Asshalatu wassalamu ‘alaik, ya imamal mujahidin, ya Rasulallah
Asshalatu wassalamu ‘alaik, ya nashiral huda, ya khairal khalqillah
Asshalatu wassalamu ‘alaik, ya nashiral haqqi, ya Rasulallah …..
“Abah!!!!!!!!!!”
Teriakan dan gemuruh langkah kaki santri putri di lantai empat asrama Binayah Mulyawan memenuhi lorong. Tujuannya tidak lain ialah tempat wudlu. Ya, shalawat tarhim sebelum atau sesudah azan ialah pertanda yang diketahui oleh semua warga pesantren bahwa shalat kali ini akan diimami oleh Kiai. Ciri khas lainnya ialah jeda antara azan dan iqomah biasanya kurang dari tiga menit. Alhasil para santri yang selalu antri ketika mengambil air wudlu ini harus sedikit berlari agar tidak tertinggal shalat berjamaah.
Di depan pintu pengimaman masjid, di atas kursi rodanya, Kiai udah siap menunggu santri sedang memenuhi shaf di masjid. Ditemani dua santri penderek yang berdiri di belakangnya, ketika masjid sudah agak penuh baru Kiai memasuki pengimaman dan shalat berjamaah dimulai. Sejak sakit sejak hampir enam tahun lalu, Kiai kemana-mana menggunakan kursi roda. Namun itu sama sekali tidak mempengaruhi semangat Kiai untuk tetap mengimami shalat fardlu, mengunjungi pesantren-pesantren cabang, menghadiri majelis ilmu, dan berbagai undangan pengajian di dalam dan luar kota.
Tidak seperti pesantren di desa-desa yang awal harinya dimulai dengan kokok ayam jantan yang bersahutan dengan tarhim dan adzan subuh, tahajud dan istighatsah menjelang fajar di sini terkadang sembari mendengarkan bising knalpot motor yang jelas dikendarai dengan ugal-ugalan, suara mobil polantas patroli, juga sering kali sirine pemadam kebakaran. Maklum, posisi bangunan pesantren persis berada di sisi jalan arteri kota Jakarta Barat. Belum lagi suara rem bus Tranjakarta ketika menaikturunkan penumpang di halte yang posisinya tepat di depan pesantren. Semakin menambah warna suasana pesantren yang beralamat di Jalan Panjang No. 6C Kelurahan Kedoya Utara Kecamatan Kebon Jeruk ini.
Tahajud wajib ini sebagai bentuk riyadlah yang Kiai contohkan dan diterapkan ke seluruh santri sebagaimana di pesantren ayahandanya, Pondok Pesantren Manbaul Ulum di Sumber Beras Muncar Banyuwangi. Selalu di setiap dakwah keluar kota, sesibuk apapun, secapek apapun, di perjalanan tengah malam, Kiai meminta sopir menghentikan mobil. Tujuannya tidak lain untuk tetap melaksanakan shalat malam.
***
Kiai Noer Muhammad Iskandar adalah salah satu putra dari Kiai Askandar dengan Nyai Siti Robiatun yang lahir pada 5 Juli 1955 di Banyuwangi. Setelah nyantri di pesantren ayahnya sendiri, Kiai Noer muda lalu nyantri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri lalu ia lulus pada tahun 1974. Kiai Noer muda juga pernah ngaji kilatan selama bulan puasa kepada Kiai Muslih Futuhiyyah Mranggen Demak.
Setelah nyantri di pesantren salaf, Kiai Noer melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta pada tahun 1975 hingga kemudian menikah dengan Ibu Nyai Nur Djazilah pada tahun 1982. Ibu Nyai Nur Djazilah merupakan putri dari KH Mashudi asal Tumpang, Malang yang juga pernah memimpin Pesantren Putri Cukir, Tebuireng, Jombang sebelum menikah. Dalam khutbah nikah keduanya, Kiai Mahrus Aly ‘menantang’, Kiai Noer yang baru menikah dan belum memiliki apa-apa untuk berdakwah di Jakarta.
Jakarta dengan segala kehidupan kerasnya disanggupi oleh Kiai Noer bersama Ibu Nyai Nur Djazilah dengan modal nekat. Setelah menumpang beberapa lama di rumah kerabat, Kiai Noer kemudian mengontrak di daerah Kebon Jeruk. Bersama para sahabat, Kiai lalu dipercaya untuk mengembangkan Masjid Al-Mukhlisin Pluit Jakarta Utara untuk dikelola menjadi wadah pendidikan. Dakwah Kiai Noer kian lama kian luas, salah satunya lewat radio CBB.
Sampai suatu ketika Kiai bertemu eorang sahabat lama, H. Rosyidi Ambari. H. Rosyidi telah lama dipercayakan lahan wakaf H. Jaani seluas 2000 meter di Kedoya Utara untuk dibangun pesantren Ukhuwah Islamiyah mencari-cari Kiai untuk menawarkan padanya agar mengelola lahan wakaf tersebut. Ada banyak pertimbangan untuk mengambil penawaran ini karena Kiai juga sedang mengembangkan Yayasan Al-Mukhlisin. Hingga saat melaksanakan ibadah haji pertama pada tahun 1983, Kiai beristikharah selama di sana memohon petunjuk untuk menerima atau menolak tawaran tersebut. Akhirnya pada 1984, Kiai Noer mantap menerima lahan wakaf tersebut dengan biaya pembangunan dimodali oleh H. Abdul Ghani bin H. Jaani.
Diawali dengan sebuah mushalla dan seorang santri saja, Kiai Noer mengajar para santri dengan tetap menjaga tradisi-tradisi pesantren Jawa, seperti maknani dan ngaji bandongan kitab kuning. Seorang santri ini diajar dan dididik dengan serius hingga santri bertambah menjadi puluhan hingga ribuan. Mulai dari madrasah Ribathiyah hingga madrasah tsanawiyah, aliyah, hingga kini juga ada ma’had aly dan ma’had aytam.
Pada masa-masa awal pesantren, Kiai seringkali pulang ceramah lewat tengah malam, sekitar jam satu hingga jam dua dini hari. Sesampainya di pesantren Kedoya, Kiai tidak langsung ke rumah, melainkan menengok kondisi pesantren dan para santri. Para pengurus pesantren yang nderek Kiai seringkali menjumpai hal demikian. Istirahatnya pun hanya tidur sebentar.
Nah, dimana dan kapan Kiai beristirahat? Menurut para sopir dan para penderek beliau, Kiai tidurnya itu di mobil ketika dalam perjalanan kembali ke pesantren. Jadi, setiap Kiai pergi kemana saja pasti diusahakan tidur di mobil untuk istirahat. Walaupun terlihat memejamkan mata selama perjalanan menggunakan mobil, lisan dan tangan Kiai selalu bergerak untuk berdzikir. Beliau memulai aktifitas sebelum subuh ketika orang masih pada tidur. Dan mengakhiri aktifitas dini hari ketika orang-orang sudah pada tidur. Itu setiap hari.
Kiai pernah berkata tentang bagaimana menjalankan pesantren ini ke depannya, “Saya ini yang penting saya, bagaimana saya, anak-anak, para santri, guru-guru diajarin dekat dengan Allah SWT. Terus kemudian Allah nanti yang menunjukkan bagaimana pondok itu berjalan.”
Namun berdakwah di Jakarta pada era 80-90an bukan hanya sulit, tapi perjuangan yang sengit dan taruhan nyawa. Untuk menggelar pengajian saja kala itu memerlukan perizinan yang begitu rumit. Belum lagi ancaman dan intimidasi dari berbagai pihak. Bersama para sahabat, yakni Kiai Manarul Hidayat, Kiai Zainuddin MZ, dan H. Roma Irama, dakwah Kiai Noer semakin luas lewat ceramah di radio dan televisi. Sekawan ini terkenal dengan sebutan Singa Podium pada era itu.
Sebagai muballigh ternama ibukota yang juga sempat menjadi anggota DPR Fraksi PKB, tentu dukungan Kiai Noer terhadap tokoh politik amat berpengaruh. Pada 1998, mobil yang ditumpangi beliau di jalan tol bahkan pernah ditembak oleh orang yang tidak dikenal. Ini terjadi karena beliau menolak untuk bergabung membantu partai penguasa dan sikap kritisnya terhadap pemerintah saat itu.
***
Kini, pesantren telah berkembang menjadi sebelas pesantren di umurnya yang menginjak tahun ketiga puluh enam, antara lain Asshiddiqiyah Pusat Jakarta Barat, Asshiddiqiyah 2 Batuceper Tangerang, Asshiddiqiyah 3 4 5 Karawang, Asshiddiqiyah 6 Serpong Tangerang Selatan, Asshiddiqiyah 7 Cijeruk Bogor, Asshiddiqiyah 8 Musi Banyuasin, Asshiddiqiyah 9 Gunung Sugih Lampung Tengah, Asshiddiqiyah 10 Cianjur, dan Asshiddiqiyah 11 Waykanan. Dengan sebelas pesantren yang ada hingga saat ini, setiap tahun selalu diadakan pertemuan pimpinan pesantren di Jakarta.
Ada beberapa hal yang sering disampaikan Kiai kepada para pimpinan dalam pertemuan tersebut. Pertama keikhlasan memimpin pondok ini diumpamakan seperti menanam. Dari menanam ini, kapan masa panennya jangan diharapkan. Sebagai seorang pendidik, seorang guru berkewajiban untuk menanam. Apa yang tumbuh dari menanam itu sesuai dengan apa yang ditanam. Kalau yang ditanamnya baik, pasti tumbuhnya baik juga. Tumbuhnya santri itu nanti dimana-mana wallahu a’lam. Hal itu selalu yang pesankan. Hal kedua yang selalu Kiai pesankan kepada para guru di pesantren ialah ngopeni (mengurusi) santri. Santri diopeni dengan baik, dengan penuh kasih sayang, tidak sekedar mengajar saja.
Setelah itu semua, hal ketiga yang tidak kalah penting dalam mendidik santri, “Bekerja ya hanya untuk Allah. Jangan berpikir yang neko-neko.”
Begitulah Kiai, ia tidak menjalankan pesantren dengan muluk-muluk. Menurutnya, Allah telah mendesain semuanya, kita cukup menjalankan kewajiban dengan sebaik-baiknya. Tidak muluk-muluk ini dalam artian menjaga niat untuk syiar Islam, lillahi ta’ala. Dalam mewujudkan niat ini perlu ikhtiar dengan sekuat tenaga. Pada awal-awal berdiri Asshiddiqiyah, Kiai Noer kerap berkumpul bersama para sahabatnya pada malam jumat. Setelah mengaji dan shalat malam, mereka berdiskusi hingga pagi membahas berbagai hal untuk mengembangkan dakwah di ibu kota.
Makin sering Kiai berceramah dimana-mana, semakin banyak santri, maka semakin banyak orang yang tertarik untuk mewakafkan tanahnya agar di bangun pesantren. Kiai akan menerima wakaf tersebut jika dilihat lahannya cocok untuk dibangun pesantren, dan tidak ada syarat-syarat tertentu (wakaf mutlak) ketika menyerahkan tanah wakaf tersebut. Setelah menerima tanah wakaf tersebut, seringnya Kiai menambah luas lahan dengan membeli lahan di sekitarnya untuk memperluas area pesantren.
Namun, ada juga orang yang ingin mewakafkan tanah, tapi minta kerja sama alias bagi hasil. Pernah ada seseorang di Sukabumi yang ingin mewakafkan tanahnya ke Kiai untuk dibangun pesantren. Kiai pun melihat kondisi lahan dan merasa cocok. Setelah lahan diterima, ternyata lahan tersebut merupakan lahan yang dijaminkan ke bank untuk membayar utang. Alhasil, Kiai harus menanggung utang tersebut. Namun, pemiliknya ingkar janji hingga Kiai memilih untuk melepaskan lahan tersebut karena ketidakjelasannya.
Sedangkan berdirinya Asshiddiqiyah 8 di Musi Banyuasin bermula dari seorang petani sederhana yang tertarik dengan dakwah Kiai hingga ia ingin mewakafkan tanahnya untuk didirikan pesantren. Kiai yang merasa cocok dengan lahan tersebut lalu sebagaimana sebelumnya, diambil, dibangun, dan diluaskan. Begitulah, hampir semua datangnya lahan wakaf itu karena ketertarikan orang dengan perjuangan dan keilmuan Kiai.
Namun, Kiai tidak lantas menerima semuanya karena disesuaikan dengan keterbatasan SDM (Sumber Daya Manusia) yang dibutuhkan untuk mengelolanya. Selain diasuh oleh Kiai langsung, sebagian besar diserahkan ke anak dan kerabat yang pasti masih memiliki ikatan darah daging.
Hal lain yang lekat dengan Kiai ialah sifat sakho’ (سَخَاء : murah hati), loman kalau dalam bahasa Jawa. Kiai sangat loman terhadap orang lain, baik dengan orang yang dikenal mau pun tidak. Semua orang yang bertamu ke ndalem Kiai akan dijamu, diajak makan bersama. Ini berlaku bagi setiap tamu yang datang ke ndalem beliau. Mulai dari para ulama, pejabat dalam dan luar negeri, artis, orang biasa, semuanya diperlakukan sama.
Di pesantren, terhadap para pengurus pun demikian. Seringkali ketika para pengurus berkumpul di kediaman Kiai untuk rapat atau hal lain, Kiai selalu meminta sang istri untuk mengeluarkan semua makanan walau pun stok makanan di ndalem Kiai tidak banyak.
“Udah keluarin aja semuanya ini buat guru-guru.”
Kiai selalu berpesan kepada para pengurus pesantren agar berniat untuk menjadi pegawai Allah, karena Allah Maha Menguasai segala sesuatu, tidak seperti manusia yang memiliki keterbatasan. Selain itu, sebagai seorang pendidik juga harus mampu mengantisipasi perkembangan. Maka Asshiddiqiyah itu termasuk pesantren yang adaptif terhadap perubahan. Perkembangan tadi tetap menjaga dari prinsip pondok pesantren itu sendiri. Inilah penerapan dari al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik).
Setiap pesantren Asshiddiqiyah memiliki tingkat perkembangannya sendiri, ada yang lebih fokus belajar, ada juga yang lebih pada pengembangan diri. Intinya semuanya dibiarkan berkembang sesuai potensinya masing-masing selama bermanfaat dan diniatkan untuk dakwah Islam di dunia yang modern. Kiai selalu mendukung apapun profesi para lulusannya.
Hingga pada Ahad, 13 Desember 2020/28 Rabi’ul Akhir 1442, pukul 13.41 WIB, saat para santri berkumpul di masjid membacakan Yasin Fadilah, shalawat Thibbil Qulub, dan shalawat Nariyah untuk kesembuhan beliau, Allah menakdirkan untuk menyempurnakan dakwah Kiai di dunia. Sebelum berpulang, Gus Mahrus yang mendampingi Kiai hingga hembus nafas terakhir sempat memperdengarkan ke Kiai rekaman bacaan santri di masjid di
Kiai mewariskan harta yang begitu berharga, Asshiddiqiyah dan puluhan ribu alumninya yang menyebar di berbagai belahan dunia. Kiai Noer mengajarkan agar kita memiliki tinggalan yang bermanfaat bagi orang banyak.
Saat malam kelima pembacaan Tahlil dan Doa untuk Syaikhuna al-Maghfurlah KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ, Ust. Ahmad Sudrajat salah satu alumni menceritakan betapa cintanya Kiai terhadap para santri. Pada tahun 1996, ia berkesempatan mendampingi Kiai beribadah haji. Ia diajak Kiai untuk duduk di depan Ka’bah. Selama di depan Ka’bah Kiai sama sekali tidak mendo’akan putra-putrinya. Kiai disepanjang do’anya hanya mendo’akan santri dan keluarga santri. Dari kejadian itu ia bertanya kepada Kiai, “Kenapa Kiai tidak mendo’akan putra-putri Kiai? Kiai hanya menjawab, “Ajat ketahuilah, kalian santri-santri Asshiddiqiyah semua anak saya. Saya yakin meskipun saya tidak mendo’akan anak-anak saya, pasti mereka akan balik mendoakan Mas Ayus, Mbak Eka, Mbak Balqis, Mbak Ima, dan Mas Muhsin.”
Kiai juga pernah berpesan dalam pengajian kitab Birrul Walidain, di Masjid Al-Mukhlisin Pluit, “Barang siapa yang ingin hidup sukses bahagia dunia akhirat, maka kuncinya hormati dan bahagiakanlah kedua orang tuamu.”
Jamaah yang bertanya, “Lalu bagaimana cara membahagiakan jika salah satu orang tua kami sudah wafat, Kiai?”
Beliau menjawab, “Teruskan kebiasaan baik orang tuamu selama di dunia.”
Di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Pusat sendiri, Khadimul Ma’had KH. Ahmad Mahrus Iskandar, putra ketiga beliau selalu berpesan agar para santri istiqomah menjalankan amalan-amalan yang menjadi kebiasaan Kiai.
“Jangan lupa kirimkan Yasin, shalawat Thibbil Qulub, dan shalawat Nariyah untuk ayahanda setiap habis shalat karena itu ialah kesenangan Ayahanda. Ayahanda hanya jasadnya saja yang sudah meninggalkan kita, namun sejatinya ruh Ayahanda selalu mendoakan para santri,” tutur Khadimul Ma’had setelah memimpin tahlil dan doa untuk al-Maghfurlah bersama para santri. Amalan lain yang diistiqomahkan Kiai di antaranya mendawamkan wudu, puasa daud, shalawat Jibril seribu kali sebelum subuh dan maghrib, dan Yasin Fadilah 41 kali setiap hari.
Satu hal yang sangat saya senangi, Kiai selalu menutup majelis dengan membaca Allahul Kafi sembari memandang jamaah dengan wajah yang berseri-seri. Lahul Fatihah.