Sedang Membaca
Perjalanan Tasawuf dari Masa ke Masa: Dari Rasulullah hingga Para Wali Terakhir (3)

Perjalanan Tasawuf dari Masa ke Masa: Dari Rasulullah hingga Para Wali Terakhir (3)

tasbih tarekat

Para Sufi, yang awal maupun yang akhir, sepakat bahwa salah seorang yang paling terkemuka di kalangan mereka adalah al-Junayd. Bahkan syekhnya sendiri, as-Sarri as-Saqati, yang juga termasuk di antara guru-guru Tasawuf terkemuka itu, konon telah menyatakan bahwa derajat sang murid (yang sekaligus keponakannya) berada di atas tingkatannya sendiri. Memang, dalam satu hal, ucapan semacam ini tak bermakna. Sebab kalaupun sebutan ‘terkemuka’ dapat digunakan oleh Sarri atau wali lainnya, artinya dia telah mencapai peluruhan (fana) dalam Esensi Ilahi, yakni dalam Keagungan Mutlak.

Pembandingan hanya berlaku pada tataran manifestasi Ilahi yang berada di bawah derajat Diri Tertinggi dan Tak Termanifestasikan. Sebagaimana ujaran Syekh al-‘Alawi: “Manifestasi Ilahi beragam kadarnya dari satu orang ke orang lain. Mata batin manusia itu tersusun dalam hierarki dan wadah-wadah tersembunyi pada diri seseorang yang lebih berkapasitas daripada yang lain. Meski demikian, dia benar-benar menampakkan Diri-Nya kepada masing-masing menurut kapasitasnya, dan selanjutnya dia mengulas takaran tak tertandingi dalam kapasitas batin Rasul untuk menerima Manifestasi-manifestasi Ilahi.

Untuk mengetahui hierarki para wali ini, yang dapat kita lakukan adalah menerima pendapat-pendapat mereka sendiri, dan inilah gelar-gelar yang mereka nisbatkan kepada al-Junayd: ‘Tuannya Sekelompok Orang’, ‘Meraknya Kaum Fakir’, dan ‘Syekhnya para Syekh’.

Di samping ujaran-ujaran al-Junayd yang telah dikutip, dia juga menambahkan, tentang karamah keakraban (uns) dengan Allah: “Aku mendengar Sarri berkata: ‘Seorang hamba dapat mencapai suatu tahapan (maqam) demikian sehingga jika wajahnya teriris pedang dia tidak akan merasakannya’, dan agaknya hatiku membenarkan hal ini, bahkan sebelum saat itu tiba ketika aku melihat dengan jelas benarlah yang dikatakannya”.

Terkait dengan al-Junayd dan para Sufi sezamannya, sungguh relevan kita telaah masalah yang menyangkut kemabukan spiritual (sukr) dan kesadaran spiritual (sabu). Sebagaimana telah kita lihat, keduanya bertalian dengan dua macam rahmat yang dipanjatkan untuk Rasulullah sesuai dengan perintah Al-Qur’an dan, yang kemudian terbias kepada pemohon menurut kapasitasnya untuk menerima rahmat-rahmat itu. Artinya, seseorang tidak akan dapat disebut Sufi dalam pengertian sebenarnya jika dia tidak mengambil bagian di dalam keduanya (sukr dan sabu).

Bagaimanapun juga, dapat saja dibuat distingsi antara wali-wali perorangan atas dasar apakah kemabukan itu tetap benar-benar batiniah atau karena luapan (ekstase) yang kadang-kadang melebihi kesadaran lahiriah. Perbedaan-perbedaan apa pun antara Hasan dan Rabi’ah, kemabukan spiritual mereka tak tampak termanifestasikan dengan lugas secara lahiriah. Dan hal yang sama juga berlaku bagi al-Junayd, bahkan dalam kadar yang lebih mencolok. Tetapi tidak demikian dengan Abu Yazid al-Bistami, sebagai contoh. Beberapa di antara cetusan ungkapan ilhaminya (syatahat)—seperti dilontarkan al-Hallaj sekitar lima puluh tahun kemudian – mengobarkan banyak kebencian terhadap Tasawuf di kalangan para otoritas eksoteris. Abu Yazid-lah yang berseru: “Mahasuci Aku (Subhani)! Betapa besar Keagungan-Ku (Ma a’zama sya’ni)!” dan al-Hallaj pun diseret ke tiang salib lantaran ucapannya: “Akulah Kebenaran” (Ana al-Haqq).

Sebelum peristiwa itu para Sufi telah mengambil sikap bertahan. Generasi-generasi kedua dan ketiga Islam menyaksikan munculnya berbagai sekte bid’ah yang beragam jenisnya, dan kalangan otoritas eksoteris, yang demikian sadar akan ancaman bid’ah ini, selamanya benar-benar tidak dapat memilah antara konsepsi agama yang berbeda dengan konsepsi-konsepsi mereka karena penyimpangan dan karena kedalaman. Terlebih lagi pada masa itulah tarekat-tarekat Sufi mulai terbentuk, dan ketika kelompok-kelompok melibatkan diri, berbagai kecurigaan sangar boleh jadi kian meruncing dan tindakan semakin dapat dilancarkan. Semangat permusuhan yang ditujukan ke arah Tasawuf dengan pengadilan selama tujuh bulan terhadap al-Hallaj yang disusul dengan penghukuman itulah yang hendak dicegah oleh para Sufi sendiri.

Baca juga:  Syariat Tanpa Hakikat adalah Kosong

Tetapi, apa pun dampak lanjutan yang mungkin muncul, kesyahidan al-Hallaj itu akhirnya membuktikan adanya sumber kekuatan bagi status para mistikus dan mistisisme dalam keseluruhan umat. Fatwa bahwa ‘tidak ada yang memiliki hak untuk mengeluarkan ucapan semacam itu’ berangsur-angsur digugurkan karena imbauan ‘dalam keadaan seperti itu bukanlah manusianya yang melontarkan ucapan’. Dan ucapan itu pun kini, dengan meningkatnya jumlah kaum Muslim, menjadi bagian penting dari bukti bahwa al-Hallaj adalah seorang wali terkemuka Islam, sementara itu hal tersebut bermanfaat sebagai pernyataan umum bahwa para Sufi tidak selamanya harus bertanggung jawab secara langsung terhadap ucapan mereka.

Apa yang sebenarnya diraih al-Hallaj hanya dapat menjadi efektif karena pengakuan yang lebih luas terhadap Tasawuf, yang terbentuk tahap demi tahap selama 200 tahun berikutnya. Hal ini sebagian dicapai oleh risalah-risalah Sufi yang lebih sederhana, yang dapat menjadi jembatan antara para mistikus dan umat secara keseluruhan. Tetapi, inilah mungkin yang disebabkan oleh sesuatu kejadian dalam kehidupan seorang otoritas eksoteris ulung dalam penggal kedua abad XI, yakni al-Gazali, yang memiliki pengalaman intens dan memang bernasib baik untuk menepatkan perlunya tasawuf. Dia melihat kebenaran bahwa jiwa yang cerdas itu, tidak akan gagal melihat beberapa jalur yang hilang tempat eksponen-eksponen itu sendiri.

Dengan mengabaikan dimensi mistisisme, jiwa semacam itu akan berada dalam bahaya menjatuhkan pertimbangan berdasarkan agama dan mengeras dalam skeptisisme. Inilah yang terjadi pada diri al-Gazali. Setelah menjadi seorang teolog dan ahli hukum terkemuka di Baghdad, dia tiba pada suatu titik krisis ketika – sebagaimana yang dia tuturkan pada kita – selama hampir dua bulan dia hanyut dalam keraguan akan kebenaran agama. Kontaknya dengan Tasawuf itulah yang menyelamatkan dirinya. Dan risalah otobiografisnya, Al-Munqiz min ad-Dalal (Penyelamat dari Kesesatan), merupakan peneguhan terhadap Tasawuf sebagai satu-satunya penangkal bagi skeptisisme dan sebagai aspek tertinggi agama.

Karya raksasa dan paling terkenal, Ihya’ ‘Ulum ad-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama), ditulis sebagai upaya mengingatkan umat terhadap bias mistis yang telah mencirikan Islamnya Nabi serta para Sahabat. Namun, tidak seluruh tulisannya dimaksudkan untuk semua orang. Dalam telaahnya tentang Nama-nama Ilahi, sedemikian jauh dia menyatakan bahwa puji-pujian dengan Nama Allah adalah suatu cara penuhanan (ta’alluh), sedang dalam Misykat al-Anwar (Relung-relung Cahaya)-nya dia paparkan secara rinci doktrin Kesatuan Wujud (Wahdahtul al-Wujud) dengan pengarahan yang sama sekali tidak bisa ditawar.

Bila al-Gazali melebihi siapa pun yang boleh dianggap merintis jalan bagi pengakuan umum terhadap Tasawuf, maka tokoh sezamannya yang lebih muda inilah, Abd al-Qadir al-Jilani (berusia 33 tahun saat al-Gazali wafat pada 1111), yang menjadikan pengakuan itu benar-benar operatif. Seperti pendahulunya, Abd al-Qadir pun agaknya juga seorang otoritas eksoteris. Konon, ketika akhirnya dia memasuki sebuah tarekat Sufi, sebagian anggota baru sejawatnya cenderung menyesali hadirnya penganut Mazhab Hanbali ini di kalangan mereka. Hanya sedikit yang mengetahui bahwa selama delapan abad berikutnya dan malah lebih – jadi, hingga dewasa ini – si pemula ini telah ditakdirkan menjadi ‘Sultan Para Wali’ (Sultan al-Auliya’).

Baca juga:  Menari Bersama Kekasih (3): Laku Thariqah

Barangkali benar juga dikatakan bahwa sejak wafatnya Khalifah ‘Ali tak seorang pun yang telah melatih pada dirinya sendiri dengan suatu pengaruh spiritual atas dimensi-dimensi yang begitu jauh menjangkau, sebagaimana dilakukan ‘Abd al-Qadir. Karunia-karunia batiniahnya sebagian meluap menjadi bakat lahiriah berupa kefasihan lidah yang sungguh luar biasa. Selama bertahun-tahun dia menyampaikan khutbah-khutbah Tasawuf di hadapan umum di dekat gerbang kota Baghdad. Yang terpesona bukan saja dari kalangan Muslim tetapi juga orang-orang Yahudi dan Nasrani, banyak pula di antara mereka yang kemudian beralih ke Islam lantaran Tasawuf. Tarekatnya pun tersebar luas hampir ke seluruh pelosok dunia Islam dalam satu generasi saja setelah wafatnya.

Pembentukan Tarekat Qadariyah sebagai cabang Tarekat Junaidiyyah yang lebih dulu – dalam tarekat ini pula ‘Abd al-Qadir sendiri ditahbiskan sebagai anggota—disusul dengan pendirian berbagai cabang tarekat-tarekat lain yang juga lebih tua. Tarekat Chisyti, yang didirikan oleh sejawat ‘Abd al-Qadir yang lebih muda, Mu’in ad-Din Chisyti (w. 1236), telah menjadi salah satu tarekat Sufi yang tersebar luas di India. Dalam kurun ini pula muncul penyair mistik Persia, Jalal ad-Din Rumi (w. 1273), yang tarekatnya – Tarekat Mawlawiyyah (Mavlevi) – jelas dalam kaitannya dengan tarian sakral itu. Betapa pun, tarekat Abu Hasan asy-Syazili (w. 1258) itulah yang paling layak disejajarkan dengan tarekat ‘Abd al-Qadir dalam hal penyebarannya yang, pada keduanya, jauh lebih besar daripada yang terlihat, karena hampir semua tarekat dengan beragam nama yang dibentuk selama 600 tahun terakhir memang berasal dari salah satu tarekat ini.

Tidak diragukan lagi, Abu Madyan Syu’ayb dan Muhyi ad-Din Ibn ‘Arabi, yang juga tokoh-tokoh besar zaman ini, setara kemasyhurannya dengan keempat tokoh yang baru saja disebut. Abu Madyan dilahirkan di Sevilla, tetapi kemudian melawat ke Timur dan menetap di Baghdad selama ‘Abd al-Qadir hidup di sana. Oleh ‘Abd al-Qadir, konon dia diserahi jubah pentahbisan (khirqab). Akhirnya, dia kembali ke Barat dan melewatkan sisa hidupnya di Aljazair. Di kawasan ini pula dia sedikit banyak masih memimpin dari nisannya di luar kota Tlemcen.

Muhyi ad-Din Ibn ‘Arabi dapat dianggap sebagai salah seorang penerus Abu Madyan, karena akrab dengan beberapa muridnya dan selalu memperbincangkannya dengan rasa hormat yang amat tinggi, bahkan kadang-kadang dia menyebutnya sebagai ‘Syekhku’. Lebih dari itu, meskipun mereka tidak pernah benar-benar berjumpa, jalinan spiritual antara keduanya memang dikukuhkan, ketika Muhyi ad-Din masih muda, oleh karamah ajaib pertemuan ruhani.

Dia menceritakan bahwa pada suatu petang dia baru saja menunaikan salat Maghrib di rumahnya di Sevilla, ketika pikiran-pikiran Abu Madyan menyelinap ke dalam benaknya dan dia merasakan kerinduan yang sangat untuk menemuinya. Selang beberapa saat, seorang laki-laki masuk dan mengucapkan salam, dan berkata bahwa dia baru saja melaksanakan salat Maghrib di Bugia, Aljazair, bersama Abu Madyan, yang menyuruhnya segera menemui Ibn ‘Arabi untuk menjabarkan kepadanya: “Tentang pertemuan kita secara badani, Allah tak mengizinkannya. Namun percayalah, karena saat yang ditetapkan bagi pertemuan kita dijamin oleh rahmat Allah”.

Baca juga:  Merayakan Keajaiban di Sekitar Kita

Pewaris spiritual lainnya dari Abu Madyan yang sama-sama masyhur adalah ‘Abd as-Salam Ibn Masyisy, yang agaknya juga tidak pernah bertemu dengannya tetapi dipertalikan dengannya melalui seorang perantara. Ibn Masyisy adalah guru Abu al-Hasan asy-Syazili, dan bersama-sama dengan Abu Madyan mereka menaikkan tiga generasi sebagai tiga serangkai yang menampilkan – jika peragaan ini memang perlu – bahwa secara relatif pena tidak penting dalam Tasawuf. Mengenai risalah tertulis, di antaranya berupa aforisme dan litany. Namun begitu besar keyakinan akan ketinggian spiritual mereka di kalangan para Sufi generasi-generasi berikutnya hingga kini, sehingga nyaris mustahil bahkan bagi para sarjana yang paling tekun dengan dokumentasi sekali pun untuk menganut pendapat lainnya.

Di sisi lain, Muhyi ad-Din Ibn ‘Arabi yang sezaman dengan mereka, adalah penulis paling produktif di antara semua penulis Sufi. Meski demikian, dia bersikeras bahwa ini bukan tujuannya, tetapi suatu desakan yang semata-mata dipaksakan kepadanya. Menulis suatu karya hanyalah cara mencapai ketenteraman dari api ilham khusus yang mendorong dia menuliskannya. Malah dia mengklaim belum pernah menulis apapun kecuali karena desakan semacam itu. Sadar akan kewenangannya, dia pun cemas jangan-jangan tulisan-tulisan itu kelak dianggap bukan dari dia – suatu kecemasan yang ternyata terlalu dicari-cari – dan tak lama sebelum meninggal dia menyusun suatu daftar mengenai 270 karyanya, yang terbagi dalam beberapa kumpulan. Salah satunya adalah “kitab-kitab yang telah dibisikkan ke dalam kalbuku oleh Kebenaran Yang Mahaagung agar aku menuliskannya, namun belum menyuruhku mengungkapkannya kepada manusia”.

Dari kumpulan yang jumlahnya 176 kitab ini, hanya 16 kitab yang sampai kepada kita, sedang di antara tulisan-tulisan yang tanpa sengaja dia sembunyikan itu agaknya banyak pula yang hilang. Beruntung sekali, yang selamat itu adalah sebuah khazanah prosa dan puisi yang memberikan bekas dan pengaruh tak terlukiskan pada Tasawuf sejak saat itu. Karyanya yang paling sering dibaca dan diulas, Fushush al-Hikam (Hikmah Para Nabi), yang terbagi dalam 27 pasal – masing-masing untuk setiap Nabi, dikaruniakan kepadanya dalam satu malam ketika dia telah berusia 65 tahun. Di sini pun, seperti pula pada karya-karya lainnya, dia jabarkan doktrin Kesatuan Wujud (Wahdahtul al-Wujud) itu dengan amat lugas dan seringkali secara provokatif, sehingga beberapa pemangku otoritas eksoteris, tanpa menyebut sejumlah sarjana Barat, telah keliru menduga bahwa karya-karya tersebut adalah aliran pemikirannya sendiri yang khas dan asli.

Demikian pula para cendekiawan lainnya, dengan menitikberatkan perhatian pada karya ini serta mengesampingkan tulisan-tulisannya yang lain, mereka telah keliru menggolongkan dia sebagai seorang filsuf ketimbang seorang mistikus.

Bersambung..

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top