Sedang Membaca
Pramoedya, Sastra, dan Humanisme Islam
Purnawan Andra
Penulis Kolom

Pegawai negeri sipil pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Lulusan Seni Tari Institut Seni Indonesia Surakarta

Pramoedya, Sastra, dan Humanisme Islam

Gus Dur Dan Pram

Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan besar Indonesia yang kita peringati seabad kelahirannya pada 6 Februari 2024 lalu, telah menghasilkan karya-karya monumental yang tidak hanya merekam sejarah, tetapi juga menyuarakan kritik terhadap ketidakadilan sosial dan politik. Melalui karya-karyanya seperti Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca), Pramoedya mengangkat tema kolonialisme, ketimpangan sosial, dan perjuangan kemerdekaan. Novel-novel ini tidak hanya memotret sejarah bangsa, tetapi juga menawarkan kritik tajam terhadap struktur penindasan yang diwariskan kolonialisme.

Di balik narasi sastra tersebut, terdapat pula refleksi mendalam tentang peran Islam dalam membentuk struktur masyarakat dan identitas bangsa. Pramoedya, melalui narasinya, menggambarkan realitas sosial yang kompleks di mana Islam tidak hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai kekuatan kultural yang mempengaruhi tatanan sosial.

Peran Agama

Dalam Bumi Manusia , misalnya, tokoh Minke mencerminkan pencarian identitas di tengah sistem kolonial dan tradisi keagamaan yang kental. Meskipun tidak ada monolog dan atau dialog eksplisit tentang teologi Islam, Minke mengamati peran agama dalam struktur sosial: bagaimana ulama dan institusi keislaman —yang awalnya berfungsi sebagai sumber panduan moral dan spiritual— seringkali dimanfaatkan oleh kekuasaan kolonial dan feodal, dipolitisasi untuk mempertahankan hierarki sosial, sehingga mengkomodifikasi nilai-nilai agama demi kepentingan politik.

Dengannya, agama kehilangan esensi penyaluran spiritualnya. sehingga nilai keadilan dan kemanusiaan yang seharusnya melekat dalam Islam menjadi tereduksi. Bumi Manusia menunjukkan bahwa Islam, bersama dengan unsur budaya lain, berperan dalam membentuk kesadaran kolektif masyarakat Indonesia.

Baca juga:  Kunjungan Paus Fransiskus dan Nasib Kaum yang Terpinggirkan

Dalam Anak Semua Bangsa , Pramoedya menyuguhkan gambaran tentang konflik batin yang dialami oleh tokoh-tokoh Muslim yang harus menghadapi tantangan modernisasi. Buku ini mengungkapkan ketegangan antara nilai-nilai otentik Islam dengan pengaruh modernitas yang semakin mendominasi kehidupan sosial.

Di sini terlihat bahwa tradisi keislaman yang konservatif terkadang menghambat pembaruan dan kebebasan berpikir. Darinya muncul pertanyaan apakah nilai-nilai Islam yang asli—yang menekankan keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan—dapat direvitalisasi untuk mendukung kemajuan sosial.

Pendekatan ini sejalan dengan kritik terhadap pemanfaatan agama sebagai alat untuk mempertahankan tatanan yang sudah tidak relevan dengan tantangan zaman. Pram mengajak pembaca untuk memutar kembali peran Islam sebagai sumber identitas dan alat pembebasan, bukan hanya sebagai instrumen kekuasaan politik.

Modernisme Islam

Dalam pendekatan modernisme Islam yang diusung oleh pemikir seperti Fazlur Rahman dan Seyyed Hossein Nasr menekankan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan pembaruan interpretatif (ijtihad) dalam tradisi Islam. Pendekatan ini tidak hanya mengkritisi stereotip kolonial, tetapi juga menawarkan kerangka untuk merekonstruksi identitas keislaman dengan tekanan esensi universal yang terkandung dalam ajaran Islam.

Dalam konteks karya Pramoedya, pendekatan modernisme Islam dapat diterapkan untuk mengamati bagaimana karakter-karakter Muslim—baik di Bumi Manusia maupun Anak Semua Bangsa —menghadapi tantangan antara tradisi keislaman yang konservatif dengan tekanan modernitas dan kekuasaan kolonial. Melalui lensa ini, kritik yang disampaikan Pramoedya terhadap manipulasi institusi keislaman dapat dipahami sebagai seruan untuk mengembalikan nilai-nilai dasar Islam yang mendukung pembebasan, keadilan, dan kemanusiaan, bukan sebagai penolakan terhadap Islam itu sendiri.

Baca juga:  Tiga Pembaca

Dengannya, kita dapat memahami bahwa Pramoedya tidak semata-mata melemahkan Islam, melainkan menantang representasi dan manipulasi kekuasaan atas agama. Pendekatan ini memberikan kerangka yang lebih luas untuk menafsirkan bagaimana karya-karya Pramoedya menawarkan narasi alternatif yang menempatkan nilai-nilai keislaman yang mendalam—sebagai sumber identitas, pencerahan, dan keadilan—dalam upaya melawan tantangan kolonial dan modernitas.

Lebih jauh, karya-karya Pram membuka ruang bagi interpretasi baru yang menempatkan Islam dalam konteks humanisme—sebuah pemikiran yang menekankan nilai-nilai kemanusiaan universal dan dihargai terhadap keberagaman. Karena inti ajaran Islam adalah keadilan, kemanusiaan, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Dengannya, sastra Pramoedya menjadi media untuk merangsang diskursus kritis mengenai bagaimana Islam dapat dijadikan sebagai kekuatan pengabdian yang memperkuat nilai-nilai kebhinekaan dan keadilan sosial.

Relevan

Hubungan antara sastra, politik, dan Islam semakin relevan ketika kita menengok kondisi kebijakan politik saat ini. Di tengah dinamika politik yang kerap memanfaatkan simbol-simbol keagamaan untuk mengukuhkan legitimasi, nilai-nilai humanisme yang diusung Pramoedya menjadi cermin bagi perlunya pendekatan yang lebih progresif. Kebijakan politik yang mengedepankan retorika kesatuan bangsa sering kali dilukis oleh eksklusi terhadap kelompok-kelompok minoritas, padahal Indonesia adalah negara dengan pluralitas budaya dan agama yang kaya. Dalam hal ini, karya Pramoedya dapat dijadikan sebagai refleksi kritis atas bagaimana narasi nasionalisme yang sempit dapat mengabaikan keberagaman dan nilai-nilai kemanusiaan yang mendasari peradaban bangsa.

Baca juga:  Tafsir Tekstual Puisi Doa Karya Chairil Anwar

Contoh nyata dampak kebijakan politik tersebut terlihat dalam dinamika kebhinekaan di era modern. Misalnya, kebijakan identitas yang menekankan satu versi sejarah atau satu interpretasi keagamaan tertentu seringkali mengakibatkan marginalisasi kelompok minoritas. Hal ini bertolak belakang dengan semangat humanisme Islam yang mengedepankan pluralisme, toleransi, dan dialog antarbudaya. Maka penting melakukan reinterpretasi keagamaan yang kritis dalam konteks modernitas, agar tradisi tidak menjadi hambatan, melainkan jembatan untuk menuju masyarakat yang lebih adil dan inklusif.

Dengan gaya naratif yang tajam, Pramoedya tidak hanya mendokumentasikan sejarah, tetapi juga mengajak pembacanya untuk merefleksikan nilai-nilai universal yang seharusnya menguatkan eksistensi peradaban bangsa. Interaksi antara narasi sastra dan unsur-unsur keagamaan sebagai cermin peradaban, menjadi ruang bagi dialog kritis yang menolak eksklusi, merayakan keberagaman juga menjadi alat untuk mengkonstruksi identitas yang inklusif. Bukan etos sumbu pendek atau gerakan sweeping seperti yang masih kerap terjadi di negara ini.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top