Sedang Membaca
Khadam: Balada Sang Pengabdi Kiai
Mohammad Rifki
Penulis Kolom

Mohammad Rifki, lahir di Sumenep 23 November 1991. Sempat nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Kini tinggal di Sumenep Madura.

Khadam: Balada Sang Pengabdi Kiai

Pada dunia pesantren seorang santri yang membantu segala keperluan keluarga kiai dikenal dengan sebutan khadam: baik santri putri maupun putra. Bagi khadam putri, tugasnya adalah melakukan pekerjaan layaknya seorang ibu rumah tangga; mencuci, memasak di dapur, mengasuh putra-putri kiai yang masih kecil.

Sedangkan untuk khadam putra tugasnya lebih kepada pekerjaan-pekerjaan di luar rumah, seperti mengantar kiai ke kondangan, merawat lahan pertanian, dan lain sebagainya. Walaupun untuk kebersihan di teras dhalem kiai juga merupakan wilayah tugas khadam putra. Karena, seperti kebanyakan pesantren di Madura, teras depan itu ditempati kiai untuk menjamuh para tamu laki-laki.

Para khadam tersebut biasanya menempati tempat yang terpisah dengan santri kebanyakan, yakni di dekat dhalem kiai. Tujuannya jelas supaya jika dibutuhkan oleh kiai untuk membantu suatu hal misalnya tidak perlu repot-repot mencari. Karena kedekatannya dengan kiai dan keluarga dhalem, khadam biasanya dijadikan sebagai ‘pusat informasi’ bagi santri dan masyarakat bila hendak sowan atau ada kepentingan khusus lainnya.

Bagi alumni atau wali santri yang berasal dari luar wilayah pesantren, sebelum sowan ke kiai, terlebih dahulu menghubungi khadam. Apakah kiai ada atau masih pergi mengisi suatu acara. Bagi para pewarta dan penulis, khadam, menjadi sumber utama saat hendak menelusuri sikap serta kiprah kiai untuk bahan penulisan biografi.

Selain itu, di dalam lingkungan pesantren para khadam terkadang mendapat perlakuan ‘istimewah’ oleh guru dan pengurus pesantren. Misalnya mendapat dispensasi ketika tidak mengikuti pelbagai kegiatan pesantren atau masuk sekolah. Apabila tugas-tugasnya sebagai khadam yang menyangkut urusan dhalem belum kelar.

Di beberapa pesantren tertentu khadam dibebaskan dari biaya operasional pondok. Karena memang para khadam kebanyakan berasal dari keluarga kurang mampu dari sisi finansial. Tidak hanya khadam sebenarnya yang dibebaskan dari persoalan biaya pondok, tapi juga santri-santri lain yang keluarganya kesulitan dalam hal ekonomi. Nah, disinilah bedanya dengan lembaga pendidikan di luar pesantren yang cukup sulit memberi kesempatan untuk belajar bagi anak-anak bangsa dari keluarga yang kurang mampu.

Baca juga:  In Memoriam Ayip Abbas: Menemani Geng Motor yang Brutal

Lebih jauh, menjadi khadam bukan perkara mudah. Sebab mereka kudu pintar membagi waktu karena rutinitas yang dijalani lebih padat bila dibandingkan dengan santri pada umumnya. Selain membantu segala keperluan keluarga kiai mereka juga harus tetap mengikuti pelbagai kegiatan pesantren.

Tetapi, aktivitas yang padat sebagai khadam tidak menyurutkan sikap pengabdian mereka kepada kiai, baik lahir maupun batin. Sebab tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan barakah. Artinya, apa guna ilmu yang banyak tetapi tidak membawa manfaat terhadap orang lain -lebih-lebih kepada diri sendiri. Dan salah satu jalan untuk mendapatkan barakah adalah mengabdi kepada kiai. Hal ini juga tak lepas dari dukungan orang tua, terutama di wilayah Madura dan Tapal Kuda (Probolinggo, Bomdowoso, Situbondo dan sekitarnya) begitu bangga bila putra-putrinya ikut meringankan beban kerja kiai sehari-hari, dengan menjadi khadam.

Kedekatan khadam dan kiai, bila dibandingkan dengan santri pada umumnya, merupakan anugerah tersendiri. Dengan demikian, para khadam dapat secara langsung menyaksikan serta meneladani sikap kiai. Bagaimana ketika menjamu tamu, menghadiri acara, memberi saran saat rapat pengurus pesantren, interaksinya dengan para alumni dan wali santri, dan seterusnya. Dan yang tak kalah menarik adalah bagaimana sikap kiai di dalam lingkungan keluarganya; bergaul dengan istri, putra-putranya, dan para khadam yang tak berjarak, sudah seperti keluarga sendiri.

Baca juga:  Bagaimana Orang NU Makan Enak?

***

Fenomena khadam bagi sebagian kalangan dipandang sebagai reinkarnasi dari budaya keratonis masa kerajaan. Di mana yang bentindak sebagai “raja” adalah kiai dengan menempati posisi sentral dan mutlak di dalam lingkungan pesantren. Segala keputusan tidak bisa diimplementasikan sebelum ada ketuk palu dari sang kiai. Dalam kondisi lingkungan seperti tersebut amat sulit dibayangkan akan lahir generasi yang kritis-inovatif.

Pandangan lain bahwa dunia khadam tak lebih dari perbudakan model baru. Dalam hal ini kiai dituduh telah memanfaatkan pengaruhnya sebagai tokoh agama untuk melakukan eksploitasi terhadap santrinya (khadam). Serta mencederai hakikat daripada agama Islam yang membawa obor pembebasan, yaitu dari kebudayaan Makkah waktu itu yang barbar dan tak beradab. Benarkah demikian?

Menurut Ahmad Zayadi (30), salah satu khadam di salah satu pesantren di Madura, pengabdiannya terhadap kiai berlandaskan rasa “cinta”. Ia sama sekali tidak merasa tertekan membantu segala keperluan kiai dan keluarganya. Bahkan, ia dia dorong untuk menyelesaikan pendidikan strata satunya di sebuah perguruan tinggi swasta dengan biayah ditanggung oleh kiai sepenuhnya.

Mengabdi kepada kiai dengan, menjadi khadam, barangkali sama dengan seorang maneger atau asisten pribadi sebuah band atau artis. Titik perbedaannya terletak pada harapan yang diimpikan. Maneger artis jelas mendambakan penghasilan berupa materi dari artis atau band yang dipromosikannya. Sedangkan khadam, yang diharap dengan membantu kiai dan keluarganya hanya satu, yakni barakah.

Halimatus Sa’diyah (26), seorang khadam di salah satu pesantren di Probolinggo, menambahkan bahwa pendidikan khadam merupakan prioritas utama bagi sang kiai (baca; Ibu Nyai). Karena itu, tugas-tugas diberikan keluarga dhalem tidak pernah berbenturan dengan kegiatan kepesantrenan yang kudu diikutinya. “Ibu Nyai kalau mau minta bantuan ke khadam, pasti tanya dulu, ada kegiatan apa tidak. Atau masih capek apa tidak, jadi tidak pernah memaksa,” katanya.

Baca juga:  Beratnya Jadi Imam Jumat (Beberapa Pengalaman Teman)

Salah satu putra kiai Pondok Pesantren As-Syifa’, Sumberkerang Gending, Probolinggo, Agus Nizhamuddin Aulia menuturkan bahwa khadam sudah merupakan bagian dari keluarga besarnya. Bahkan menurut Gus Nizam, demikian ia akrab disapa, khadam lebih mengenal kiai (baca; abahnya) di bangding dengan dirinya dan saudara-saudaranya. Sebab hubungan dengan abahnya terkesan kaku dan formal. Tidak heran bila sikap serta corak pemikiran sang kiai sedikit banyak menitis kepada diri khadam. Karena itu, ketika sang kiai wafat, keluarga dhalem mengangkat khadam sebagai juru nasihat saat menghadapi pelbagai persoalan. “Kira-kira, kalau abah masih ada, bagaimana pandangan beliau terhadap masalah di bidang usaha pesantren misalnya,” ungkap Gus Nizam.

***

Dunia khadam sebenarnya adalah tempat kita bercermin dan belajar tentang ketulusan. Mengapa dan sejauh mana ketulusan itu urgen diwujudkan hari ini dan di sini?

Kini, ketulusan itu sudah semakin langkah ditemui. Jarang yang berkenan mengerjakan suatu hal jika tidak jelas bagaimana peruntungannya. Di tempat saya, pola interaksi masyarakat sudah mulai bergeser, dari sikap gotong royong berubah menjadi relasi yang hanya berlandaskan asas untung rugi.

Ketulusan harus tetap lestari dalam lingkungan pesantren dan seorang santri harus terus memupuk ketulusan kapan pun dan di mana pun ia berada. Karena ketulusan pasti berbuah kesederhanaan, kesederhanaan akan melahirkan mental dan sikap bersahaja, yang mampu menebar kedamaian di bumi Nusantara ini. Selamat hari santri. Wallahu ‘alam.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top