Fotonya ketika bersepeda pernah ramai diperbincangkan di sosial media. Beribu sanjungan mengalir karena kebersahajaan tokoh nasional yang kerap disejajarkan sebagai Bapak Bangsa ini. Beritagar.id beberapa kali memergokinya mengayuh sepeda di jalan-jalan kampung dan di tepi sawah di pinggiran Kota Yogyakarta.
Lelaki di atas sepeda itu tak lain adalah Ahmad Syafii Maarif yang kerap dipanggil Buya Syafii. Ia dikenal sebagai ulama, cendekiawan, ilmuwan dan pendidik Indonesia yang mencurahkan segenap pemikirannya untuk bangsa Indonesia.
Tak hanya sepeda, kesederhanaan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini terpancar ketika Pito Agustin Rudiana dan Suryo Wibowo, kontributor dan fotografer Beritagar.id, berkunjung ke rumahnya di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu 17 Mei 2017.
Di ruang kerja sekaligus perpustakaan pribadinya, Buya bercerita lika-liku kehidupannya dari kecil sampai sekarang. Ruang kerjanya bak dikepung buku. Ratusan buku-buku tertata di atas rak-rak kayu yang dipasang menempel di berbagai sisi dinding.
Sebagian lagi buku ditumpuk di meja panjang yang di tengah ruangan karena tak ada rak yang mampu memuatnya. Ratusan buku lainnya disimpan di rumah anak semata wayangnya, Mohammad Hafiz.
Buku di rumah Syafii terus bertambah sepanjang waktu. Syafii selalu kelimpahan kiriman dari aneka penerbit buku dan kenalannya. Ia selalu melahap berbagai buku tentang filsafat, agama, dan sejarah. Novel pun suka dibacanya, terutama karya Hamka. “Memang belum semuanya sempat dibaca,” kata Syafii.
Ruangan yang menghadap ke halaman dan jalan kampung dengan dibatasi jendela berkaca. Sederetan tanaman suplir yang ditanam istrinya tumbuh di bawah jendela membuat Syafii betah berlama-lama di ruang pribadinya.
Buya Tak Hanya Milik Keluarga
Sepeda sangat lekat dengan sosok Buya Syafii. Gara-gara belajar sepeda, ia sempat keteteran belajar hingga peringkat kelasnya melorot. Syafii merasakan pengalaman bersepeda kayuh ketika bersekolah di Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangah, Sumatera Barat. Ketika itu, usianya sudah menginjak 18 tahun.
Ia merasakan “kemewahan”, mengingat di kampungnya masih jarang sepeda kayuh. Tanpa lelah dan menghiraukan pelajaran di sekolah, Syafii terus berlatih. “Berdarah-darah itu (berlatih) di lapangan bola,” kata Syafii.
Syafii kecil sempat ditolak menjadi siswa di Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tengah, Lintau -sekitar 48 kilometer dari kota kelahirannya, Sumpur Kudus, Sumatera Barat- karena tidak lulus tes pada 1950.
Syafii menyadari, ilmu yang diperolehnya selama mengikuti pendidikan di Sekolah Rakyat di Sumpur tak seberapa. Sekolah di Lintau adalah jujugannya setelah sempat tiga tahun menganggur selepas SR. “Kenapa masuk? Karena belas kasihan. Karena udik,” kata Syafii.
Tanpa mengantongi ijazah SR mengingat situasi revolusi kemerdekaan pada masa itu, Syafii kecil ternyata bisa mengikuti pelajaran di Muallimin.
Di kelas I, dia meraih peringkat ke-6. Lanjut kelas II hingga kelas III, Syafii menjadi juara kelas. Sayangnya gelar itu tak bisa dipertahankan saat ujian akhir kelas III. Peringkatnya merosot menjadi ranking ke-2 karena terlalu bersemangat belajar sepeda.
Mimpi bisa memiliki sepeda kayuh hasil keringat sendiri kesampaian saat Syafii merantau ke Yogyakarta. Tepatnya, setelah dia diangkat menjadi pegawai di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta pada Juni 1967. Saat itu, Syafii telah menikah dengan menyunting gadis yang dijodohkan dengannya, Nurkhalifah dari Seberang Panjang, Padang pada 1965.
Meski kehidupannya masih tak karuan dengan gaji pas-pasan, Syafii bisa menyewa rumah di kawasan Kotagede, Yogyakarta. Sepeda kayuh yang bisa dibelinya pun ala kadarnya. Catnya sudah terkikis, pelatnya sudah karatan, bannya mau pecah.
Sepeda yang harganya murah, tetapi tetap dirasakan mahal saat dia membelinya. Sepeda itu yang dikayuhnya dari Kotagede menuju kampus V Universitas Gadjah Mada (UGM) yang berada di Sleman. “Itu sepeda paling buruk di dunia,” katanya.
Syafii hampir saja menjadi seorang sopir usai lulus sekolah montir yang hanya beberapa bulan di Yogyakarta. Gara-gara Madrasah Muallimin Yogyakarta tak menerima lamarannya untuk melanjutkan sekolah ke kelas IV. Alasannya, ruang sekolah kelas IV sudah penuh.
Berkat dorongan kakak sepupunya, Mohammad Sanusi Latief (yang pernah menjadi Rektor IAIN Imam Bonjol), Syafii mendaftar kembali ke Madrasah Muallimin Yogyakarta. Dengan catatan, dia harus mengulang dari kelas III lagi.
Memasuki kelas V, ayahnya yang menjadi sandaran ekonomi keluarga meninggal. Syafii akhirnya menerima tawaran dari konsul Muhammadiyah Lombok, H Harist yang mencari siswa asal Minang untuk mengajar di Pohgading, Pringgabaya, Lombok Timur. Kebetulan ada dua orang Minang di sekolahnya. Syafii tak mengetahui jelas mengapa orang Minang yang dicari. Pemuda 21 tahun itu pun berangkat ke Lombok.
Setahun di Lombok, Syafii nekat kembali lagi ke Yogyakarta meski tak beruang. Ia masih memendam keinginan melanjutkan sekolah di Muallimin, tetapi malu karena harus satu kelas dengan adik kelasnya dulu.
Atas ajakan teman, Syafii berangkat ke Surakarta untuk mendaftar di Universitas Cokroaminoto. Meski hanya mengantongi ijazah kelas V, Syafii diterima di Fakultas Hukum dengan mengikuti sekolah pendahuluan setahun.
Pemberontakan PPRI/Permesta pecah. Komunikasi dengan keluarga di Sumatera Barat ikut terputus. Satu-satunya cara untuk menyambung hidup adalah bekerja. Apa saja. Mengajar anak-anak mengaji. Sempat pula memilah-milah besi tua. Kemudian menjadi pelayan toko grosir “Anti Mahal” milik orang Minang sebagai kasir. Di sana, Syafii bisa beberapa kali makan daging dalam sepekan.
“Lewat sejarah, saya banyak mengenal manusia” (Buya Syafii Maarif)
Murdiyo, temannya di Muallimin Yogyakarta mengajaknya mengajar di sebuah sekolah di Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Jaraknya 52 kilometer dari Surakarta dan ditempuh dengan menumpang kereta api bumel dari Pasar Pon ke tujuan. Pekerjaan sebagai kasir dilepasnya.
Persoalan muncul, karena membagi waktu antara kuliah dengan mengajar. Jadwal kuliah di Fakultas Hukum sangat padat. Satu-satunya cara adalah mencari jurusan yang jadwal kuliahnya tidak teratur dan bagian pengajaran adalah teman sendiri. Dapatlah Jurusan Sejarah dan Budaya dengan bagian pengajaran teman dari Sulawesi Utara yang juga putus kontak dengan keluarga akibat pemberontakan itu.
Memilih jurusan sejarah yang ‘dipaksa’ keadaan pun tak disangka Syafii. Apalagi latar belakang pendidikan Syafii adalah ilmu-ilmu tentang Islam. Bermula dari tak berminat menjadi tertarik dengan ilmu sejarah.
Melalu sejarah, Syafii dapat mendalami manusia, bangsa, dan aneka negara serta perbandingan antar bangsa di dunia. “Lewat sejarah, saya banyak mengenal manusia,” kata Syafii.
Di jurusan itu ada dosen dari Inggris. Syafii memperoleh nilai tertinggi 9,5. Kepandaiannya berbahasa Inggris mengantarkan Syafii dilamar menjadi guru tidak tetap di sekolah dasar negeri di Baturetno. “Dapat sedikit uang dan tiwul,” tutur Syafii mengenang masa lalunya.
Selepas meraih gelar sarjana muda di Universitas Cokroaminoto Surakarta, Syafii kembali ke Yogyakarta untuk melanjutkan program doktoral di Fakultas Keguruan Ilmu Sosial Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta (kini Universitas Negeri Yogyakarta).
Buya Syafii diangkat menjadi pegawai di IKIP Yogyakarta pada 1967. Gajinya hanya mencukupi untuk makan keluarganya dalam sepekan.
Syafii pun bekerja di Suara Muhammadiyah, media yang diterbitkan Muhammadiyah. Kerjanya menjadi korektor naskah. Pagi kuliah, siangnya ke Kantor PP Muhammadiyah yang saat itu masih di Jalan KH Dahlan.
Di masa itu, mendung menyelimuti hati suami istri perantauan itu. Anak pertamanya, Salman yang berumur hampir 20 bulan dipanggil Tuhan karena penyakit cacar. Bocah yang tengah lucu-lucunya itu meninggal dalam pelukan ibunya yang tinggal di Padang.
Hatinya kian remuk lantaran kepergian anaknya tak di depan matanya. Syafii mengenang anaknya dengan menggunakan nama “Salman Sumpur” sebagai nama pena dalam sejumlah tulisannya.
Di IKIP Yogyakarta, Syafii menjadi lulusan angkatan pertama pada 1968 dalam usia 33 tahun dengan judul skripsi “Gerakan Komunis di Vietnam (1930-1954)”. Tapi kemiskinan masih menderanya meski telah kerja macam-macam. Bahkan sekadar mengenakan kemeja putih dan dasi hitam untuk ujian pun, Syafii harus meminjam dari teman.
Kabar gembira datang. Anak keduanya yang diberi nama Ikhwan lahir pada 1968. Kesehatan Ikhwan memburuk pada tahun kedua usianya karena menderita miningitis, radang selaput otak.
Semangat Syafii untuk menimba ilmu tak padam meski anaknya sakit. Sembari merawat si kecil, Syafii terpilih melanjutkan kuliah ke Northern Illinois University (NIU), Illinois di bidang sejarah dengan beasiswa Fulbright pada 1972.
Hanya setahun di Amerika, Syafii memutuskan pulang untuk merawat Ikhwan bersama istrinya. Hingga pada 1973, anak keduanya dipanggil pulang Penciptanya.
Kehilangan anak untuk kedua kalinya sempat meluluhlantakan suami istri itu. Mereka sempat menyepi ke rumah Kepala SD Muhammadiyah Wirobrajan, Sukadijono di Cangkringan, Sleman. Dua pekan mereka tinggal di kaki Gunung Merapi itu untuk menenangkan diri dengan membaca Al Quran dan berzikir.
Setahun kemudian, 1974, anak ketiganya lahir. Namanya Mohammad Hafiz. Laki-laki yang kini telah berkeluarga itu seolah menjadi oase kedua orangtuanya di gurun gersang. Namun hidupnya berpetualang antar daerah, bahkan negara sebagai relawan bencana seperti Afrika, Sudan, Liberia, Pakistan, dan Filipina.
Tak hanya terbiasa hidup berjauhan dengan istri, Syafii pun membiasakan diri tak selalu bertemu dengan anaknya. Dalam beberapa kali waktu, anak beranak itu saling berjauhan satu sama lain. “Karena saya bukan hanya milik keluarga,” jawab Syafii.
Seperti suasana pagi itu terasa sepi sekali di rumah Syafii. Istrinya tengah pulang kampung beberapa hari. Padahal perempuan itu usai menjalani dua kali operasi penggantian kedua tempurung lututnya. Pertama pada September 2016 dan kedua pada Januari 2017. Proses operasinya pun tak jauh-jauh harus ke Jepang, Singapura, atau negara lainnya.
Cuci otak di Amerika
Keinginan melanjutkan sekolah kembali masih menguat di hati Syafii. Pada 1976, dia diterima di Ohio University di Athens dengan beasiswa Fulbright. Dia mendaftar di Departemen Sejarah untuk meraih gelar MA selama empat kuartal. Meski kuliah telah usai dan tinggal merampungkan tesis pada 1977, Syafii sudah mengambil program Ph.D di Chicago University.
Ia memilih Departemen Bahasa-bahasa Timur Dekat dan Peradaban dengan fokus kajian pemikiran Islam di bawah payung Studi Kearaban dan Islam. Dengan bantuan Amien Rais, Syafii mendapat rekomendasi dari Guru Besar pemikir Islam universitas tersebut, Fazlur Rahman.
“Saya belajar Islam lagi. Setelah sebelumnya mengelana belajar ilmu sekuler,” kata Syafii yang masuk kuliah di Chicago pada 1978.
Ketidakpuasan yang dirasakan Syafii selama belajar ilmu sejarah membuatnya bersemangat mempelajari ilmu keagamaan. Terlebih ada kerinduan belajar Islam di tingkat yang lebih tinggi.
Pelajaran Bahasa Arab selama tiga semester yang harus ditempuhnya di Chicago tak terlampau sulit baginya. Bahasa Arab pernah begitu akrab di lidahnya selama dia bersekolah di Sumpur, Lintau, hingga Madrasah Muallimin Yogyakarta.
“Karena sudah ada dasarnya. Tapi orang Amerika cepat pula menguasainya karena ada guru dari Mesir langsung,” kata Syafii yang lulus dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,86.
Selama berguru dengan Fazlur Rahman, Syafii mengaku otaknya dicuci tentang keislaman melalui kajiian Al Quran. Mengingat hingga akhir 1970-an, pemikiran Syafii masih mendukung keberadaan Negara Islam Indonesia (NII). Syafii pun mengaku pendukung pemberontakan PRRI/Permesta kala itu.
“Saya sembunyikan itu. Kan saya di Jawa. Kalau tidak, saya ditangkap,” kata Syafii.
Sebagaimana ditulisnya dalam “Titik-titik Kisar di Perjalananku”, Syafii pernah melontarkan pernyataan yang disebutnya vulgar kepada Rahman dalam bahasa Inggris.
“Profesor Rahman, mohon limpahkan kepadaku seperempat dari ilmumu tentang Islam. Saya akan mengubah Indonesia menjadi sebuah negara Islam,” kata Syafii waktu itu.
Fazlur Rahman yang geli mendengarnya pun membalas dengan pendek dan sopan. “Anda boleh ambil semua ilmuku,” kata Rahman. Hingga akhirnya hasrat mendirikan NII pun pelan-pelan terkikis sejak Syafii berguru kepada Rahman.
Syafii sering bertandang ke rumah Fazlur Rahman untuk berguru. Selain bersahabat baik dengan Amien Rais, Syafii juga berteman baik dengan almarhum Nurcholis Madjid. Saat itu, Nurcholis yang sempat kuliah di jurusan ilmu politik kemudian berganti satu jurusan dengannya.
Saat awal menimba ilmu di Chicago, usianya sudah mencapai 44 tahun saat itu. Syafii merasakan beban berat lantaran harus pula melunasi utang penulisan tesis yang terkatung-katung. Tesis berjudul “Islamic Politics under Guided Democrazy in Indonesia (1959-1965)” pada 1979. Belum lagi istri dan anaknya yang ditinggal di Tanah Air.
“Boleh bawa anak istri. Tapi nilai kuartal pertama harus A semua. Wah, piye iki,” keluh Syafii.
Lewat perjuangan yang tak putus, Syafii pun bisa memenuhi nilai A semua untuk kuartal I. Istri dan anaknya yang berumur empat tahun kala itu langsung terbang ke Amerika dengan bermalam di Hongkong. Syafii sempat was-was. Mengingat anak dan istrinya baru pertama kali itu ke luar negeri tanpa mengerti bahasa Inggris.
“Pakai bahasa Tarzan. Lihat dolar juga baru kali itu. Ya sudah, percaya Tuhan sajalah,” kata Syafii.
Mereka bertiga pun akhirnya berkumpul kembali dengan menyewa apartemen. Lagi-lagi dana beasiswa US$ 560 yang diperoleh tak cukup menghidupi mereka. Separuh uang itu habis untuk menyewa apartemen. Apalagi anaknya Mohammad Hafiz mulai bersekolah. Syafii menyambi menjadi tukang cuci piring di asrama mahasiswa Chicago, International House. Nurkhalifa pun bekerja menjadi pengasuh anak untuk menambah pendapatan.
Empat tahun empat bulan mereka di sana. Selesai meraih gelar Ph.D, mereka pulang pada awal 1983. Di Tanah Air, Syafii menjadi dosen dengan gaji kecil. “Terpaksa jadi kuli lagi. Mengajar ke Purworejo, ke Wates naik bus,” kata Syafii.
Pada 1985, setelah berpindah tempat tinggal delapan kali, Syafii pun bisa membeli rumah dengan cara kredit di Nogotirto. Rumah seluas 230 meter persegi itu yang ditempatinya hingga kini. Uang istrinya sisa gaji sebagai pengasuh anak di Amerika itulah yang menjadi uang mukanya. Selebihnya, Syafii pinjam sana-sini untuk mengangsur.
Nafas perekonomiannya mulai lapang sejak Syafii mengajar di Universitas Kebangsaan Malaysia pada 1990 selama dua tahun. Gajinya lumayan. Dalam istilah orang Malaysia, bermaya. Anak istrinya juga diboyong ke sana. Perjalanan jatuh bangun kehidupannya tak disesalinya.
Dia pun mencuplik firman Allah SWT dalam Al Quran Surat Ath Tholaq ayat 2-3. Artinya, barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.
Buya, Sang Manusia Gaul
Matahari tengah memancarkan panas teriknya di Sleman, Rabu 17 Mei 2017, selepas zuhur. Syafii menawarkan makan siang kepada Beritagar di sela sesi wawancara. Ia pun menunjuk warung makan sekitar 500 meter dari rumahnya.
Tanpa sungkan, Syafii menumpang motor yang dikemudikan fotografer Beritagar. Warung yang ditujunya adalah rumah makan Padang yang sederhana. Syafii tak pilih-pilih soal menu makanan.
Meski usianya sudah kepala delapan, aneka makanan berlemak masih dilahapnya. Syafii memilih lauk kikil sapi dua potong. Makannya lahap dengan tangan, tanpa sendok. Segelas air teh tawar siap sedia di sampingnya.
Tak khawatir kolesterol naik? “Ah tidak. Hanya (mengurangi) gula,” kata Syafii.
Selesai makan, Syafii berhenti di pos satpam perumahannya. Di pekarangan pos satpam yang menjadi satu dengan Balai RW itu, juga berdiri warung kecil yang menjual aneka sayuran, penganan, bumbu dapur, juga buah.
Syafii menuju warung dan bercengkerama dengan penjualnya yang sepasang suami istri. Dia membeli setandan pisang dan diberikan pada satpam.
Capaian pendidikannya yang tinggi hingga ke Amerika, menjadi Guru Besar di UNY, berbagai jabatan nasional yang pernah disandangnya, seperti Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2000-2005) dan anggota Dewan Pertimbangan Agung (1999-2003), tak membuatnya meninggalkan akarnya di lingkungan masyarakat.
Buya Syafii tetap salat berjamaah bersama di masjid yang sepelemparan batu dari rumahnya. Namanya masuk daftar salah satu imam dan khatib salat Jumat saban tahunnya bersanding dengan nama-nama imam dan khatib warga setempat.
“Saya memang dilahirkan sebagai manusia gaul sebenarnya,” ujarnya sambil tertawa.
Artikel ini pertama kali dimuat di Beritagar.id