Tiba-tiba saya dapat ide untuk menuliskan topik tentang kedokteran gigi. Gara-gara channel Youtube ‘Kapanlagi.com’ mewartakan Emmy Syarif, ibunda Bunga Citra Lestari (BCL) yang ternyata seorang dokter gigi. Emmy mengaku ingin Bunga mengikuti jejak kariernya sebagai dokter gigi. “Mungkin karena saya bergerak di bidang itu, saya kebetulan dokter gigi. Terus Bunga di sekolah pun dulu IPA. Jadi ya memang orangtua suka gitu ya, sekalian aja juga,” kata Emmy di video tersebut.
Eksistensi kedokteran gigi diyakini sudah ada sejak Fir’aun Ramses II. Dr Ja’far Khadem Yamani menyebut dalam buku Kedokteran Islam: Sejarah dan Perkembangannya (2005), “Pada saat itu sudah ada tabib ahli gigi yang tinggal di istana Fir’aun yang bernama Bahab Azz. Seribu tahun sebelum kelahiran Nabi Musa AS, orang-orang Akadia dan Mesir sudah mampu membuat alat berupa pinset gigi, pengikiran gigi dan tang pencabut gigi”. Kini di Mesir tumbuh jurusan kedokteran gigi. Wajib ditempuh selama 5 tahun plus 1 tahun magang di klinik gigi. Misalnya di Ain Shams University, Alexandria University, Suez cana University dan Universitas al-Azhar.
Di negeri penghasil filosof, orang-orang Yunani baru bersentuhan dengan kedokteran gigi setelah mereka menamatkan belajarnya di Mesir. Mereka pulang ke Athena sambil membawa buku-buku kedokteran gigi. Sementara pada masa pendirian Baitul Hikmah di Baghdad, menurut Dr. Ja’far Khadem sudah banyak kitab atau buku tentang kedokteran gigi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Di Baghdad, sudah ada kursi khusus untuk pasien yang akan memeriksakan giginya. Hampir di setiap kota dari Baghdad, Damsyiq, Qurthubah sampai Iskandariyah terdapat balai pengobatan gigi. Dr Ja’far menyimpulkan bahwa sesungguhnya ilmu kedokteran gigi modern sekarang ini merupakan pengembangan dari kedokteran gigi di Andalusia.
Di benua Amerika, kemunculan kedokteran gigi tak luput dari sejarah pendirian University of Maryland School of Dentistry. Kampus yang didirikan tahun 1840 ini dinobatkan sebagai kampus yang menyediakan fakultas kedokteran gigi pertama di dunia. Prof. Chapin A. Harris adalah dekan pertama di kampus tersebut sekaligus guru besarnya.
“Kampus ini resmi membuka pendaftaran pada 3 November 1840. Kala itu hanya ada 5 peserta didik,” tulis William John Geis dalam Dental Education in the United States and Canada. Bila di benua Amerika ditandai dengan berdirinya fakultas kedokteran gigi, maka di Eropa khususnya Inggris ditandai dengan berdirinya rumah sakit gigi pada tahun 1858 di kota London. Dua tahun berikutnya, menurut Amolak Singh dalam Paul Lambden, Dental Law and Ethics, (2002), di Inggris baru didirikan the Royal College of Surgeons.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? sewaktu masih bernama Hindia Belanda, di Surabaya telah berdiri sekolah kedokteran yang bernama Nederlandsch-Indische Artsen School (NIAS) pada tahun 1913. Karena lembaga kedokteran gigi belum ada maka kebutuhan akan tenaga kesehatan gigi (dokter gigi) didatangkan langsung dari Eropa (Belanda).
Namun jumlah dokter gigi dari Eropa yang bisa dan mau bekerja di Hindia Belanda pada waktu itu amat terbatas, itupun sebagian besar hanya untuk melayani orang-orang Eropa yang tinggal di sini. Dalam laporan bertajuk ‘Potret Ketersediaan dan Kebutuhan tenaga Dokter Gigi’ yang dirilis Ditjen dikti Kemendikbud, “Jika orang-orang pribumi menderita penyakit gigi maka sebagian besar dibawa ke dukun atau tabib dengan pengobatan tradisional, dan sebagian lagi dibiarkan untuk sembuh dengan sendirinya”.
Sampai tahun 1950 Indonesia baru memiliki dua universitas negeri, yaitu Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta dan Universitas Indonesia (UI). Selanjutnya tanggal 10 Nopember 1954 secara resmi Universitas Airlangga berdiri. Dengan berdirinya Universitas Airlangga maka Fakultas Kedokteran dan Institut atau Lembaga Kedokteran Gigi yang semula merupakan cabang dari UI kemudian dipisahkan dari induknya dan digabung ke Universitas Airlangga.
Sebelum mengakhiri artikel ini, penyebaran institusi pendidikan kedokteran gigi di Indonesia sampai saat ini juga masih belum merata, hal ini juga merupakan salah satu faktor yang menghambat upaya peningkatan pelayanan kesehatan gigi. Saat ini institusi pendidikan kedokteran gigi masih terkonsentrasi di pulau jawa. Sementara di Papua dan Maluku belum memiliki institusi pendidikan kedokteran gigi. Wallahu’allam.