Menyambung kisah ‘Kiai Abdurrahman Wahid Ketawa’ sebelumnya, saya masih berpegang kepada cerita mendiang Bob Sugeng—tentang ‘cultural shock’ cah-cah Yogya yang datang ke Clayton Melbourne dengan orang tuanya.
Lanjutan dari cerita ini saya sampaikan kepada Kiai Abdurrahman Wahid. Dan, seperti biasanya, sang kiai tertawa ngakak. Sebuah ketawa khas, seperti sering kita lihat dalam banyak gambar yang tersebar di media massa. Bagaimana lanjutan dari cerita itu?
Begini. Sehari atau dua hari kakak-beradik itu setiba di Clayton, Melbourne, mereka didaftarkan ke sekolah dasar setempat. Karena faktor politik, kakak-beradik ini tak ada halangan memperoleh pendidikan. Partai Buruh yang mendominasi negara bagian Victoria sangat berpihak kepada orang ‘miskin’. Bukan saja pendidikan dasar yang mendapatkan subsidi, pendidikan menengah dan atas pun tidak dipungut biaya. Sekolah-sekolah di Australia bahkan memberikan tunjangan untuk murid-murid yang tidak mampu sebanyak $100 dollar per anak didik, tiap semester. Dana itu bisa digunakan membeli sepatu, misalnya. Maka, usai pulang sekolah, di hari ketiga, kedua kakak beradik itu saling menceritakan pengalamannya menjadi murid baru di sana:
“Jebul neng kene akeh turis e,” kata sang kakak. (ternyata di sini banyak turisnya)
“Iyooo,”sambut sang adik yang perempuan. (iya)
“Sak sekolahan kui konco-koncoku turis kabeh jal.” (satu sekolahan, teman-temanku itu turis semua)
“Bener,” sambung sang kakak. “Malah guru-gurune podo wae turis kabeh.” (malah, gurunya itu juga sama, turis semua).
Dan dengan sedikit berteriak, sang adik mengatakan: “Hah, kae neng buri turise ono sing dadi polisi. Ancen kebak turis neng kene” (hah, itu di belakang itu turisnya jadi polisi, emang banyak turis di sini).