang emas dengan deposit terbesar di dunia padahal omong kosong. Dalam kasus lain, misalnya kita temukan bagaimana suku cadang motor atau mobil diperdagangkan dalam pelbagai versi yang bermacam-macam (asli dan tiruan) dengan ”omong kosong” yang bermacam-macam pula.
Itu semua sekadar untuk menaikkan harga, sehingga kita tidak jarang membeli suatu barang bukan karena kebutuhan kita tetapi karena harganya (ceritanya) saja. Akibatnya para kapitalis dapat mengakumulasi uang secara spektakuler.
Di sini pulalah terjadi kronisme franchise yang menandai saling ketergantungan antara korupsi dan investasi asing. Bersama budaya frontier (garis depan), kronisme franchise dan modal finansial mengikat hubungan saling tergantung di seputar akumulasi spektakuler semacam itu.
Arkian, praktik-praktik magis yang masih hidup di tengah masyarakat Banjar saat ini, merepresentasikan bahwa “menjadi modern” bukan berarti dapat mengikis habis aspek-aspek tradisional (mistik dan gaib) yang diwariskan oleh leluhur. Urang Banjar di satu sisi, melakukan pembaharuan mengikuti zaman, contohnya: bergairah dan cerkas sebagai pengguna gawai mahal dan anyar bermerk iPhone X, seperti pada umumnya orang kaya raya.
Namun, di sisi lain, ia tetap berpegang tegung pada tradisi-tradisi yang bersifat spiritual dan metafisis, seperti menggunakan wasi tuha, misalnya. Oleh sebab itu, selama aspek-aspek budaya dapat berguna dalam bahtera kehidupan, maka ia (budaya), akan terus dicipta-ulang (invention) dan dijaga.
Menurut hemat saya, inilah wujud arena produksi budaya atau “friksi”-nya urang Banjar untuk menghadapi serbuan kapitalisme di era globalisasi. Friksi ini ibarat pisau bermata dua, di satu sisi, ‘ia’ tetap memelihara warisan tradisi beserta spiritualisme nenek moyang, tetapi di sisi lainnya, ‘ia’ merupakan strategi pemfosilan tradisi yang sebenarnya telah usang karena tidak mampu menggunakan wawasan universal, komparatif, dan kritis dalam menyikapi tantangan zaman.