Sedang Membaca
Penanganan Korban Kekerasan Seksual (1): Pembangunan Rumah Aman
Avatar
Penulis Kolom

Anggota Puan Menulis

Penanganan Korban Kekerasan Seksual (1): Pembangunan Rumah Aman

Whatsapp Image 2022 12 13 At 21.47.57

Kasus kekerasan seksual semakin hari kian meningkat, ditambah masih melekatnya‘budaya patriarki’ di tengah masyarakat. Akibat keberadaan budaya tersebut banyak dari masyarakat yang melakukan ‘kesalahan’ besar dalam menangani kasus kekerasan seksual, seperti menikahkah korban dengan pelaku atau bahkan menormalisasikan tindak kekerasan seksual.

Berdasakan catatan tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2022, jumlah data kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di tahun 2021 sebanyak 338.496 kasus. Jumlah ini meningkat 50% jika dibandingkan tahun 2020. Kasus kekerasan seksual termasuk yang relatif masih tinggi, dimana kekerasan seksual di ranah personal sebanyak  1.149 kasus (25%), sementara di ranah komunitas kasus kekerasan di dunia siber  menempati urutan tertinggi yaitu berjumlah 875 kasus (69%), dan kasus kekerasan di tempat kerja berjumlah 108 kasus (8%).

Tentunya data tersebut hanya sebagian kecil dari segudang kasus kekerasan seksual yang terjadi pada korban khususnya perempuan. Karena tidak semuanya korban berani untuk speak up, apa lagi jika berkaitan dengan stigma buruk masyarakat ‘patriarki’ terhadap perempuan korban kekerasan seksual.

Misalnya korban pemerkosaan, ketika ia berniat untuk speak up, ia akan beribu kali bepikir dan mempertimbangkan soal “konsep harga diri perempuan yang berada pada selaput darah”. Walaupun dia korban pemerkosaan, tetap stigma ‘kehilangan harga diri’ akan menghantui korban, apa lagi jika ia sampai hamil.

Jadi ketika korban berani speak up, artinya ia sudah mengeluarkan effort yang sangat tinggi, terlebih jika pelakunya adalah orang-orang yang dekat dengannya atau orang yang memiliki posisi yang berpengaruh. Dalam hal ini kehadiran ruang aman bagi korban sangatlah penting, karena ketika korban melapor artinya ia berperang dengan kemungkinan stigma buruk masyarakat dan ancaman dari pelaku.

Baca juga:  Razan al-Najjar, Tenaga Medis yang Berkorban di Medan Perang

Selain itu, kebanyak masyarakat ketika menangani kasus kekerasan seksual hanya terfokus pada pelaku. Padahal titik sentralnya adalah pemulihan pada korban, terlebih sebenarnya penghukuman ‘pelaku’ tidak semata-mata agar korban pulih dan merasa aman. Jika hanya fokus pada penanganan pelaku dan melupakan pemulihan terhadapa korban, bukankah kita terjebak dalam teknis?

Salah satu upaya pemulihan korban agar bisa melanjutkan hidupnya dengan tenang adalah hadirnya ‘rumah aman’ bagi korban kekerasan seksual. Di mana fungsi rumah aman tersebut guna memfasilitasi tempat tinggal yang aman bagi korban, pendampingan psikososial untuk memulihkan korban secara psikis hingga dapat kembali bersosialisasi dengan masyarakat sekitar, pelatihan sesuai minat serta bakat penyintas kekerasan dan lain-lain.

Menurut catatan tahunan Komnas Perempuan 2021, dalam hal sistem rujukan yang diterapkan Komnas Perempuan, permintaan terbanyak dari korban adalah pentingnya bantuan hukum, bantuan psikis, medis dan rumah aman. Sementara dalam hal fasilitas, paling minim adalah ruang khusus pemeriksaan serta rumah aman.

Tentunya kehadiran rumah aman tersebut menjadi tanggungjawab serta dibawah perlindungan pemerintah, termasuk pemerintah daerah yang jangkauannya lebih sempit. Selain itu kehadiran rumah aman tersebut juga membutuhkan dukungan dari seluruh lapisan elemen, termasuk masyarakat dan tokoh masyarakat.

Pengusiran Rumah Aman Dayah Diniyah Darussalam: Pemerintah Aceh Gagal Memberikan Keadilan untuk Korban

Dayah Diniyah Darussalam yang terletak di Desa Meunasah Buloh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, ternyata bukan hanya sekedar pondok pesantren biasa. Bangunan pesantren sederhana yang terdiri dari ruang-ruang kelas dan kamar-kamar santri dengan cat dinding warna hijau ternyata merupakan rumah aman bagi anak dan korban kekerasan seksual.

Baca juga:  Kisah Sinta Nuriyah: Cinta, Toleransi Agama hingga Sahur Bersama

Sekitar 22 tahun lalu, Hanisah pimpinan pondok pesantren tersebut mendirikan Dayah Diniyah Darussalam bagi anak-anak korban konflik, agar tetap bisa mengenyam pendidikan layak saat Aceh masih dirundung konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Republik Indonesia.

Namun sekitar tahun 2004, Dayah Diniyah Darussalam diusir dari kampung oleh masyarakat dan harus pindah ke lokasi baru. Alasannya karena Hanisah menerima seorang anak berusia 15 tahun yang sedang hamil, ia merupakan korban perkosaan inses oleh ayah kandungnya. Korban tersebut ditampung bersama adiknya yang diusir dari kampung mereka.

Karena desakan dari warga, Hanisah pun membereskan barang-barangnya dan mengajak seluruh siswanya untuk pindah. Ditengah kekecewaannya terhadap pemerintah, karena tidak mampu melindungi rumah aman tersebut, namun ternyata kejadian tersebut tidak menjadikan Hanisah mengurungkan niatnya untuk membantu para korban kekerasan seksual, justru ia membuka lembaran baru dan membangun kembali Dayah Diniyah Darussalam.

Setalah 12 tahun semenjak tragedi pengusiran tersebut, kini Dayah Diniyah Darussalam telah menangani ratusan perempuan korban kekerasan seksual. Dan banyak dari mereka sudah bisa melanjutkan hidupnya, terbukti dari sebagian mereka yang telah menjadi Pegawai Negeri Sipil, guru, hingga pimpinan pesantren.

Rumah Aman: Tempat Menata Mimpi Kembali

Dengan latar belakang korban yang berbeda, seperti diperkosa oleh aparat penegak hukum, diperkosa secara beramai-ramai hingga hamil, ada kawin penculikan, perzinaan, pemerkosaan mahasiswi oleh dosen dan lain-lain. Tetapi rumah aman Dayah Diniyah Darussalam berhasil memulihkan korban sehingga korban bisa melanjutkan kehidupannya dan memiliki cita-cita.

Baca juga:  Tantangan Gerakan Perempuan Era Milenial

Misalnya yang dirasakan oleh Mawar (bukan nama sebneranya), ia merupakan korban pemerkosaan oleh dosen di kampusnya. Sejak 6 bulan masuk Dayah Diniyah Darussalam ia merasa memiliki dukungan, tidak merasa takut dan merasa sangat nyaman.

Semenjak menjadi korban pemerkosaan ada kalanya Mawar merasa tidak lagi punya tujuan hidup, tidak bisa mengambil keputusan sendiri, dan merasa mentalnya tidak stabil. Namun sejak masuk Dayah Diniyah Darussalam ia membenahi diri secara spiritual dan menata kembali mimpi yang sebelumnya hancur berantakan.

Kisah Mawar merupakan bukti bahwa tidak ada hal yang lebih penting dari penanganan kasus kekerasan seksual selain korban pulih dan bisa melanjutkan kembali hidupnya dengan baik. Dan rumah aman menjadi tempat korban untuk menata kembali hidupnya yang sempat berantakan akibat tindak kekerasan seksual.

Memastikan penyintas kekerasan mendapatkan pelayanan terbaik agar dapat pulih dan mendapatkan keadilan menjadi salah satu tugas penting. Tidak hanya bagi pemerintah pusat atau KemenPPPA saja, tapi juga semua pihak hingga di tingkat daerah. Salah satunya dengan menghadirkan dan melindungi rumah aman bagi korban kekerasan seksual, karena rumah aman sebagai sebuah inovasi yang komprehensif dalam melindungi korban.

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top