Setelah acara bedah bukunya, Perasaan Orang Banten (POB) di lembaga kebudayaan Banten, Rumah Dunia, atas prakarsa sang Duta Baca Indonesia, Gol A Gong, saya menyempatkan diri bertandang ke pesantren Al-Bayan, berjumpa dengan Hafis Azhari untuk menghadiri bedah buku esainya yang kelima, “Filsafat Hidup K.H. Rifai Arief” selaku pendiri pesantren modern pertama di wilayah provinsi Banten.
Seusai pertemuan itu, sambil menyantap makan siang bersama, saya sempat menanyakan pada Hafis Azhari, “Benarkah orang Indonesia itu murah senyum, suka bercanda dan berkelakar seperti yang tergambar dalam narasi novel Anda, Perasaan Orang Banten?”
Ia membiarkan pertanyaan itu menggantung belum terjawab, namun setelah makan siang dan salat zuhur berjamaah, Hafis mengulas secara panjang-lebar yang diawali dengan kata-kata: “Tergantung dari sudut mana kita memandang orang Banten sebagai miniatur karakteristik manusia Indonesia.”
Dalam novel POB memang penokohan yang ditampilkan cukup jelas, yakni kelas pasar dan pedagang, kepolosan kaum politisi, pengusaha maupun artis kampung, bahkan seting lokasi yang ditampilkan di sekitar gardu ronda, warung kopi Pak Salim, warung kelontong Bi Siti, kios cukur Pak Majid, lika-liku kampanye pemilu dan kasak-kusuk politisi di lingkungan pesantren dan seterusnya. Kalapun ia menokohkan orang-orang gila dan “kesurupan” yang keranjingan amalan-amalan agama yang kebablasan, penokohan itu ia tuangkan dalam karakteristik seniman (Taufik) atau seorang marbot (Tohir) yang tiba-tiba senewen karena kehilangan kembang desa yang diam-diam sangat dicintainya.
Penulisnya melihat, setidaknya ada sebagian masyarakat Indonesia yang senang bergurau, bercanda dan berkelakar sebagaimana gaya Gus Dur atau Gus Baha di kalangan NU, dan faktanya, organisasi terbesar dan terheboh di republik ini tak lain adalah Nahdlatul Ulama (NU). Itu berarti, bahwa kelas pedagang, pengusaha, politisi, tukang pangkas rambut, seniman bahkan gembel dan pengemis seperti Mbah Durip dan Nyi Mumun, amat sangat berbakat menjadi anggota NU dan ngeriung bersama-sama. Iya enggak, Sobat?
“Hidup ini cuma persinggahan sementara, hanya minum sejenak, sing penting ngumpul… begitu ya begitu, tapi mbok ya jangan begitu… kita harus santai dan rileks meskipun kehidupan ini bukan sekadar permainan Tuhan….”
Kira-kira seperti itulah kelakar dan guyonan orang Indonesia di sekitar gardu ronda perempatan Jombang, seakan hilir mudik antara Jabariyah dan Qadariyah, takdir dan ikhtiar, idealisme dan eksistensialisme, bahkan Tuhan dan dewa-dewi dan seterusnya. Kalau Anda menyantap bakwan, pisang goreng maupun nasi uduk di warung Bi Siti, itu akan dipandang biasa saja walaupun dengan hanya memakai jari-jari tangan. Tetapi, jika Anda makan nasi di Eropa dan Amerika tanpa memakai sendok, maka orang-orang akan terheran-heran dan geleng-geleng kepala.
Di kalangan warga NU, mungkin saja iman Anda sudah mengangkasa dan melampaui buana (makrifat), tetapi Anda tak boleh mengumbar sinisme atau mencaci-maki keimanan mereka yang masih percaya pada dewa-dewi dan segala perangkat keris dan cincin, yang memang memerlukan waktu bagi proses pendewasaan iman mereka.
Dalam suatu pertemuan di pesantren Al-Bayan (baca: kompas.id, 14 November 2021) seorang mahasiswa mengangkat tangan, seraya menyatakan bahwa buku karangan Hafis telah mengubah jalan hidupnya, dari manusia jasmani menuju manusia rohani. Meskipun, mahasiswa itu tidak menyebutkan buku mana yang dia maksud. Apakah jenis prosa ataukah karya-karya esainya yang telah terjual ratusan ribu eksemplar hanya di lingkungan pesantren di Banten. Karya esainya tentang lika-liku pesantren modern, “Mewujudkan Cita-cita K.H. Rifai Arief” telah menjadi buku pegangan wajib bagi kalangan santri, termasuk ribuan guru dan asatidz, khususnya di pesantren modern Daar el-Qolam (Rumah Pena), pesantren La Tansa, hingga pesantren yang dipimpin para alumni La Tansa, Al-Bayan dan Daar el-Qolam di seluruh Indonesia.
Dalam novel POB, secara apik dia gambarkan lika-liku kehidupan masyarakat Indonesia yang tercermin dalam lingkup perkampungan Jombang, Cilegon, suatu daerah bekas kerajaan Pasundan yang dihuni oleh pendatang etnis Jawa dari Cirebon dan Demak sejak era Sultan Hasanudin menyebarkan misi Islam di wilayah Jawa bagian barat. Hal ini tercermin jelas dalam prosa karya Alim Witjaksono di kabarmadura.id, dengan judul “Perihal Riwayat Orang Banten”.
Secara gamlang, penulis novel POB tampak tidak menunjukkan afiliasi atau partisan pada suatu aliran, tarekat atau mazhab agama tertentu. Namun, ketika kita melihat banyak tokoh religius dalam POB yang berhaluan moderat, radikalis hingga selevel sufi seperti Kiai Muhaimin, kita bisa memahami bahwa karakteristik prosa semacam itu hanya mungkin digagas oleh seorang pemikir dan cendekiawan yang pernah mengarungi kehidupan dunia filsafat, baik barat maupun timur. Hal ini menjadi jelas, ketika membaca banyak penulis yang mengulik latar belakangnya sebagai mahasiswa filsafat di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (angkatan 1990-an).
Hafis mengaku terdidik di lingkungan keluarga besar NU, Kota Cilegon, Banten, kemudian ia pernah mondok di pesantren Daar el-Qolam, terus mendalami filsafat Barat dan Islam di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sampai kemudian ia bergabung sebagai peneliti historical memories untuk wilayah Asia Tenggara bersama Asvi Warman Adam, Goenawan Mohamad, Hermawan Soelistiyo, John McGlynn (Yayasan Lontar), hingga Hersri Setiawan selaku ketua Yayasan Sejarah Budaya Indonesia (YSBI) di negeri Belanda.
Hafis juga mengakui, setiap buku yang ditulisnya (baik esai maupun prosa) dibiarkan saja mengalir bagaikan air yang akan menemukan muaranya di lautan samudera. Baginya, keabadian hanyalah milik Allah, dan hanya kreasi Allah yang akan dinilai valid dan abadi sepanjang masa. Sedangkan, karya cipta manusia, baik kualitas sastra sehebat apapun (termasuk karya Pramoedya) takkan lepas dari kemungkinan salah dan keliru. “Karena, apalah yang kita pikirkan dan tuliskan selain menyampaikan ide dan gagasan Tuhan semata.
Kalaupun kita menyimpang dari logika Tuhan, maka akan ada waktunya bagi kepunahan suatu karya cipta, sesuai dengan hukum alam. Jika Tuhan menghendaki apa-apa yang kita tuliskan hilang dan musnah, maka kita harus mengikhlaskan diri melebur dalam kepunahan itu. Kita dan pikiran kita hanyalah sesuatu yang fana dan semu belaka. Kecuali, jika kita bersandar pada ilmu-ilmu Tuhan yang takkan lekang dimakan waktu dan zaman,” demikian ujar Hafis Azhari.
Ada tokoh unik seperti Mbah Durip (dalam POB), seperti kepercayaan sebagian Nahdliyyin, masih gemar merawat dan memelihara keris sakti yang dianggap sebagai keramat pengundang barokah dan penangkal bala. Tabiat orang Jawa ini tercermin jelas dalam sastra klasik Serat Centhini karangan para pujangga Surakarta (Solo) sejak abad ke-18 lalu, yang sebenarnya tidak ada dalam kosmos ajaran Islam. Karakteristik sastra modern, dan khazanahnya yang bertumpu pada pandangan filosofis dan antropologis, membuat narasi POB memandang Mbah Durip menjadi dagelan dan guyonan yang disuguhkan bagi penikmat sastra berselera tinggi, laiknya generasi milenial yang menyaksikan adegan-adegan humor berkelas dalam Stand Up Comedy.
Pada prinsipnya, apa-apa yang menjadi sasaran sastrawan adalah kesenangan dan kebahagiaan menyaksikan pembaca yang makin marak, namun tidak sekadar membaca tapi sekaligus mengapresiasi karya sastra secara cerdas maupun jenaka di ranah publik. Lalu, apalah artinya dalam konteks hari ini, perihal buku sastra yang dijual dan dibeli dengan harga mahal, dan jikapun karya sastra itu dinilai media “berkualitas tinggi”, namun adakah kualitas kebahagiaan bisa diraih, jika harus dibeli dengan uang dan kepamrihan?
Misi apa yang hendak disuguhkan sastrawan selain soal kebaikan, kebenaran dan keindahan, yang kesemuanya bermuara pada upaya-upaya menghibur, mendewasakan dan membahagiakan pihak pembaca?
Apakah bedanya seorang seniman yang sibuk menulis namun tidak mengenai sasaran bagi pendewasaan masyarakat, dengan sosok agamawan fanatik yang berteriak mengaku-ngaku dirinya “Imam Mahdi”. Saya kira, tak jauh beda dengan Pak Majid si tukang cukur yang gemar berkhotbah menyusupkan gagasan dan ide-idenya kepada pelanggan meskipun hanya satu dua orang. Apa bedanya sedikit maupun banyak pengikut (jamaah), ketika Tuhan berkehendak bahwa yang sedikit bisa memengaruhi yang banyak, sementara yang banyak tanpa memiliki pengaruh apapun bagi perkembangan dan kemajuan peradaban.
Dengan demikian, nisbi dan semulah segala kriteria senior-yunior, pakar maupun amatiran, bahkan yang kemarin boleh jadi lebih aktual, dan sebaliknya, “sang pemula” boleh jadi lebih sanggup menciptakan keabadian. Ketimbang yang lama, dan dibanggakan di masa rezim Orde Baru, ketika sang waktu memastikannya harus punah, maka punahlah ia.
Saya masih ingat pada seorang tokoh media yang mempersiapkan anggaran milyaran, berwasiat pada salah seorang keluarganya, bahwa dana sebesar itu dipersiapkan untuk memeriahkan hari kematiannya yang diperkirakan akan dihadiri ribuan orang pelayat, dibanjiri tangis dan air mata saudara dan kerabatnya karena memang dia seorang tokoh penting. Namun, takdir menentukan kematiannya di tengah pandemi Covid-19 di awal tahun 2021 lalu, dan hanya dihadiri oleh beberapa orang kerabat yang diperbolehkan masuk di area pemakaman yang ketat aturan protokoler, tanpa tangis dan air mata yang mengiringinya.
Hal ini menjadi kontras tinimbang kematian orang yang biasa-biasa saja, bukan tokoh terkenal, juga tak pernah merencanakan apapun. Namun, karena jiwa sosialnya yang tinggi tiba-tiba dibanjiri oleh ribuan pelayat yang bertakziah mendoakan hari kematiannya, hingga mengantarkannya ke pintu gerbang pemakaman terakhir. Manusia punya rencana sehebat apapun, meski pada akhirnya hanya rencana Tuhan-lah yang pasti berlaku.
Melalui karya sastranya, khususnya Perasaan Orang Banten, Hafis Azhari seakan tengah melakukan lompatan spiritualitas dan religiositas baru di tengah kebekuan dan kejumudan sastra yang terlampau dipengaruhi logika militerisme, baik di masa rezim Soeharto maupun pengaruh Eropa-Amerika selaku induk- semangnya. Untuk menggarap novelnya, Pikiran Orang Indonesia (2014), justru ia melibatkan diri langsung ke tengah para demonstran di sekitar kerusuhan Mei 1998, kemudian bertahun-tahun mengadakan penelitian historical memories untuk penguatan data dan fakta yang tertuang dalam novel psiko-histori Indonesia tersebut (baca: “Membangun Akal Sehat”, kompas.id).
Bahkan, untuk mengetahui keseharian para penderita skizofrenia yang terungkap dalam novelnya, Hafis tak segan-segan mengadakan penelitian selama berbulan-bulan, dengan mendatangi Rumah Sakit Jiwa di daerah Bogor (Jawa Barat). Di sisi lain, untuk memahami seseorang yang punya pengaruh besar bagi peradaban dunia, Hafis juga mengadakan perjalanan umroh sambil rihlah ilmiah, mengarungi tapak-tapak kaki yang pernah ditempuh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail di Makkah al-Mukarromah, hingga jejak-jejak langkah Rasulullah di Raudlah, masjid Nabawi, melaksanakan salat sunah di shaf pertama di masjid Quba, membayangkan dirinya sedang beribadah persis di belakang Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Melalui novel POB, kita bisa melihat narasi-narasi yang jenaka, seakan menertawakan sesuatu yang tak sesuai nalar dan akal sehat, namun di sisi lain, Hafis cukup berempati terhadap iman dan keyakinan para tokohnya yang sama-sama mengarungi kehidupan yang super kompleks ini. Demikianlah, berkat keunggulan penuturan dan kedalaman pengetahuannya, kita merasa disuguhkan ironi, diksi dan komedi-komedi menggelitik, seakan dihadapkan pada upaya-upaya jenius penerjemahan karakteristik Gus Dur ke dalam format novel maupun sastra mutakhir.
Sebagai penulis yang berakar dari kajian dan pengalaman di bidang filsafat (selama kuliah di UIN Jakarta), karya-karya Hafis tak ubahnya sebuah “suluh” yang tidak hanya menerangi, tetapi juga gambaran kehidupan yang melibatkan emosi pembaca, hingga kita semua merasa menjadi bagian dari perjalanan manusia melintasi sabana, hutan, sungai, dan lautan. Karya sastra yang baik, meskipun dikemas dengan bahasa jurnalistik, ia telah dirangkai melalui penghayatan imajinasi yang mewakili universalitas, tidak semata-mata dikejar oplah atau headline yang mewakili kepentingan kelompok dan pelanggan media tertentu.
Menurut saya, novel POB telah menjawab rumor yang disematkan oleh negara-negara Barat yang “berkepentingan”, dengan menjuluki Indonesia sebagai salah satu dari negara-negara yang kurang bahagia. Masalahnya, dari sudut mana kita memandang kekurangbahagiaan itu, mengingat Indonesia, dengan jumlah ratusan juta jiwa penduduk namun sangat sedikit jumlah korban bunuh diri di negeri katulistiwa yang pernah dipimpin oleh Gus Dur ini.
Boleh saja kita berargumen bahkan membantah penilaian tersebut, meskipun tetap kita perlu introspeksi dan berkaca diri, apakah kualitas kehidupan dan kemanusiaan sudah kita benahi bersama sesuai nalar dan logika dalam novel Perasaan Orang Banten itu. Dengan demikian, kita sampai pada kesimpulan bahwa karya sastra yang baik, tak ubahnya cerminan kehidupan suatu masyarakat, yang dapat menghubungkan realitas masa lalu yang mengejawantah dalam kehidupan masa kini. Bahkan, gambaran tentang masa kini, yang terus mengejawantah dalam realitas kehidupan di masa yang akan datang. ***