Sedang Membaca
Ceramah Kiai Saifuddin Zuhri Mengenai Gesekan NU dan PKI di Lingkungan Parlementer Kala Itu
Akmal Khafifudin
Penulis Kolom

Menempuh pendidikan di UIN KH. Achmad Shiddiq Jember prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah. Kini ia mengajar di Ponpes Darul Amien Gambiran, Banyuwangi. Penulis bisa disapa di akun Instagram @akmalkh_313

Ceramah Kiai Saifuddin Zuhri Mengenai Gesekan NU dan PKI di Lingkungan Parlementer Kala Itu

Ceramah Kiai Saifuddin Zuhri Mengenai Gesekan NU dan PKI di Lingkungan Parlementer Kala Itu

Sudah umum kita ketahui bersama bahwa dua kubu ini selalu bergesekan baik di akar rumput maupun di parlemen. Tragedi Madiun Affair pada tahun 1948 menjadi catatan sejarah kelam akan puncak persaingan dua kubu yang mana satunya membawa ideologi agama (NU) dan yang satu membawa ideologi non agama (PKI).

Huru hara tersebut ternyata terulang lagi pada peristiwa malam kelam  G – 30 S / PKI berupa pembantaian 6 jenderal dan satu perwira yang merembet ke beberapa daerah. Begitulah salah satu gambaran huru hara yang terjadi pada masyarakat grassroot/akar rumput dengan tragedi 1948 dan huru hara yang terjadi pada lingkup internal ABRI dengan tragedi 30 September 1965.

Ketika ideologi kiri tersebut tumbuh subur di lingkungan pemerintahan kala itu, bagaimana dengan gesekan yang terjadi di lingkup parlemen ? Melalui sebuah buku “NU dan Aqidahnja” yang ditulis oleh Amak Fadzli dari hasil ceramah KH. Idham Chalid, KH. Saifuddin Zuhri, dan Harun al Rasjid saat penutupan Latihan Kader Partai NU yang diselenggarakan pada tanggal 09 – 21 Februari 1969 oleh PBNU di Desa Cisarua, Bogor. Maka penulis dari buku ini merangkum catatan stensil tentang ceramah yang disampaikan oleh KH. Saifuddin Zuhri mengenai gesekan NU dan PKI di lingkungan parlementer kala itu.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (46): Al-Istilah, dari Pendidikan Pra Nikah hingga Pendidikan Seks ala Pesantren

Kiai Saifuddin Zuhri merupakan Menteri Agama Republik Indonesia yang menjabat pada era Kabinet Kerja III, Kabinet Kerja IV, Kabinet Dwikora II, dan Kabinet Ampera I ini dalam latihan kader Partai NU menceritakan beberapa gesekannya sebagai tokoh Syuriah NU dengan para dedengkot bintang timur PKI.

Dalam buku yang diterbitkan oleh Toha Putra Semarang pada bulan November 1969 tersebut, sempat beredar rumor bahwa NU adalah pengusul paham Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunisme), namun hal itu dibantah oleh beliau bahwa sejatinya NU – lah yang paling getol menolak paham Nasakomnya Bung Karno. Sempat pula diisukan bahwa NU bergandengan tangan dengan PKI, hal tersebut juga dibantah dengan penjelasan bahwa ketika memasuki ruang sidang Konstituante semua pihak dari beragam partai duduk bersama dan tidaklah pernah petinggi dari Partai NU bertemu face to face dengan petinggi dari PKI.

Salah satu bukti penolakan Partai NU tentang paham komunisme di lingkup parlemen adalah ketika kedutaan besar Uni Soviet hendak diberi tempat di Jakarta, maka NU yang menjadi garda terdepan dalam hal penolakan ini. KH. Saifuddin Zuhri juga menuturkan bahwa segala cara dan upaya dilakukan oleh kelompok Islam guna membendung ideologi “anti Tuhan” ini. Baik itu ketika Buya Hamka digugat pemikirannya oleh PKI, maka NU (melalui DPA / Dewan Pertimbangan Agung bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Idham Chalid, serta KH. Saifuddin Zuhri) dan Duta Masyarakat tampil membela pemikiran Hamka.

Baca juga:  Kitab Ushul an-Nayyirat, Kitab Ilmu Qiraat Terbaik Karya Ulama Perempuan 

Dalam menghadapi gagasan Komunisme di lingkungan parlementer, NU menggunakan trilogi pemikiran yang diterapkan oleh KH. Idham Chalid, yakni : 1. Tetap pada prinsip sendiri, 2. Mengenal prinsip orang lain, 3. Sadar akan kondisi dan situasi. Ketika masyarakat melalui petinggi PBNU kala itu menyampaikan aspirasinya terkait pembubaran PKI kepada Bung Karno, maka kemudian Bung Karno mengajak berdialog demikian, “Apakah PKI tidak berjasa bagi bangsa ini ?” dan “Apakah selain PKI tidak salah ?”.

Oleh KH. Saifuddin Zuhri pertanyaan Bung Karno tersebut dibalas dengan argumen demikian, “Apakah Masyumi tidak berjasa ? Apakah selain Masyumi tak bersalah ?”. Tentu pertanyaan menohok yang diajukan KH. Saifuddin Zuhri merupakan pancingan kembali kepada Bung Karno akan keputusannya yang telah membubarkan Masyumi sebagai parpol. Bahkan di hadapan Sang Putra Fajar tersebut KH. Saifuddin Zuhri tak segan mengatakan, “Menurut saya Masyumi juga pernah berjasa, dan karena itu pernah menerima balas jasa.

Sukiman – Natsir – Burhanuddin pernah diberi kesempatan menjadi Perdana Menteri. Jikalau Masyumi dinyatakan bersalah lalu dibubarkan, maka mengapa PKI yang terang – terangan memberontak tidak dibubarkan ?”. Pertanyaan tersebut tentunya menjadikan Bung Karno diam dan terpojok. Waba’du, itulah gambaran kecil gesekan NU dan PKI yang terjadi di lingkup parlementer dan seharusnya menjadi ibrah (pelajaran) bagi kita semua. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Scroll To Top