Sepeninggal KH. Bisri Syansuri pada 25 April 1980, posisi Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengalami kekosongan. Posisi wakil rais tak otomatis menggantikannya. Perlu forum khusus untuk menentukan hal tersebut. Selain Muktamar, forum permusyawaratan tertinggi NU yang digelar lima tahun sekali, ada juga forum Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU dan Konferensi Besar (Konbes).
Dua forum terakhir ini, dilaksanakan antara dua muktamar. Dari tiga forum tersebutlah, keputusan-keputusan penting di tubuh NU ditentukan. Termasuk juga soal pergantian rais aam.
Kekosongan tersebut, menimbulkan polemik yang cukup sengit di kalangan Nahdliyin. Terutama menyangkut siapakah sosok yang akan menjadi pengganti Kiai Bisri. Lebih dari setahun kekosongan tersebut. KH. Idham Cholid selaku Ketua Umum PBNU mengumumkan, pergantian rais aam selambat-lambatnya akan ditentukan pada Konbes NU. Sedangkan rekomendasi tentang ihwal penentuan rais aam akan dibahas pada forum Munas.
Munas sendiri baru dihelat pada 30 Agustus 1981 di Kaliurang, Yogyakarta. Acara tersebut, direncanakan berlangsung selama empat hari. Sebagaimana telah diprediksi sejak awal, Munas yang bertujuan untuk menentukan rekomendasi pada Konbes NU mendatang itu, berjalan cukup alot. Terutama saat membahas tata cara pemilihan rais aam.
Ada pihak yang mengusulkan agar Tim Formatur pada Muktamar NU sebelumnya (1979), ditetapkan kembali untuk memilih rais aam pengganti. Ada pula yang menginginkan adanya komite khusus untuk menentukan pimpinan pucuk di NU tersebut. Perbedaan ini, tentu berkaitan dengan nama-nama yang sedang digadang-gadang jadi rais aam. (Baca: Riwayat dan Kenangan Kiai Moenawir Krapyak)
Jika opsi pertama yang diterima, besar kemungkinan KH. Anwar Musadad yang sebelumnya menjabat wakil rais akan terpilih. Namun, jika sebaliknya, maka nama yang menguat adalah KH. As’ad Syamsul Arifin. Ia adalah Pengasuh PP. Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan memiliki peran penting dalam proses berdirinya NU. (Baca: Kiai As’ad Ingin Terkenal)
Di tengah alotnya majelis khususiyah yang dipimpin oleh KH. Masykur itu, seorang kiai kharismatik dari Jawa Timur mengemukakan pendapatnya. Ia adalah KH. Achmad Shiddiq dari Jember yang saat itu menjadi salah satu Mustasyar di PBNU. “Kenapa tidak kita pilih sendiri saja? Dipilih secara langsung. Saya memilih KH. Ali Ma’shum,” usulnya.
Usulan tersebut pun disambut positif peserta sidang. Kiai Masykur yang memimpin sidang meminta tanggapan para peserta. Sebagian besar mengangkat tangan sebagai bentuk kesetujuannya pada usul Kiai Achmad Shiddiq.
Kemudian pemimpin sidang kembali menanyakan kepada peserta adakah yang tak menyetujui usulan tersebut. Ternyata tak satu orang pun yang unjuk tangan. Seketika itu pula KH. Ali Ma’shum diputuskan sebagai Rais Aam PBNU pengganti KH. Bisri Syansuri.
Nama Kiai Ali Ma’shum sebenarnya telah disebut-sebut sebulan sebelum Munas. Ia diusung oleh kalangan muda Nahdliyin. Seperti Kiai Achmad dan Gus Dur. Namanya semakin kuat ketika KH. As’ad yang banyak digadang-gadang sebagai pengganti rais aam tak datang ke forum Munas. Hal tersebut diartikan sebagai keengganan Kiai As’ad dipilih sebagai Rais Aam. Akhirnya, dukungan kepada Kiai As’ad beralih kepada Kiai Ali. (Baca: Ilmu Kanuragan Kiai As’ad)
Meski tidak langsung menerima keputusan Munas, Kiai Ali akhirnya pun mau memikul amanah tersebut. Dengan iringan takbir, Kiai Ali dibaiat oleh Kiai Anwar Musadad sebagai Rais Aam PBNU.
Pembaitan sekaligus penutupan Munas itu, berlangsung sehari lebih cepat dari jadwal. Ketegangan yang melanda NU setahun lebih itu pun padam dengan isak tangis Kiai Ali kala pembaitan.
Di balik terpilihnya Kiai Ali tersebut, memberikan keteladanan yang teramat penting bagi kalangan Nahdliyin. Tidak ada jabatan di NU yang harus diperebutkan. Dahlan Iskan yang pada saat itu menjadi awak majalah Tempo menulis bagaimana sikap Kiai Ali tersebut. (Baca: Gus Dur yang Slengean)
“Peran yang menentukan itu kini ada di pundak Kiai Ali, yang secara otomatis juga jadi Rais Aam PPP. Kiai berkulit kuning ini belum menjanjikan apapun kecuali sebuah pesan “kalau saya salah, pecatlah!” demikian akhir kutipan yang dimuat dalam majalah Tempo, Nomor 28 Tahun XI, 12 September 1981 itu.
Demikianlah peristiwa bersejarah pada 1 September, 37 tahun silam, ihwal KH Ali Maksum dan amanah yang diembannya: Rais Aam PBNU. Bagaimana dengan sekarang?