“Sunan Gresik, kondang ngelmu dagange/Sunan Ampel, falsafah moh limone/Sunan Giri, tembang dolanane/Sunan Bonang, musisi gamelane/Sunan Drajat, pepali pitune/Sunan Kalijaga, wayangane/Sunan Muria, ngemu tradisine/Sunan Kudus, gede toleransine/Sunan Gunung Jati, politike/Ayo podo, eling sak lawase”
Selawat Wali Songo yang dipopulerkan oleh Gus Ahans Mahabie (Ponpes Hanacaraka Wonogiri) yang kemudian dilagukan ulang oleh Umi Laila ini boleh dikatakan sebagai salah satu pilihan versi (penggambaran) dari Wali Songo, ulama keramat penyebar Islam di Jawa yang hidup sepanjang abad ke-15 hingga ke- 16 Masehi.
Dikatakan pilihan versi karena dalam lirik yang telah penulis sebutkan sebelumnya berisi manhaj dakwah dari setiap wali yang secara identik kemudian diasosiasikan dengan sosok dan karakter masing-masing wali. Pilihan semacam ini mengingatkan kita pada versi penggambaran Wali Songo yang cukup populer di kalangan anak-anak tahun 90-an.
Waktu itu, penggambaran yang langsung muncul dalam benak anak-anak dari penyebutan frasa wali songo adalah apa yang mereka temui dalam komik-komik yang dijual murah yang memuat cerita Wali Songo. Komik-komik yang serupa dengan komik Siksa Neraka yang sekarang tengah di remake menjadi sebuah film.
Terlepas dari ‘sempitnya’ ruang yang tersedia dalam sebuah lagu (selawat), menurut penulis, penggambaran semacam ini agaknya didasarkan pada prinsip popularitas. Artinya bahwa seluruh manhaj yang dipilih bersumber dari informasi cerita, dongeng, legenda atau bahkan mitos terpopuler dari Wali Songo. Kendati secara substansi, hal ini tidak berpengaruh terhadap validitas informasi yang diberikan.
Dalam lirik misalnya, Sunan Kudus atau Ja‘far Shadiq digambarkan sebagai seorang wali sangat toleran (gede toleransine). Gambaran ini besar kemungkinan didasarkan pada cerita yang menyebutkan bahwa Sunan Kudus membiarkan bangunan menara yang kini berada di kompleks Masjid Al-Aqsha tetap berdiri, berikut dengan larangan menyembelih sapi bagi masyarakat sekitar.
Penggambaran yang sama juga dapat dijumpai dalam komik Wali Songo edisi Sunan Kudus. Yakni tatkala Sunan Kudus menyampaikan larangan menyakiti lembu (sapi) kepada masyarakat Kudus saat itu. Alasannya, dahulu, Sunan Kudus pernah ditolong oleh seekor Lembu dan di dalam Alquran juga terdapat satu surah yang secara harfiah berarti lembu (Al-Baqarah).
Padahal, di balik gambaran ‘populer’ ini terdapat ajaran tasawuf yang sangat dalam yang disandarkan kepada Sunan Kudus, sebagaimana tertuang dalam manuskrip yang kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, berkode Or.3050. Ulasan mengenai naskah tersebut dapat dibaca pada beberapa tulisan milik Nur Ahmad.
Di sisi lain, kajian akademik yang dilakukan oleh Agus Sunyoto berjudul Atlas Wali Songo menyebutkan bahwa penggambaran Sunan Kudus sebagai sosok yang amat toleran dengan dalih semacam ini dikatakan bersumber pada legenda. Sunyoto, meski turut menyertakan penggambaran ini, tidak mencantumkan satu pun bukti valid tertulis. Berbeda dengan penggambaran lain dari Sunan Kudus, seperti sosok yang menyempurnakan alat-alat pertukangan dan menyusun kitab perundang-undangan yang didasarkan pada kitab primbon milik Prof. K.H.R. Moh. Adnan atau keikutsertaannya dalam pertempuran melawan sisa-sisa kekuatan Majapahit yang dikutip dari Serat Kandaning Ringgit Purwa.
Fenomena yang sama juga berlaku pada penggambaran wali lain dari Wali Songo. Yang jika kita bandingkan dengan kajian-kajian berbasis akademik akan menimbulkan tanda tanya yang cukup besar, benarkah penggambaran tentang Wali Songo tersebut? Dari manakah sumbernya? Dan lain sebagainya.
Namun, betapa pun lebih kuat mengakar pada dongeng, legenda, atau bahkan mitos, pada gilirannya nanti penggambaran semacam inilah yang justru memberikan pengaruh besar terhadap pembentukan persepsi tentang apa yang disebut sebagai Wali Songo. Yang jika digambarkan tampak seperti lingkaran yang membentuk siklus. Masing-masing kejadian di dalamnya saling mempengaruhi satu sama lain.
Ini bukan tentang salah atau benar. Ini lebih tentang keutuhan informasi yang diberikan melalui sebuah penggambaran sosok dan karakter. Kekhawatiran yang muncul dari adanya penggambaran populer semacam ini adalah reduksi dan simplifikasi. Bahwa Wali Songo ‘hanya’ terbatas pada sosok dan karakter yang ‘itu’ saja.
Oleh karenanya, penggambaran Wali Songo semacam ini agaknya tidak berhenti pada tataran popularitas semata, kecuali pada satu dua hal yang mengharuskan demikian. Penggambaran lain yang lebih komprehensif dengan merujuk sumber-sumber kredibel tertulis juga harus dilakukan sehingga mampu menghadirkan gambaran Wali Songo yang utuh dan bersih. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []