Sepanjang sejarah, pemahaman ihwal negara Islam tidak pernah seragam karena rujukan konsep ini berbeda. Konsep negara-bangsa adalah sebuah kreasi baru orang-orang modern, padahal Islam lahir jauh sebelum konsep ini dikenal. Akibatnya, rujukan terhadap konsep “Negara Islam” berpindah-pindah dan tumpang-tindih antara dua peradaban: Islam dan Barat.
Dalam buku–yang berasal dari disertasi–Negara Islam (Jakarta: KataKita, 2010), Prof. Musdah Mulia dengan baik menelaah tentang konsep negara Islam dan perdebatan gagasan kontroversial ini. Dengan merujuk Muhammad Husain Haikal, seorang pembaru Muslim dan penulis produktif asal Mesir, Musdah menyimpulkan bahwa negara Islam adalah sintesa kreatif antara bentuk negara sekular dan negara teokrasi.
Meskipun Islam sejak awal menampilkan dirinya dalam wujud negara seperti terlihat dalam kehidupan Nabi dan umat Muslim di Madinah, namun perbicaraan ihwal negara Islam baru muncul belakangan. Perbincangan soal negara Islam baru mengemuka jauh pasca periode Madinah, yaitu setelah berakhirnya sistem khilafah di Turki (1924). Sejak masa itu konsep negara Islam mulai ramai dibicarakan oleh para pemikir politik Islam.
Di antara seorang pemikir itu ialah Muhammad Husain Haikal (1888-1956)–selanjutnya disebut Haikal. Dia pengikut ‘Abduh (1845-1905). Haikal meraih gelar doktor dalam bidang ilmu hukum dari Universitas Sorbonne, Prancis dan merupakan putra Mesir pertama yang menyandang gelar kesarjanaan seperti itu.
Di samping pemikir politik, ia juga sejarawan, sastrawan, dan sekaligus negarawan yang dihormati. Jabatan yang pernah dipegangnya, antara lain menteri negara urusan dalam negeri, menteri pendidikan untuk tiga periode, menteri sosial, ketua Majelis Senat, dan ketua Partai Liberal Konstitusionalis.
Karya terpenting Haikal di bidang pemikiran politik Islam bertajuk Al-Hukumah al-Islamiyyah. Di dalam buku itulah sang sejarawan meneroka asal mula terbentuknya negara Islam di Madinah dan prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam pengelolaannya. Di samping buku itu, terdapat sejumlah karya tulis lainnya yang mengulas masalah politik dalam Islam. Sebagai penulis yang produktif, Haikal meninggalkan sekira 21 buku dalam pelbagai bidang: pemikiran politik, sejarah, sastra, dan filsafat agama.
Dalam peta pemikiran politik Islam kontemporer, khususnya dalam kajian mengenai hubungan antara agama dan negara, ditemukan tiga pola pemikiran, yaitu pola sekularis, tradisionalis, dan reformis. Pola sekularis menyatakan bahwa Islam adalah agama yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dan di dalamnya tidak ditemukan aturan-aturan yang berkelindan dengan masalah kenegaraan.
Sebaliknya, pola tradisionalis menegaskan bahwa Islam adalah agama yang paripurna, yang di dalamnya ditemukan semua aturan, termasuk aturan yang berkaitan dengan tata negara. Karena itu, umat Muslim tidak perlu meniru aturan Barat, tetapi harus kembali kepada aturan yang digariskan Islam.
Adapun pola reformis menolak kedua pendapat yang ekstrem tersebut. Pola ini menegaskan bahwa Islam bukanlah agama yang semata-mata mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi bukan pula agama yang serbalengkap dalam arti ajarannya mencakup segala aturan secara rinci, termasuk aturan perihal kenegaraan. Islam cukup memberikan prinsip-prinsip dasar yang dapat menjadi pedoman manusia dalam mengatur perilaku dan hubungannya dengan sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Berdasarkan pola di atas, pemikiran politik Haikal dapat dikategorikan ke dalam pola reformis. Sebab, dengan tegas Haikal mengatakan bahwa di dalam Alquran dan Sunah tidak ditemukan aturan-aturan yang berlangsung dan rinci ihwal persoalan kenegaraan, yang ada hanyalah seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan sebagai pedoman dasar bagi pengaturan tingkah laku manusia dalam kehidupan dan pergaulan dengan sesamanya, yang juga memadai untuk dijadikan landasan bagi pengelolaan hidup bernegara.
Nilai-nilai etika yang dimaksudkan Haikal itu adalah prinsip tauhid, prinsip sunatullah, dan prinsip persamaan antarmanusia. Perlunya prinsip tauhid diterapkan dalam pengelolaan hidup bermasyarakat adalah untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral dan memiliki integritas ruhani yang sempurna, dan secara bertahap dapat mewujudkan pola hubungan antarmanusia dalam semangat egalitarianisme.
Implementasi tauhid dalam kehidupan bermasyarakat akan membuat setiap individu dalam masyarakat menyadari jati diri mereka masing-masing sebagai hamba Allah SWT. Memafhumi harkat dan martabat kemanusiaannya, sehingga dengan demikian mereka dapat terbebas dari pelbagai macam belenggu yang pada gilirannya membuat mereka mampu mengembangkan potensinya secara wajar dan laik. Dengan demikian, tauhid pada hakikatnya mendukung sistem demokrasi, dan sebaliknya, menolak semua bentuk sistem totaliter, otoriter, dan tiranik.
Selanjutnya, prinsip sunatullah mendorong manusia bersikap dinamis dan percaya kepada hukum kausalitas serta menolak sikap fatalistis. Prinsip ini juga mengakui adanya pluralisme dalam masyarakat yang menyertakan konsekuensi bagi para pemimpin agar senantiasa memperhatikan watak-watak manusia yang dipimpinnya.
Adapun prinsip persamaan antarmanusia menegaskan bahwa pengelolaan hidup bermasyarakat dalam Islam tidak didasarkan pada ikatan-ikatan primordial, seperti keturunan, kesukuan, dan kehormatan golongan. Itulah sebabnya dalam masyarakat Muslim tidak dikenal bentuk mayoritas, tidak ada kelas, tidak ada kelompok elite atau borjuis, juga tidak ada kelompok aristokrat.
Berlandaskan atas tiga prinsip dasar itu diharapkan perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat didasari oleh semangat persaudaraan, cinta kasih, dan rasa keadilan. Haikal menegaskan bahwa ketiga prinsip itulah yang hendaknya menjadi pegangan umat Muslim dalam mengatur dan membina masyarakat sesuai dengan tuntutan zaman yang senantiasa berubah seiring dengan perkembangan sains dan teknologi.
Berbicara ihwal negara Islam, Haikal menjelaskan bahwa tuntunan Alquran mengenai kehidupan bernegara tidak menunjuk kepada suatu model tertentu. Karena itu, dia menyimpulkan bahwa soal negara dan pemerintahan lebih banyak diserahkan kepada ijtihad umat Muslim.
Islam, kata Haikal, hanya menggariskan prinsip-prinsip dasar yang harus menjadi pedoman dalam mengelola negara, yaitu prinsip persaudaraan, persamaan, dan kebebasan. Prinsip-prinsip itu mengacu kepada prinsip tauhid yang merupakan ajaran inti dalam Islam.
Prinsip persaudaraan sesama manusia akan membentuk persatuan yang kokoh dan toleransi beragama di antara warga negara yang majemuk, yang terdiri dari pelbagai suku dan agama. Penerapan ajaran persaudaraan dalam kehidupan bernegara dimaksudkan agar para penguasa memperlakukan semua warga negaranya, tanpa kecuali, sebagai saudara. Sebaliknya, mereka tidak boleh berbuat sewenang-wenang atau bersikap despotis (lalim) terhadap rakyatnya.
Prinsip persamaan antarmanusia melahirkan musyawarah dan keadilan. Di dalam mengambil suatu keputusan kenegaraan yang penting, para penguasa hendaknya terlebih dahulu bermusyawarah dengan wakil-wakil rakyat atau dengan orang-orang yang dipandang ahli dalam bidang tersebut.
Selain itu, para penguasa juga hendaknya memperlakukan rakyatnya secara adil tanpa melihat jabatan dan posisi, keturunan, kesukuan, dan kekayaan mereka. Bahkan tanpa membedakan antara yang Muslim dan bukan Muslim.
Dalam kehidupan bernegara, prinsip persamaan ini membawa implikasi kepada persamaan hak di antara para warga negara. Semua warga memiliki hak-hak politik yang sama, bahkan setiap warga berhak meminta pertanggungjawaban dari penguasa. Adapun prinsip kebebasan manusia diterapkan dalam bentuk memberikan kebebasan berpikir dan kebebasan beragama. Karenanya, hak-hak individu dijamin, kepercayaan dan keyakinan penduduk tetap dijunjung tinggi.
Penerapan ajaran kebebasan, khususnya kebebasan berpikir, dalam suatu negara mendorong warga negara untuk maju dan berkembang. Ajaran kebebasan ini juga menghendaki agar warga negara dibebaskan dari kelaparan dan ketakutan, sehingga mereka dapat hidup dalam kondisi yang sejahtera dan tenteram. Prinsip-prinsip itulah yang hendaknya ditransformasikan oleh umat Muslim ke dalam bentuk rumusan-rumusan aturan kenegaraan yang dipandang dapat memenuhi hajat kebutuhan kaum muslim sesuai kondisi dan situasi zamannya.
Arkian, prinsip-prinsip dasar negara Islam yang dirumuskan Haikal itu sepintas tampak sangat utopian dan mustahil dapat direalisasikan dalam kehidupan nyata dewasa ini. Namun, Haikal mampu mengungkapkan dengan fakta-fakta historis yang kuat bahwa ajaran-ajaran luhur itu telah diimplementasikan dengan baik dalam kehidupan bernegara pada masa Rasulullah Saw dan masa Khulafa Rasyidin. Maju mundurnya Islam pada masa-masa awal ternyata dipengaruhi oleh sejauh mana prinsip-prinsip dasar negara Islam tersebut diaplikasikan dalam kehidupan bernegara.