Fatwa haram kembali digulirkan oleh para ulama pada salah satu program acara televisi nasional. Sebelumnya, acara Uya Kuya telah difatwa haram, kini giliran acara Karma, yaitu acara yang menyajikan seseorang dengan kemampuan supranatural membaca masa depan juga ikut diharamkan.
Ada beberapa alasan mengenai pengharaman acara tersebut. Namun, di antara alasan, yang paling menonjol adalah karena acara tersebut menyajikan praktik perdukunan atau ramalan yang dilarang dalam Islam.
Pemandu acara, Roy Kiyoshi, konon katanya memang memiliki keahlian dalam hal itu. Ia merupakan orang Indigo dengan kemampuan dapat membaca tanda-tanda melalui seperti garis tangan untuk meramal masa depan dan masa lalu seseorang.
Dalam bahasa Arab, orang dengan kemampuan seperti ini biasa disebut dengan kahin (dukun) atau ‘arraf (peramal). Meski ada yang membedakan antara istilah kahin dan ‘arraf, namun menurut Imam Nawawi, pada dasarnya keduanya sama, ‘arraf juga bagian dari jenis perdukunan (kahin).
Di dalam dunia mistikus Islam (tashawwuf) sendiri, ada orang-orang elit (khawash) dari kalangan mutashawwifin yang memiliki keistimewaan mengetahui hal gaib seperti demikian. Keistimewaan ini biasa disebut dengan istilah kasyf atau mukasyafah, yaitu tersingkapnya mata batin dari penghalang untuk mengetahui hal-hal gaib. Sehingga, sebagian dari mereka bisa membaca masa lalu atau masa depan seseorang (weruh sakdurunge wineruh) melalui jalan karamah.
Lalu apa yang membedakan kemampuan antara orang dengan kemampuan kasyf dan ‘arraf? Bukankah keduanya sama-sama memiliki kemampuan supranatural?
Ibnu Khaldun, cendekiawan Islam abad pertengahan di dalam kitabnya Muqaddimah mengulas mengenai orang-orang yang memiliki kemampuan supranatural mengetahui hal-hal gaib ini.
“Kita menemukan sebagian orang yang memiliki kemampuan memberikan informasi sebuah peristiwa sebelum peristiwa itu terjadi lantaran mempunyai tabiat yang berbeda (istimewa) dengan orang-orang lain,” kata Ibnu Khaldun.
Barangkali, apa yang dimaksud Ibnu Khaldun ialah orang indigo dengan kemampuan membaca masa depan seseorang. Menurut Ibnu Khaldun, mereka dapat mengetahui hal gaib karena tabir fisik mereka telah hilang hingga mereka bisa menyelam pada jiwa (ruh) yang disebut oleh Imam al-Ghazali sebagai tempat pusat Allah memberikan informasi (ilmu). Di dalam ruh ini, mereka bisa menggali pengetahuan-pengetahuan mengenai sesuatu yang gaib meski terkadang bercampur baur dengan ilusi-ilusi.
Al-Ghazali, sebagaimana disinggung pada salah satu karyanya, risalah ‘ilm ladunni, beliau membagi nafsu (jiwa) menjadi beberapa bagian, ada ruh hayawani (Jiwa kebinatangan),juga ruh thabi’i (karakter). Keduanya merupakan sesuatu yang memiliki hasrat untuk mengendalikan seseorang untuk memenuhi keinginan makan, syahwat dan emosi seperti kemarahan (ghadab).
Sedangkan ruh yang merupakan sebagai tempat pusat Allah memberikan informasi (ilmu), menurut Al-Ghazali bukan bertempat pada kedua ruh di atas, melainkan berada dalam jiwa yang disebut dengan istilah berbeda-beda oleh para ahli. Para filsuf menyebutnya sebagai nafsu an-nathiqah. Alquran menyebutnya sebagai nafsu al-muthma’innah, sedangkan para kalangan sufisme menyebutnya sebagai qalb.
Ruh ini, menurut Al-Ghazali juga merupakan pusat pengendali. Semuanya tunduk dan patuh pada kendalinya. Melalui ruh inilah kiranya Allah memberikan sebuah keistimewaan pada seseorang, sehingga ia dapat menggali informasi-informasi gaib.
Hilangnya tabir fisik hingga seseorang bisa menyelam pada dunia metafisik seperti ini, kemudian menemukan informasi gaib adakalanya karena lantaran faktor keistimewaan yang ada pada diri seseorang, seperti orang-orang indigo atau ada kalanya melalui laku batin (tirakat) dan yang lainnya.
Para mutashawwifin terkadang memiliki kemampuan supranatural demikian, mereka bisa membaca masa depan seseorang dan meramalkan hal-hal gaib. Pencapaian ini merupakan efek dari laku batin yang mereka jalankan. Ketika seseorang melakukan olah batin maka ruh mereka berkembang dan kekuatan fisik melemah, hingga efek dari itu mereka tenggelam pada kedalaman jiwa yang merupakan pusat pengetahuan.
Pada dasarnya, keistimewaan demikian bukanlah hal yang aneh. Bahkan, selain kalangan elit mutashawwifin pun bisa memperoleh keistimewaan supranatural seperti itu sepanjang mereka melakukan olah batin juga. Namun, yang membedakan antara kalangan sufi dan peramal, dukun, atau selainnya bahwa pencapaian menyingkap alam gaib bagi kalangan sufi bukanlah pencapaian tertinggi, bahkan mereka menganggap sebagai cobaan dan ujian. Sehingga, mereka cenderung menghindari dan menyembunyikan kemampuan supranatural agar tidak ditampakkan, terlebih menjadikannya tontonan di televisi.
Selain itu, menurut Ibnu Khaldun, kemampuan seperti ini tidak dapat dibenarkan jika muncul dari orang-orang yang tidak memiliki kejernihan moral. Ibnu Khaldun mengibaratkan kemampuan demikian seperti kaca. Ketika orang yang tidak memiliki kejernihan moral memiliki kemampuan demikian ibarat kaca yang kotor, maka bayangan yang dipantulkan dari kaca kotor adalah bayangan kotor dan jelek juga. Dampaknya pun juga tidak jernih. Hingga kemungkinan menyalahgunakan kemampuannya untuk semata kepentingan hiburan atau hanya untuk mencari uang lebih besar dibanding orang-orang yang memiliki kejernihan hati seperti para mutashawwifin.
Wallahu A’lam