“Ru’yah shoolihah itu empat puluh eman bagian dari Kenabian” (hadis riwayat Imam Muslim)
Di dalam sub-bab berjudul “ Fiimaa ‘Arafa min Ahwaalil Mawtaa bil Mukaasyafah” (Hal-Hal yang Diketahui tentang Ihwal Orang Mati dengan Mukasyafah) dari bagian akhir kitab Ihya Ulumuddien karya Imam Ghazali diceritakan,bahwa Ibn Sirrin (lahir tahun 33 H/623 M),seorang sufi besar generasi Taabiin, didatangi oleh seorang yang menanyakan ihwal mimpinya.
“Aku bermimpi seakan ditanganku ada cincin (atau stempel) bergambar mulut para lelaki dan kemaluan perempuan, wahai Syaikh.”
“ Pada bulan puasa kamu pernah mengumandangkan adzan sebelum waktunya dengan sengaja,” jawab Ibn Sirrin cepat dan jelas.
“ Benar sekali, saya mengakuinya,” kata lelaki yang datang itu menjawab.
Dua gambar (shuwar) dari cincin (atau stempel) di tangan lelaki itu adalah memiliki makna tersendiri bagi seorang penafsir mimpi seperti Ibnu Sirrin. Gambar mulut laki-laki adalah perlambang dari orang sedang makan sahur.
Sedangkan kemaluan perempuan adalah perlambang orang masih menunaikan kewajiban biologisnya sebagai suami istri. Di mana keduanya kemudian terhenti lantaran orang yang datang menanyakan mimpinya itu mengumandangkan azan subuh lebih awal dari waktunya, atau sebelum waktunya.
Ibnu Sirrin dikenal sebagai sufi besar sehingga mencapai level (maqom) menafsir mimpi. Beberapa kitab yang disandarkan kepadanya semua terkait mimpi, seperti Muntakhabul Kalaam fii Tafsiiril Ahlaam, Ta’birur Ru’ya, Tasminiyatul ‘Abir fii ‘Ilmit Ta’bir, dan al-Lu’lu’ah fi Ta’biril Manam.
Semua karya Ibnu Sirrin terkait mimpi menunjukkan tentang pentingnya ‘mimpi’ sebagai wadah bagi semua orang untuk mengalami ‘barzakh’, perbatasan di antara dua batasan tanpa batasan. Mimpi juga wadah bagi tumpahnya gambar-gambar (shuwar) dari “alam gambar” (alam mitsal): sebuah alam yang lebih tinggi dari alam fisikal. Hanya orang tertentu yang mengalami kedua alam ini tanpa mediasi mimpi.
Pertanyaanya, kenapa seorang penafsir mimpi seperti Ibn Sirrin begitu cepat menafsirkan mimpi orang yang datang kepadanya? Ini mengingatkan kita kepada Nabi Yusuf AS, Sang Penerima Anugerah (shoohibul inayah), yang dari masa belia sudah dianugeri “pengelihatan tajam” akan hal-hal yang akan terjadi pada dirinya dan orang sekitarnya. Syaikhul Akbar Ibn Arabi menyebut Nabi Yusuf sebagai “pemegang rahasia” dari alam imaginal, sosok yang melintasi citra-citra, gambar, dan makna-makna sampai ke Realitas Yang Maha Tunggal.
Para Nabi dan Rasul Allah SWT adalah para “pelintas” (mu’abbir) berbagai citra dan makna dari alam imaginal, baik dalam keadaan jaga dan tidur. Mimpi yang mereka alami adalah sesuai denga realitas. Perjumpaan mereka dengan mahluk,citra,dan makna dari alam yang lebih tinggi sifatnya .
Apa Relevansinya hari ini?
Tentu yang dibicarakan di sini adalah mimpi dalam artian rukyaa shooliha. Paling tidak ada dua aspek terpenting dari persoalan mimpi dan para penafsirnya.
Pertama, bagaimana mimpi menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan seseorang. Ketika seseorang ‘melintas’ di alam imaginal ia memasuki alam yang lebih luas dari alam fisikal ini. Nalar yang akrab dengan hukum sebab akibat, hubungan plus dengan minus, dan sebagai rute yang lurus terlamnpui ketika seseorang ‘melintasi’ alam imaginal.
Orang dulu sudah terbiasa dengan keutamaan alam imaginal sehingga mereka setiap hari menyibukkan diri dengan upaya melintasi ‘batasan yang tak berbatas’ tersebut. Kita akrab dengan cerita bagaimana orang dulu dengan sengaja mencari para penfasir mimpi, dan mencari orang yang memiliki mimpi yang potensial untuk menangkap makna terdalam dari kehidupan. Kesibukan semacam ini tidak sama dengan mereka yang mendatangi dukun di desa-desa atau tukang tarot yang praktek di mall-mall.
Jadi, ‘omongan’ tentang mimpi dan imaginasi yang dibabar-ulang oleh banyak orang, seperti pada penelitian Amira Mittermier, tujuannya adalah ‘menyadarkan’ orang tentang semakin merosotnya kualitas pemaknaan manusia tentang kehidupannya. Salah satu resiko modernitas adalah menempatkan rasio sebagai patokan, dan memberi tempat yang terlalu terbatas pada imaginasi. Asupan imaginasi pun sangat terisolir karena dikonsumsi oleh segelintir orang, seperti karya sastra, musik, lukisan, dan sebagainya. Bisa saja kesenian menjadi hal sehari-hari seperti selalu dikatakan para seniman, tetapi infrastruktur kesenian akan berbicara lain.
Kedua, melintasi alam imaginal itu suatu pengalaman. Mereka yang melintasinya akan mengalami transformasi kehidupan. Pada jaman sekarang,aspek transformatif dari pengalaman imaginatif ini yang seringkali diabaikan dalam ‘omongan’ tentang mimpi dan imaginasi. Para Nabi,Rasul, dan para manusia suci memburu aspek transformasi imaginatif ini daripada tujuan lainnya. Seorang yang mengalami ‘pelintasan’ imaganatif biasanya akan meningkat kualitas kehidupannya, minimal secara maknawiah karena ia merasa terhubungan dengan berbagai hal yang tidak terbatas.
Permisalan dari orang yang menemukan gagasan, kemudian mendaptkan makna melalui ‘pelintasan’ imaginasi itu seperti orang yang amat kehausan kemudian menemukan air kelapa muda lalu meminumnya.
Lebih mudahnya, coba kita perhatikan penggalan saja Allah Yarhamhu W.S Rendra berikut ini :
Seorang lelaki datang di seberang kali
Ia berseru: “ Maria Zaitun, engkaukah itu?”
“Ya,” Jawab Maria Zaitun keheranan
Lelaki itu menyeberang kali
Ia tegap dan elok wajahnya
Rambutnya ikal dan mata lebar
Maria Zaitun berdebar hatinya
Ia seperti kenal lelaki itu
Entah di mana
Yang terang tidak di ranjang
Itu saying. Sebab ia suka lelaki seperti dia
“jadi kita ketemu di sini,” kata lelaki itu
Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya
Sedang sementara ia keheranan
Lelaki itu membungkuk mencium mulutnya
Ia merasa seperti minum air kelapa
Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu….
Mudahan kita merasakan pengamalam yang dahsyat seperti Maria Zaitun. Wallahu Yahdii ila shiratil mustaqim.
Mohon ijin utk mencetak artikel tentang mimpi ini dalam satu booklet.utk konsumsi pribadi. Matursuwon