Muhammad Idris
Penulis Kolom

Peminat literatur Islam klasik dan studi pesantren

Ilmuwan Besar dalam Dunia Islam (9): Ilmu-ilmu Keislaman yang Menggunakan Sains

E18f0917 2aab 417e 9c1a 90282f82c2bd

Pada dasarnya semua ilmu pengetahuan itu mulia.  Hatta ilmu sihir sekalipun. Ia, dilihat dari sisi sebagai sebuah ilmu, adalah sesuatu yang mulia. Meskipun ilmu sihir merupakan ilmu yang batil. Demikian Imam Al-Ghazali memaparkan kemuliaan ilmu dalam karyanya “ar-Risalah al-Laduniyyah”.

Islam, melalui dua sumber utamanya, Al-Qur’an dan Hadis menganjurkan bahkan mewajibkan kepada umatnya untuk terus mempelajari dan menekuni ilmu pengetahuan. Pertanyaannya kemudian, ilmu pengetahuan seperti apa yang diwajibkan oleh Islam kepada para pemeluknya? Saya kira dari pertanyaan inilah kemudian muncul berbagai upaya para sarjana Muslim untuk merumuskan dan membuat klasifikasi ilmu pengetahuan.

Ilmuwan-ilmuwan Muslim seperti Al-Khawarizmi, Imam Al-Ghazali, Al-Farabi, Ibnu Hazm dan para sarjana lainnya mencoba membuat rumusan klasifikasi ilmu pengetahuan. Termasuk di dalamnya berkenaan dengan hukum mempelajari ilmu tersebut.

Imam Al-Ghazali sebagaimana dituangkan dalam berbagai karyanya berulang kali menjelaskan rumusan ilmu pengetahuan. Misalnya dalam kitab “Ar-Risalah Al-Laduniyyah” ia menulis satu bab khusus mengenai pembagian ilmu. Menurut Imam Al-Ghazali, secara garis besar ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua: Syar’i dan ‘Aqliy. Meskipun demikian, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa mayoritas ilmu yang syar’i ini sebenarnya bisa dinalar bagi orang yang mengetahui hakikatnya (‘inda alimiha), dan ilmu yang ‘Aqliy ini juga sebenarnya sangat syar’iy bagi  orang-orang arif (bijaksana).

Dari dua pembagian ini kemudian ia terbagi lagi ke dalam dua: ilmu ushul (pokok) dan furu’ (cabang). Ilmu ushul ini di antaranya adalah ilmu tauhid, tafsir, hadis, dan ilmu-ilmu penunjang lainnya untuk membedah ilmu tersebut seperti ilmu gramatikal Arab dan lain sebagainya. Sedangkan untuk ilmu furu’ adalah ilmu-ilmu yang bersifat praksis-amali seperti mu’amalah, jual-beli, pernikahan, dan yang sejenisnya.

Baca juga:  Sabilus Salikin (150): Ajaran Tarekat Syathariyah (1)

Berbeda dengan Al-Ghazali, Jabir bin Hayyan (salah seorang sarjana kimia klasik kenamaan Islam) secara sederhana membagi ilmu pengetahuan menjadi dua: Ilmu agama dan ilmu dunia.

Ilmu agama adalah ilmu yang bentuk-bentuknya bisa membuat manis akal seseorang untuk digunakan agar bermanfaat bagi kehidupan setelah kematian. Sementara ilmu dunia adalah ilmu yang diperoleh melalui akal dan jiwa untuk memperoleh kemanfaatan dan menolak kerusakan bagi kehidupan di dunia.

Prinsipnya, terlepas dari perdebatan dan perbedaan pendapat mengenai klasifikasi ilmu, pada dasarnya ilmu keislaman adalah ilmu yang bersumber dari wahyu dan berkaitan langsung dengan praktik keberislaman. Sebaliknya, ilmu non-keislaman adalah ilmu yang bersumber dari penalaran, pengalaman, pengamatan, dan pengalaman manusia.

Persinggungan Ilmu Keislaman dengan Sains

Sebagai sebuah disiplin ilmu yang berasal dari proses penalaran dan dialog antara sumber hukum dengan realitas, fikih merupakan salah satu disiplin ilmu keislaman yang memiliki persinggungan cukup kuat dengan ilmu sains. Dimulai dari bab Thaharah, yang merupakan bab pembuka bagi kitab-kitab fikih konvensional. Salah satu pembahasan di dalam bab ini adalah ihwal ukuran air suci yang bisa digunakan untuk bersuci (thahirun linafsihi wa muthahhirun lighairihi). Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda tentang air dua kulah ini, “Apabila air cukup dua  kulah, maka air tersebut tidak najis (selama tidak ada perubahan warna, rasa, dan baunya). Ukuran dua kulah ini misalnya kemudian dirumuskan oleh para ahli fikih dalam bentuk liter. Bab Faraidh (pembagian waris) yang juga merupakan bagian dari pembahasan ilmu fikih tentu tidak bisa tidak (la budda/ tan kena ora) “meminjam” ilmu matematika. Hal yang sama juga terjadi pada pembahasan mengenai zakat.

Baca juga:  Mitos Pohon, Penanda Sejarah dan Beragama yang Sadar Ruang

Penentuan lamanya masa haidh dalam sejarahnya juga tidak bisa dilepaskan dari proses penalaran ilmiah. Imam Syafi’i sebelum merumuskan masa minimal dan maksimal haidh bagi perempuan melakukan observasi ke lapangan. Tentunya praktik yang dilakukan oleh Imam Syafi’i ini juga bukan, tidak berkaitan secara langsung, dengan ilmu keislaman.

Demikian halnya dengan pembahasan mengenai penetapan awal bulan Hijriyah yang berkaitan dengan penentuan awal bulan puasa, hari raya; iedul fitri dan iedul adha, tidak bisa dilepaskan dari ilmu falak (astronomi). Di satu sisi, astronomi ini merupakan ilmu yang “diimpor” dari peradaban di luar Islam, namun hingga kini masih diajarkan di pesantren-pesantren dan jurusan keislaman di sisi lain.

Selain ilmu fikih, manthiq (ilmu logika) yang sudah jelas bersumber dari ilmu pengetahuan di luar Islam, merupakan salah satu disiplin keilmuan yang hingga kini juga masih dipelajari di pesantren-pesantren. Artinya, terlepas dari apakah ia sudah dianggap telah “diislamisasi” atau tidak, ilmu non-keislaman (berdasarkan klasifikasi Al-Ghazali) masih menjadi salah satu bagian dari kurikulum pesantren.

Ilmu manthiq ini juga “dipinjam” oleh para teolog (mutakallimun) dan juga para pakar ushul fikih menjadi salah satu “piranti” dalam kedua disiplin ilmu tersebut.

Selain beberapa disiplin ilmu di atas, jika boleh mengambil sebuah contoh saja, maka ilmu tafsir merupakan disiplin ilmu keislaman yang tidak bisa dilepaskan dari ilmu-ilmu saintifik. Misalnya, Tafsir Mafatih al-Ghaib, sebuah karya tafsir tebal yang ditulis oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi, adalah satu contoh kitab tafsir yang menggunakan ilmu-ilmu sains sebagai “alat” untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Dalam perkembangannya kemudian disiplin ilmu tafsir ini bermunculan karya-karya  tafsir saintifik.

Baca juga:  Kritik Agama di Ruang Publik

Ilmu-ilmu yang penulis sebut di atas sebagai ilmu keislaman yang bersinggungan dengan sains hanyalah sekadar menyebut contoh. Bukan dalam rangka membatasi hanya yang disebutkan saja. Oleh karena itu tentunya masih banyak disiplin keilmuan-keislaman yang berkaitan atau menggunakan pendekatan saintifik.

Pada prinsipinya, ilmu pengetahuan dalam artian yang luas harusnya menjadi alat untuk mendukung peradaban manusia yang lebih baik dan lebih beradab. Hal ini sebagaimana “dawuh” – Allahu Yarhamhu- KH. Ahmad Sahal Mahfudz berikut:

“Ilmu pengetahuan akan mendukung struktur kehidupan yang seimbang dan stabil. Dengan ilmu pengetahuan, etika, tata hidup dan pola bermasyarakat akan terjaga. Dengan ilmu pengetahuan pula, kebutuhan hidup terpenuhi, dengan berfungsinya potensi-potensi alam menjadi pendukung bagi langkah maju manusia.” 

Wallahu A’lam bis-Shawab

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top