
Pada 1 Juni 2002, Gus Dur menulis artikel berjudul “Islam dan Kesejahteraan Rakyat” di Harian Duta Masyarakat. Ia menegaskan, kesejahteraan rakyat adalah inti ajaran Islam dan tujuan bernegara. Negara, baginya, bukan alat kekuasaan. Negara adalah sarana menghadirkan kemaslahatan bagi semua.
Prinsip ini sejalan dengan amanat UUD 1945 yang mengusung cita-cita masyarakat adil dan makmur. Gus Dur menegaskan, kesejahteraan bukan hanya soal materi. Lebih dari itu, ia mencakup keadilan sosial, politik, dan budaya. Islam, bagi beliau, adalah pedoman hidup yang memihak rakyat kecil dan menegakkan keadilan bagi semua.
Dua dekade berlalu, gagasan ini terasa semakin mendesak. Ketimpangan semakin lebar. Sumber daya dikuasai segelintir elite. Sementara, rakyat kecil terus terpinggirkan. Krisis ini membuktikan bahwa keadilan sosial belum menjadi prioritas negara. Kini, pertanyaannya, haruskah ketimpangan terus dibiarkan, atau sudah saatnya negara kembali pada amanat keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat?
Visi Islam dan Kesejahteraan Rakyat
Kesejahteraan rakyat adalah visi utama Gus Dur. Gagasan ini menjadi bagian dari perjuangannya. Gus Dur menyuarakannya lewat berbagai cara, baik melalui tulisan maupun lewat kaderisasi ulama. Salah satu contohnya adalah Program Pengembangan Wawasan Keulamaan (PPWK), pada Mei 1996 di Kaliurang, Yogyakarta.
Dalam rekaman yang diunggah oleh Ahmad Muqsith Ghazali di YouTube, dalam forum itu, Gus Dur menjelaskan pentingnya memahami perubahan sosial yang terjadi. Bagi Gus Dur, perubahan ini harus disikapi oleh para kiai dengan cara berpihak kepada rakyat.
Perubahan sosial merupakan suatu keniscayaan. Gus Dur membaginya menjadi dua: vertikal dan horizontal. Secara vertikal, perubahan menyangkut struktur masyarakat—dari rakyat kecil di bawah hingga elit di atas. Meski zaman berganti, relasi kuasa tetap ada. Dulu disebut tumenggung, kini berganti menjadi pejabat berbaju korpri. Bentuknya berubah, namun ketimpangan tetap terasa.
Perubahan horizontal terjadi lebih dinamis. Muncul berbagai profesi baru, teknologi, sistem politik, dan tata niaga modern. Akibatnya, hubungan antarwarga yang dulu hangat berubah menjadi lebih kaku dan formal. Hubungan paguyuban digantikan lembaga. Dalam situasi ini, rakyat kecil rawan tersisih. Gus Dur menegaskan, Islam harus hadir melindungi mereka.
Di tengah perubahan tersebut, kesejahteraan sosial menjadi penting. Pemimpin wajib menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama. Dalam kaidah fiqhiyyah, taṣarruful imâm ‘alâr ra‘iyyah manûṭun bil maṣlaḥah. Kebijakan pemimpin harus selalu berpijak pada kemaslahatan rakyat.
Hal ini juga sejalan dengan amanat UUD 1945. Negara didirikan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Sayangnya, jurang kaya dan miskin justru semakin lebar. Kekayaan alam banyak dikuasai segelintir elite, sementara rakyat kecil berjuang memenuhi kebutuhan dasar. Bagi Gus Dur, ini adalah tanda bahwa negara belum menjalankan perannya secara adil.
Untuk itu, Gus Dur menawarkan arah baru. Negara harus berani membalik orientasi kebijakan. Usaha Kecil dan Menengah dan ekonomi rakyat perlu didorong agar menjadi kekuatan utama. Usaha besar boleh tetap ada, namun tidak boleh mendapatkan keistimewaan. Rakyat kecil harus menjadi pusat perhatian agar kesejahteraan bisa dirasakan oleh semua.
Keberpihakan Kiai terhadap Kesejahteraan Rakyat
Gus Dur menegaskan pentingnya peran kiai. Bahkan di tengah masyarakat industrialis sekalipun, mereka tetap memiliki posisi strategis. Syaratnya, para kiai harus sadar akan perubahan itu dan mau mengembangkan peran mereka. Mereka tidak cukup hanya sibuk dengan rutinitas, seperti mengisi pengajian, dan haul. Kiai harus memiliki kewaspadaan sosial (intibah) dan mampu memperluas perannya.
Gus Dur menyebut perubahan pertama: bergesernya masyarakat dari non-demokratis ke demokratis. Sebagian besar rakyat tidak memahami hak-haknya. Akibatnya, mereka mudah digusur, didiskriminasi, dan dipidana. Negara terkadang hadir dengan pendekatan kekerasan, bukan perlindungan. Dalam situasi ini, Gus Dur menyayangkan, banyak kiai justru sibuk dengan urusan seremonial dengan negara seperti pemberangkatan jamaah haji. Bahkan, sekadar peduli pada persoalan rakyat pun seringkali tidak.
Perubahan kedua yang disoroti Gus Dur adalah pergeseran dari negara berbasis kedaulatan kuasa menjadi kedaulatan hukum. Dalam tatanan baru ini, hukum seharusnya menjadi pelindung semua warga, bukan alat penguasa. Namun, transisi ini tidak mudah. Dalam praktiknya, hukum sering tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Rakyat kecil masih kerap menjadi korban.
Fiqh dan Kesejahteraan Rakyat: Pembacaan dari Rakyat untuk Rakyat
Fiqh hadir di tengah problem nyata. Seperti, ketimpangan sosial, mahalnya kebutuhan pokok, hingga hukum yang sering kali berat sebelah. Di sinilah, fiqh kesejahteraan rakyat menemukan relevansinya. Islam yang membumi adalah Islam yang berpihak.
Fiqh klasik dirumuskan dalam konteks politik non-demokratis. Saat penguasa begitu kuat dan suara rakyat nyaris tak terdengar. Kepatuhan kepada pemimpin menjadi sikap utama, sebagaimana tercermin dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak:
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ نَصِيحَةٌ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُكَلِّمْهُ بِهَا عَلَانِيَةً، وَلْيَأْخُذْ بِيَدِهِ، وَلْيُخْلِ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَهَا قَبِلَهَا، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ وَالَّذِي لَهُ
Artinya, “Barang siapa memiliki nasihat untuk penguasa, maka janganlah ia menyampaikannya secara terang-terangan. Hendaklah ia memegang tangannya dan berbicara secara pribadi. Jika diterima, itu baik. Jika tidak, ia telah menunaikan kewajibannya.”
Hadis ini lahir dari kebutuhan menjaga stabilitas umat. Namun, zaman berubah. Saat ini, masyarakat hidup di era demokrasi. Rakyat punya hak bersuara dan berpartisipasi. Ketika ketimpangan dan ketidakadilan menjadi nyata, fiqh tidak bisa lagi hanya mengandalkan bacaan tekstual. Ia harus dibaca ulang secara kontekstual. Yang diambil adalah substansinya: keberpihakan pada rakyat kecil dan rentan.
Fiqh masa kini tidak cukup hanya berpatokan pada teks. Pembacaan berdasarkan kaidah fiqhiyyah, ushuliyyah dan maqasid syariah harus menjadi dasar utama.
Tujuannya adalah untuk menghadirkan fiqh yang berpihak kepada rakyat kecil. Mereka yang terbatas harta dan akses kesejahteraannya.
Pada akhirnya, fiqh kesejahteraan rakyat adalah bagian dari jihad zaman ini. Ada sebuah sabda Nabi: afdhalul jihâd kalimatu ḥaqqin ‘inda imâmin jâ’irin,-“Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim.”
Menyuarakan kebenaran adalah ujian keberanian dan amanah keadilan. Membela rakyat kecil bukan sekadar pilihan, tapi panggilan nurani. Di sinilah fiqh kesejahteraan berperan: memastikan mereka tak lagi terpinggirkan. Di tengah ketimpangan hari ini, akankah kita terus membiarkan suara mereka tanpa jawaban?