Sedang Membaca
Memori Radya Pustaka dan Halalbihalal
Heri Priyatmoko
Penulis Kolom

Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Penulis buku “Keplek Ilat: Wisata Kuliner Solo”

Memori Radya Pustaka dan Halalbihalal

Radyapustaka

Museum Radya Pustaka mengalami keterasingan di tengah kota. Museum tertua di Nusantara yang dikelola bangsa pribumi itu mengalami kenestapan di kampung halaman Presiden Joko Widodo. Terlebih lagi, Kebonrojo atawa Taman Sriwedari yang menaunginya dedel duel gara-gara salah kebijakan serta larut dalam pusaran konflik tanpa ujung. Ditilik dari sejarah Islam, kawasan historis ini sesungguhnya memiliki arti penting. Contoh konkrit ialah memori Halalbihalal.

Sudilah membuka kamus Jawa-Belanda anggitan Dr Th. Pigeaud terbitan 1939. Penyusunan pustaka klasik ini sengaja disiapkan di Museum Radya Pustaka tahun 1926 atas titah Gubernur Jenderal Belanda. Dalam kamus tebal tersebut, pada urutan A dapat dipergoki perkataan “alal behalal” yang artinya: de complimenten (gaan, komen) maken (vergiffenis voor fouten vragen aan ouderen of meerderen na de Vasten/Lebaran). Kurang lebih maknanya sama seperti yang tersurat dalam kamus Bahasa Indonesia, penjelasan selarik kalimat itu adalah acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran, dan merupakan kebiasaan yang khas Indonesia.

Tidak sebatas “hutan kata”, kamus sejatinya jejak zaman, sekaligus saksi sejarah. Sarjana Belanda mumpuni tersebut merekam peristiwa Halalbihalal yang rutin dihelat di Solo dalam suasana Idulfitri. Fenomena sosial budaya ini dipandangnya unik. Maka, ia tanpa ragu merakit pegertian Halalbihalal ke tubuh kamus. Tatkala menyusun buku yang dirimbuni terminologi itu, Pigeaud dibantu para filolog dan linguis yang nongkrong di Kantor Radya Pustaka. Kebetulan jarak antara museum dengan lokasi Halalbihalal hanya sepelemparan tombak. Bagi penghuni Radya Pustaka tak meragukan Pigeaud sebagai orang Eropa yang menyuntuki bahasa Jawa dan saksi sejarah kemeriahan Halalbihalal.

Baca juga:  Kelenteng dan Masjid Bersanding di Bangka, Simbol dan Nilai Kerukunan

Sewaktu riset di Perpustakan Nasional beberapa tahun silam, saya menemukan secarik koran Darmo Kondo edisi 8 Desember 1937. Jurnalis mewartakan bahwa selama dua hari, di lapangan (stadion) Sriwedari diadakan openlucht bijeenkomst (pertemuan terbuka) ”halal bi halal” atau ”silahturahmi” atau ”Syawalan” dan Lebaran oleh federasi dari Reoekoen Kampoeng (RK) di seluruh kota Surakarta. Malam pertemuan itu dijubeli kurang lebih 10.000 orang, tanpa terkecuali perempuan. Bisa dibayangkan betapa semarak dan riuhnya kegiatan kultural itu. Tambah berkualitas dan gayeng dengan nampak pula batang hidung para petinggi yang berasal dari bangsawan Mangkunegaran, aristokrat Kasunanan, hoofd (kepala) penghulu, kaum intelektual, wakil pers, serta perhimpunan pergerakan. Stadion dipasangi luidspreker dan versterker agar para hadirin dapat mendengar pidato secara jelas.

Sekadar tahu, penduduk Solo kala itu “terpecah” gara-gara memiliki 2 junjungan (Paku Buwana dan Mangkunegara). Mereka hanya dipisahkan Poerwosariweg (sekarang jalan Slamet Riyadi). Maka, Halalbihalal merupakan ide brilian merekatkan ikatan persaudaraan lintas kelas, sekaligus membasuh jiwa yang rentan terlibat konflik. Selepas acara apik itu rampung, ribuan peserta Halalbihalal tidak langsung pulang ke rumah. Kebetulan, sisi timur lapangan Sriwedari menyediakan tontonan kebun binatang dan memanjakan lidah di warung Pak Amat yang menghidangkan risjtaffel. Tidak kurang jurnalis cum aktivis, Mas Marco Kartodikromo kesemsem dengan Taman Sriwedari hingga dilukiskan dalam novel Student Hidjo.

Kaki cukup melangkah 300 meter, para peserta Halalbihalal mengisi liburan dina Riyaya dengan menyambangi Museum Radya Pustaka seperti yang dilakukan Pigeaud. Bangsa Jawa detik itu bolehlah bangga, sebab Museum Radya Pustaka digarap serius oleh intelektual Jawa. Ia hadir berkat kerja keras lembaga Paheman Radya Pustaka yang lahir pada 1890. Mula-mula, Paheman Radya Pustaka bermarkas di ndalem Kepatihan. Tempat ini sesungguhnya terbuka untuk umum. Lantaran letaknya di halaman pepatih ndalem, tak ayal masyarakat umum segan menyambanginya (Hadiwijaya dkk, 1960).

Baca juga:  Menikmati Arsitektur “Arwana” Masjid Hati Beriman Salatiga

Sebagai nahkoda Paheman, Patih Sasradiningrat IV berunding dengan raja untuk memboyong seluruh koleksi dari Kepatihan ke Taman Sriwedari. Peristiwa ini dikekalkan dalam sebait kalimat: Duh kulup putraningsun sireku wus wantji, pisah lan djenging wang dsl. Perpindahan dilakukan pada Rebo Kliwon 22 Sura Alip 1843 atau 1 Januari 1913. Sementara Taman Sriwedari diresmikan Paku Buwana X pada 1899 Masehi dengan sengkalan Luwih Katon Esthining Wong. Artinya, perpindahan Radya Pustaka 14 tahun setelah Kebonrojo resmi dibuka untuk publik.

Dalam pustaka Urip-urip (1900) dijelaskan, Museum Radya Pustaka bertambah semarak dengan aneka kegiatan. Ambillah contoh, penerbitan majalah Sasadara, Cakrakanta dan Nitibasa untuk dibagikan gratis ke banyak sekolah. Berarti, ada kesadaran literasi yang tumbuh di kawasan ini. Digiatkan pula menerjemahkan naskah kesusastraan Jawa dengan menggandeng Sanabudaya agar publik bisa mempelajari pengetahuan yang tersekam di dalamnya. Spirit nasionalisme Jawa tersemaikan pula dengan menggelar kursus dalang, belajar gamelan, dan kursus bahasa Kawi (1926-1929) ditangani oleh Pigeaud dan Kraemer. Dihelat pula ceramah ilmiah saban bulan dengan meminjam pendapa Hadiwijayan agar muat banyak orang. Sarasehan ini diisi oleh ulama, pastur, pakar bahasa dan budaya, ekonom, hingga sarjana tatanegara.

Yang menarik, Radya Pustaka saban hari Minggu dan Lebaran tetap buka, sementara Senin meliburkan diri. Kala itu sudah muncul kesadaran pelayanan publik bahwa Minggu dan bulan Syawal merupakan hari yang bagus dipakai rekreasi masyarakat. Kehadiran Radya Pustaka menyajikan “wisata intelektual”, bukan hanya simbol taman kapujanggan.

Baca juga:  Menelusuri Pola Rekrutmen Teroris Perempuan: Berawal dari Ajakan Hijrah hingga Diminta Pindah ke Suriah

Demikianlah, makna ruang Radya Pustaka dan Taman Sriwedari yang menjadi penjaga ingatan sejarah Halalbihalal. Lantaran dinilai bagus, maka kegiatan lokal ini pascakemerdekaan diangkat oleh para Bapak Bangsa sebagai event skala nasional. Kini, Halalbihalal lestari, tapi Taman Sriwedari hampir mati. Pihak yang terlibat dalam sengketa tampaknya abai terhadap fondasi sejarah yang diletakkan pendiri bangsa dalam rangka mempersatukan masyarakat Indonesia dan mencerdaskan tunas bangsa tanpa pamrih.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top