Pada suatu masa, kertas-kertas dianggap mulia atau bermakna melalui tulisan dan iluminasi. Di situ, ada beragam hal dituliskan untuk “langgeng”. Di manuskrip, orang membaca masalah-masalah sejarah, agama, sastra, etika, politik, pangan, asmara, dan lain-lain. Penulisan dan pembacaan saat cuma sedikit orang di Jawa mengerti peradaban keaksaraan.
Sekian manuskrip bertahan dari laju waktu dan cuaca. Puluhan atau ratusan tahun, manuskrip masih mungkin terlihat, terbaca, dan terpelajari. Pada abad digital, manuskrip itu pesona kesilaman. Di manuskrip-manuskrip, bahasa dan pesan ingin diungkap dengan segala keterbatasan cara membaca dan menafsirkan.
Di Solopos, 23 Maret 2022, kita membaca berita: “Manuskrip tertua tersebut tidak disimpan berdampingan dengan ratusan manuskrip lainnya. Namun, manuskrip tertua itu secara eksklusif disimpan di almari terpisah yang kini berada di lantai bawah Reksa Pustaka.” Berita mengenai manuskrip berjudul Sejarah Nabi Adam Dumugi Ratu-Ratu di Tanah Jawa. Pihak pustakawan di Reksa Pustaka (Mangkunegaran) menjelaskan manuskrip ditulis Mangkunagoro I pada 1769. Manuskrip itu istimewa! Manuskrip belum boleh untuk studi para peneliti atau dibuka oleh para pengunjung.
Di almari, manuskrip mengabarkan masa lalu. Orang-orang melihat saja meski pustakawan di situ mendokumentasi satu halaman manuskrip di ponsel. Kita mulai berpikiran tentang digitalisasi mulai marak di pelbagai tempat demi keselamatan atau kelanggengan ribuan manuskrip. Edisi digital tak mengharuskan orang berhadapan atau bersentuhan dengan kertas. Teknologi digital memungkinkan kita membaca dalam pengalaman berbeda dari orang-orang terbiasa bersama manuskrip.
Nasib manuskrip-manuskrip di Sasana Pustaka agak berbeda. Berita terbaca di Solopos, 19 Maret 2022: “Wakil Pengageng Sasana Wilapa Keraton Kasunanan Surakarta, KP Dani Nur Adiningrat, menyebut Sasana Pustaka Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat akan dikembalikan untuk kepentingan internal.” Publik mengartikan koleksi di tempat itu digunakan oleh pihak keraton saja. Para peneliti atau peminat kajian pustaka dianjurkan menggunakan koleksi di Radya Pustaka (Sriwedari), tempat berada di luar keraton. Keterangan memang berkaitan tempat, tata cara, dan kepentingan. Sasana Pustaka berada di keraton dengan ketentuan-ketentuan adat bagi pihak-pihak berkepentingan. Keterangan memicu polemik. Sekian pihak sudah melancarkan kritik. Kita belum perlu ikut ramai tapi berpikiran saja nasib manuskrip-manuskrip.
Kita bukan peneliti dan orang memiliki predikat politik memilih mengenang saja tokoh dan tiga tempat (Reksa Pustaka, Sasana Pustaka, dan Radya Pustaka) berada di Solo. Kita mengingat Nancy Florida. Di majalah Femina, 9 Agustus 1983, kita membaca profil peneliti asal Amerika Serikat kepincut (bahasa dan sastra) Jawa.
Masa lalu bercerita ketekunan: “Selama dua tahun belakangan ini, Nancy Florida menggumuli naskah-naskah Jawa kuna, menelitinya halaman demi halaman, membaca, mencatat, menyusunnya menurut kualifikasinya atau kronologisnya, membuat katalognya, dan merekam naskah-naskah tersebut ke dalam film mikro. Setidaknya sejumlah 4.000 judul buku atau sekitar 700.000 halaman naskah yang ditelitinya.” Ia menunaikan kerja besar dan mulia. Kita menganggap ia beruntung bisa bertemu dan mengurusi naskah-naskah turut menggerakkan peradaban Jawa.
Kemuliaan sebagai peneliti menanggungkan konsekuensi besar. Ia memiliki kaidah-kaidah keilmuan untuk disampaikan kepada publik. Ia sadar kesanggupan raga saat bergaul dengan ribuan naskah di Reksa Pustaka, Sasana Pustaka, dan Radya Pustaka). Tanggung jawab besar demi kelestarian dan studi mengakibatkan sakit. Pengisahan di Femina membuat kita kagum dan terharu: “Di Perpustakaan Mangkunegaran, misalnya, ia harus membenahi buku-buku tua dan berdebu yang terletak di dalam ruangan perpustakaan yang pengap. Tak heran jika paru-paru Nancy Florida kotor karena itu.” Sekian hari, ia batuk-batuk. Sakit tak membuat diri istirahat total. Ia tetap bekerja.
Kita mungkin tak sebanding dengan kemampuan Nancy Florida. Di keseharian, ia perlahan “menjadi” Jawa. Ia sadar bahwa berurusan tempat dan bergaul dengan naskah-naskah lama memerlukan kaidah atau adat. Deskripsi terbaca di Femina mengesankan penghormatan dalam kehadiran raga di Sasana Pustaka: “Seperti ketika sampai di teras bawah perpustakaan keraton, ia lalu menghadap ke pintu tengah keraton dan langsung menyembah, baru menyapa kerabat kerjanya. Juga ketika naik di tangga perpustakaan, ia melakukan sembah seperti itu tanpa canggung.” Kita membandingkan dengan tata cara orang masuk atau studi di perpustakaan-perpustakaan umum. Tempat, naskah atau manuskrip, dan adat turut berpengaruh dalam ikhtiar-ikhtiar pelestarian di Jawa.
Pengalaman berada di tempat-tempat berisi koleksi manuskrip atau naskah kuna tersajikan ke sidang pembaca dalam wujud artikel atau buku. Pada 2003, terbit buku besar dan tebal berjudul Menyurat Yang Silam, Menggurat Yang Menjelang garapan Nancy Florida. Kita mendapat pengakuan kenangan masa 1970-an: “Dari penutur kisah Jawa, khususnya Ki Anom Suroto, almarhum Ki Suratno Gunowiharjo, dan almarhum Ki Sutrisno, saya mendapat keterpesonaan terhadap penuturan Jawa, terhadap bahasa dan sastra Jawa. Perjumpaan saya pertama kali dengan manuskrip Jawa terjadi di perpustakaan Mangkunegaran dengan dorongan dari almarhum KRMTH Sanjoto Sutopo Kusumohatmodjo, yang padanya saya sangat berterima kasih atas bertahun-tahun dukungannya.” Nancy Florida menggarap dan merampungkan disertasi dengan keterpesonaan dan pergaulan bersama manuskrip-manuskrip di Solo. Ikhtiar serius dan penuh tanggung jawab mewujud menjadi buku dipersembahkan kepada sidang pembaca.
Pada abad XXI, pikiran kita mengenai manuskrip, perpustakaan, keraton, keilmuan, teknologi keaksaraan, dan kebijakan publik menimbulkan keruwetan. Gagasan bahwa perpustakaan itu tempat saja telah berubah. Pengertian manuskrip atau buku tersimpan di perpustakaan pun bergeser pengalaman. Kaidah-kaidah keilmuan makin teknologis, tak terlalu mewajibkan kepatuhan adat. Kita mulai terbiasa dengan kesilaman terlihat atau terbaca di gawai. Pengawetan dan perpindahan hasil pendokumentasian mengubah kesadaran ruang dan waktu. Perubahan terbesar adalah pengalaman bergaul dan membaca. Kita berada di zaman salah tingkah untuk menghormati manuskrip atau mengabaikan gara-gara gagal dalam acuan keaksaraan lama dan tata cara berpengetahuan. Begitu.