Sedang Membaca
Anthony Reid dan Indonesia: Kontribusi, Paradoks, dan Kritik Historiografi Modern
Abi S Nugroho
Penulis Kolom

Aktivis NU. Konsen pada kerja-kerja jaringan untuk inklusi sosial. Tinggal di Jakarta

Anthony Reid dan Indonesia: Kontribusi, Paradoks, dan Kritik Historiografi Modern

Anthony Reid dan Indonesia: Kontribusi, Paradoks, dan Kritik Historiografi Modern

Minggu berkabut. Anthony Reid, sosok Indonesianis asal Selandia Baru itu berpulang. Ia sejarawan terkemuka tanpa tanding, perancang pemikiran tentang cara dunia dan Indonesia melihat sejarahnya sendiri. Karyanya membuka sekaligus mengkritik, menghidupkan narasi terpendam tetapi juga menyisakan pertanyaan tentang representasi dan kekuasaan pengetahuan.

Reid menolak sejarah yang berpusat pada kolonial. Dalam Southeast Asia in the Age of Commerce (1450–1680), ia menggeser fokus dari istana dan perang ke kehidupan sehari-hari. Perdagangan rempah, pola makan, peran perempuan, hingga ritual budaya. Pendekatan histoire totale ala Annales Prancis ini mengungkap Asia Tenggara sebagai jaringan otonom yang setara dengan Tiongkok atau Eropa, jauh sebelum kolonialisme meruntuhkannya. Karya ini menjadi bacaan wajib, diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Thai, dan Jepang menjadi bukti pengaruhnya yang transnasional.

Disertasi Reid di Cambridge tentang Aceh (1969) tidak bisa dipandang kisah perlawanan terhadap Belanda belaka. Ia menampilkan Aceh sebagai kekuatan maritim independen yang berdiplomasi setara dengan Inggris dan Belanda. Karya lanjutannya seperti An Indonesian Frontier: Acehnese & Other Histories of Sumatra (2005) dan Verandah of Violence (2006) menekankan bahwa sejarah Sumatra, khususnya Aceh, adalah kontestasi identitas yang tak sepenuhnya terintegrasi dalam narasi nasional Indonesia. Ini tantangan terselubung bagi Jakarta. Sejarah Indonesia bukan monolit, melainkan mosaik konflik dan rekonsiliasi.

Anthony Reid berkontribusi besar merancang ekosistem keilmuan Asia Tenggara. Di akhir abad ke-20, ia tidak hanya menulis dan mengajar, tetapi juga membangun infrastruktur akademik yang mampu memperkuat posisi studi Asia di panggung global. Ia mendirikan Center for Southeast Asian Studies di University of California, Los Angeles (UCLA) pada 1999, lalu merintis Asia Research Institute (ARI) di National University of Singapore (NUS) pada 2002. Dua institusi ini menjadi pusat penting dalam perkembangan kajian Asia Tenggara yang membuka jalan bagi generasi baru peneliti, baik dari Asia maupun luar Asia.

Reid juga menjadi penggagas International Convention of Asia Scholars (ICAS), sebuah forum ilmiah yang dirancang sebagai ruang pertemuan egaliter bagi para sarjana Asia. Forum ini melampaui model konferensi akademik konvensional yang kerap didominasi oleh institusi Barat. Melalui ICAS, Reid mendorong dialog lintas batas nasional dan disipliner, memperkuat posisi Asia bukan hanya sebagai objek kajian, tetapi sebagai produsen pengetahuan yang setara. Visi Reid sangat jelas, mendekolonisasi produksi ilmu pengetahuan dan menantang hegemoni epistemik global yang selama ini berpusat di Eropa dan Amerika Utara.

Namun, ada ironi yang tak bisa diabaikan. Lembaga-lembaga yang ia dirikan dan perjuangkan tetap berbasis di Singapura dan Amerika Serikat, bukan di Indonesia, Myanmar, atau negara-negara Asia Tenggara lainnya yang kerap menjadi fokus kajiannya. Ini mencerminkan dilema struktural dalam dunia akademik global.

Baca juga:  Respons KH. Ahmad Siddiq, Gus Dur, dan Nurcholis Madjid 36 Tahun Silam atas Khittah NU 1926

Dekolonisasi pengetahuan seringkali masih bergantung pada sumber daya, legitimasi, dan infrastruktur yang tersedia di pusat-pusat kekuasaan lama. Reid sadar akan keterbatasan ini, tapi juga berani mengambil ruang yang ada mendorong perubahan dari dalam. Visi dekolonisasi yang ia bawa mungkin belum sepenuhnya tuntas, tapi jejak dan infrastrukturnya telah membuka jalan panjang yang tak bisa diputar balik.

Kritik dan Paradoks dalam Dua Sisi Warisan Intelektual Anthony Reid

Anthony Reid, dalam membangun infrastruktur akademik kajian Asia Tenggara, tidak lepas dari kritik dan paradoks yang menyertai warisan intelektualnya. Meskipun ia dikenal membela sejarah “dari bawah”, upayanya kerap terhalang oleh keterbatasan akses terhadap suara lokal yang otentik.

Dalam penelitiannya tentang Aceh, misalnya, Reid banyak bergantung pada arsip-arsip kolonial Belanda dan Inggris. Ia sendiri pernah mengakui kesulitannya membaca naskah Belanda, yang secara tak langsung menunjukkan ketergantungannya pada narasi Eropa sebagai sumber primer. Maka muncul pertanyaan kritis, apakah yang muncul dalam tulisannya adalah suara orang Aceh, atau bayangan Eropa tentang Aceh?

Kritik ini mendapat dukungan dari banyak akademisi Indonesia yang menilai bahwa sejarah seharusnya ditulis oleh mereka yang sungguh-sungguh menghayati dan menjadi bagian dari kultur yang dikaji. Seperti dikemukakan dalam kritik populer, “Ahli gamelan seharusnya orang Jawa.” Kalimat ini bukan cuma sindiran, tapi gugatan epistemologis atas praktik representasi dalam dunia akademik. Meskipun Reid berusaha keras membela wilayah pinggiran dan suara yang terpinggirkan, tetap saja posisinya sebagai peneliti Barat dalam kajian Asia Tenggara menyisakan pertanyaan tentang relasi kuasa dalam produksi ilmu pengetahuan.

Paradoks lain muncul dalam kritik Reid terhadap pendidikan sejarah nasional Indonesia. Ia menyoroti bagaimana di era Orde Baru, sejarah diajarkan dalam bingkai nasionalisme yang sempit dan anti-Belanda. “Nasionalisme didefinisikan dengan melawan Belanda, bukan memahaminya,” tulisnya. Dengan membandingkan dengan India, yang tetap mempertahankan “keinggrisannya” sebagai alat analisis, Reid menekankan bagaimana Indonesia justru mengalami pemutusan dengan masa lalunya sendiri karena hilangnya kompetensi berbahasa Belanda, bahasa utama dari arsip kolonial yang menyimpan banyak jejak sejarah nasional.

Kritik ini, meskipun tajam, menyentuh persoalan struktural yang tidak bisa dengan mudah diselesaikan. Di satu sisi, semangat dekolonisasi mendorong penghapusan bahasa penjajah, di sisi lain, kehilangan akses terhadap bahasa tersebut membuat generasi baru Indonesia tercerabut dari arsip yang menyimpan memori historisnya. Reid, dalam hal ini, menawarkan sebuah dilema terbuka, dekolonisasi tanpa penguasaan terhadap warisan kolonial justru melemahkan kemampuan menafsirkan sejarah secara mandiri.

Baca juga:  Klandestin Trans-Nasional Pengerat Islam Nusantara

Tak berhenti di situ, Reid juga melontarkan kritik tajam kepada para akademisi Indonesia dalam esainya tahun 2011. Ia menyoroti betapa parokialnya dunia intelektual Indonesia, “Hampir 90% karya tentang Indonesia di jurnal internasional ditulis orang luar, menjadikan Indonesia salah satu negara paling tidak efektif menjelaskan dirinya sendiri.” Bagi Reid, kondisi ini mencerminkan krisis kemandirian intelektual. Indonesia jadi objek penelitian global tanpa memiliki kapasitas epistemik membalas atau mengkaji dunia luar secara setara.

Sindiran Reid mengarah pada kecenderungan para akademisi Indonesia yang hanya meneliti “borok sendiri” demi mengakses dana asing. Proyek-proyek penelitian, menurutnya, sering kali menjadi kegiatan reaktif, mengumbar masalah tanpa solusi konkret, dan tak menunjukkan visi strategis yang berpijak pada kepentingan jangka panjang bangsa sendiri. Ia menyayangkan betapa minimnya peneliti Indonesia yang mempelajari negara-negara lain di Asia, padahal semangat saling belajar di kawasan seharusnya menjadi fondasi penting bagi dekolonisasi ilmu.

Dalam relasinya dengan sejarah revolusi Indonesia, Reid memunculkan nuansa yang tak kalah kompleks. Ia mengagumi “semangat juang” generasi 1945 yang menurutnya penuh dedikasi, pengorbanan, dan daya tahan dalam merebut kemerdekaan. Namun ia juga menyaksikan bagaimana semangat itu perlahan memudar di generasi muda Australia dan Selandia Baru yang hanya melihat Indonesia sebagai “tujuan wisata murah”, sekadar tempat untuk “mabuk di Bali.” Kontras ini menimbulkan kegelisahan tersendiri baginya sebagai akademisi yang memperjuangkan penghargaan terhadap sejarah Indonesia di kancah global.

Lebih lanjut, Reid menyatakan keprihatinan atas nasib studi Asia Tenggara secara umum. Ia menyebut bahwa kini kajian Asia Tenggara “diragukan, sepi peminat.” Kekhawatiran ini bukan hanya soal kuantitas mahasiswa atau pendanaan, tetapi lebih dalam, tentang bagaimana legitimasi kawasan sebagai medan produksi pengetahuan kian tergerus dalam persaingan global yang makin kompetitif. Warisan intelektualnya pun menghadapi tantangan keberlanjutan, akankah ada generasi baru yang melanjutkan daya kritis dan kreatif kerja-kerja intelektualnya?

Dalam semua kritik dan paradoks ini, warisan Reid bukanlah monumen yang beku, melainkan ladang dialektika yang terus tumbuh. Ia meninggalkan jejak bukan hanya dalam bentuk institusi dan buku, tetapi juga dalam percakapan, polemik, dan pertanyaan-pertanyaan penting yang terus menggugah kesadaran kritis para akademisi Asia Tenggara. Bahwa mendekolonisasi ilmu bukan hanya soal mengganti narasi, tapi juga membongkar struktur, mengembangkan kapasitas lokal, dan yang terpenting, mengembalikan hak bicara pada mereka yang selama ini diam atau dibungkam.

Tafsir Mutakhir Anthony Reid tentang Bencana, Identitas, dan Masa Depan

Dalam karya-karya mutakhirnya, Anthony Reid menunjukkan kesinambungan sekaligus transformasi pendekatan intelektualnya terhadap Asia Tenggara. Buku A History of Southeast Asia: Critical Crossroads (2015) menjadi magnum opus memadukan lintas disiplin dan cakrawala regional dengan sensitivitas sejarah lokal. Di dalamnya, Reid tak sekadar mengurai peristiwa, tetapi mengkonstruksi Asia Tenggara sebagai ruang persilangan sejarah global yang aktif membentuk dirinya sendiri. Risetnya tentang tsunami abad ke-17 di pesisir barat Sumatra menjadi contoh, ia menggabungkan geologi, arsip kolonial, dan kesaksian lokal merekonstruksi memori bencana, sebuah pendekatan yang mengafirmasi pentingnya pengalaman lokal dalam sejarah global.

Baca juga:  Konsep Fikih Menjaga Lingkungan (2): Mengenal Iqtha’ Tamlik dan Iqtha’ Irfaq di Kalangan Ulama Fikih

Melalui To Nation by Revolution (2010) dan Indonesia Rising (2012), Reid menyampaikan harapan besar terhadap Indonesia. Ia menyebut Indonesia sebagai “raksasa ketiga Asia” yang potensial, setelah China dan India. Namun optimisme itu bukan pujian kosong. Reid mengingatkan, kemajuan hanya bisa dibangun dengan pemahaman kritis atas sejarahnya yang kompleks dan kontradiktif. Ia percaya bahwa revolusi bukanlah akhir dari sejarah, melainkan keroposnya fondasi jika tidak dikawal dengan refleksi historis mendalam dan keberanian mengakui warisan luka kolonial maupun tirani pascakolonial.

Dalam kesimpulannya, Reid tidak menempatkan diri sebagai otoritas narasi, tetapi sebagai pembuka jalan. Ia telah “membuka peti mati eurosentrisme”, tetapi juga menyadari bahwa studi Indonesia masih diliputi ironi, sebagian besar pengetahuan tentang Nusantara justru dirumuskan dan dikukuhkan di Canberra, Leiden, atau Singapura, bukan di Yogyakarta, Padang, atau Makassar. Reid menjadi simbol dari keterbelahan itu. Seorang intelektual asing yang lebih percaya pada potensi intelektual lokal ketimbang banyak institusi lokal itu sendiri.

Sumbangsih terbesar Reid mungkin bukan terletak pada temuan saja, melainkan pada provokasinya. Ia menampar kesadaran kita dengan kalimat yang tak mudah dilupakan, “Ahli sejarah manusia Minangkabau mestinya orang Minang.” Sebuah seruan tajam untuk dekolonisasi pengetahuan, yang bahkan Reid tahu tidak bisa digerakkan dari luar. Seruan ini bukan hanya gugatan epistemologis, tetapi panggilan merebut kembali otonomi intelektual yang telah lama dipinggirkan.

Di akhir hayat intelektualnya, Reid tetap teguh pada satu keyakinan, “Tempat mengkaji Asia adalah di Asia.” Bagi Reid, bukan sekadar penting siapa yang menulis, tetapi dari mana pengetahuan itu bersumber dan untuk siapa ia ditujukan. Pernyataannya itu bukan semata refleksi, melainkan tantangan terbuka bagi generasi peneliti Asia Tenggara hari ini, untuk menulis dengan kedalaman, berbicara dengan keberanian, dan membangun pusat pengetahuan yang berpijak di tanah sendiri. Sebab sebagaimana sejarah adalah milik bersama, demikian pula tanggung jawab menafsirkan dan memperjuangkannya.

Minggu, 8 Juni 2025 menandai kepergianmu yang membawa jariyah besar bagi generasi berikutnya. Terima kasih, pengabdian membuka jalan pengetahuan sejarah yang kritis dan terbuka.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top